Side Story 3
Penerjemah : reireissDukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.
Terima kasih~
***
TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!
HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.
JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.
JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!
***
"Tuan Muda, saya salah. Saya mohon."
Apa Ophelia yang membunuh orang tuanya? Tapi kenapa?
Henrietta berlutut di hadapanku yang sedang duduk di
dekat jendela, melihat salju yang turun. Henrietta menangis, mengatakan bahwa
Ophelia adalah seorang penyihir dan sepertinya Ophelia sudah menghisap kekuatan
sihir Henrietta.
Henrietta terus memohon, kalau dirinya tidak bisa mundur
dari posisinya sebagai pelayan maka dia ingin meminta untuk berlibur. Dia
menyebalkan. Kenapa dia menanyakan itu padaku? Saat ini, tuannya adalah
Ophelia, bukan aku.
"Sa-Saya tidak tega memberi tahu Anda. Tidak, tidak,
saya takut......"
"Seberapa menakutkannya itu?"
Aku bertanya dengan ekspresi yang bosan sambil memangku
dagu. Aku sudah beberapa kali melihat Henrietta yang ketakutan pada Ophelia,
sampai aku berpikir kalau sikap Henrietta itu berlebihan, tapi.... ...Aku tidak
mengetahui alasan spesifiknya.
"Itu, jadi.... ...Ups!"
"Jangan merengek! Langsung saja katakan."
Henrietta berseru kalau aku tidak mengetahui isi hatinya,
kemudian dia meninggalkan ruangan. Aku, yang tiba-tiba saja dikritik,
menertawakan keabsurdannya.
Kemudian, aku menatap ke atas dengan tatapan mata yang
tajam.
Ophelia adalah seorang penyihir?
Aku bangkit dari sofa dan berjalan di sekitar ruangan
untuk sementara waktu. Mungkin Ophelia adalah orang yang melelehkan jari-jari
roda kereta kuda dan melelehkan lubang kunci Kantor Duke.
Tapi kenapa? Kenapa dia membunuh Ibunya sendiri?
Aku tertekan. Karena aku sudah menyadari perasaanku
padanya.
Setiap kali aku melihat Ophelia, aku merasa kalau
jantungku berdebar kencang sampai rasanya aku ingin menangis. Saat dia memutar bola
matanya, rasanya aku ingin memohon padanya agar aku bisa terus melihatnya, dan
saat dia berada di dekatku, aku menjadi bersemangat, bahkan aku membayangkan
sesuatu yang memalukan, suatu hal yang tidak bisa dibicarakan.
Tanpa sadar aku menatap jendela, penuh kebingungan. Lalu,
keberadaan Ophelia menarik perhatianku, dia berjalan di antara cabang-cabang
pohon yang kering dan tertutup salju.
Dia mengangkat kepalanya seolah merasakan tatapanku, dia
menatapku. Tatapan kami tumpang tindih, aku menarik nafas dalam-dalam.
"......"
Ophelia tersenyum cukup lebar sampai aku bisa melihat
lesung pipinya. Saat itulah, dia membuka bibirnya dan memanggilku.
Matahari tidak hanya menyinari Ophelia, tapi dialah
satu-satunya yang memesona di dunia ini. Wajahnya memerah karena dingin. Aku
melangkah mundur, buru-buru menjauh dari jendela.
"......"
Aku mengangkat punggung tanganku dan menutup mulutku.
Bahkan aku tidak bisa mengendalikan otot-otot wajahku sendiri. Aku belum pernah
merasakan perasaan ini sebelumnya, tapi aku tahu pasti. Aku jatuh cinta pada
Ophelia.
Saat di mana aku menyadari hal itu, aku menjadi gila.
Sekarang, sudah tidak masalah. Bahkan, kalau Ophelia terlibat dalam insiden
kecelakaan kereta kuda. Bahkan, kalau Ophelia adalah orang yang melelehkan
jari-jari rodanya.
......Bahkan, kalau Ophelia adalah pembunuh yang membunuh
Ayahku.
Memangnya itu masalah yang besar? Kami adalah orang kaya
yang acuh tak acuh, kami tidak peduli pada satu sama lain. Jadi wajar kalau
Ophelia yang tersenyum di mataku ini, lebih penting dibanding dengan Ayahku
yang sudah meninggal.
Aku adalah satu-satunya orang yang curiga kalau Ophelia
adalah pembunuhnya. Bahkan jika itu benar, aku bisa menutupinya. Aku memiliki
kekuasaan untuk itu.
Beberapa bulan kemudian, Henrietta datang dan mengakui
dosa-dosanya. "Anda salah. Sayalah yang membunuh Tuan Duke. Jadi hukumlah
saya. Laporkan saya. Masukkan saya ke penjara. Dan lihatlah saya saat saya
digantung!"
Aku menertawakannya. Karena aku sudah tahu siapa pelaku
yang sebenarnya, jadi aku mengusir Henrietta keluar dari ruanganku.
Akhir-akhir ini, aku sangat sibuk. Bahkan aku sampai
tidak memiliki waktu yang cukup untuk menangani masalah ini. Berulang kali
Ophelia menekankan kalau Upacara Kedewasaanku sudah dekat.
Langkah demi langkah, dia bersiap untuk meninggalkan
Kediaman Duke ini. Aku pun beralasan kalau bisa saja dia bertemu dengan hewan
buas khas Utara di perjalanannya.
"Setelah aku pergi dari sini, kamu tidak akan pernah
melihatku lagi." Gumamnya.
Setiap kali dia mengatakan hal itu, suasana hatiku turun
dengan tajam.
Tanpa kusadari, aku menjadi cemas dan gugup. Aku
menggigit bibirku sampai bibirku berdarah.
Kenapa kamu terus mencoba untuk pergi? Apa yang kurang?
Bukankah kamu senang berada di sini?
Di beberapa waktu, aku membujuknya dan mengatakan kalau
kehidupan di Utara tidak terlalu buruk. Ophelia tidak suka musim dingin yang
panjang, tapi dia suka duduk di depan perapian yang menyala dengan selimut dan
membaca buku.
Tapi sebenarnya, aku memikirkan hal yang berbeda. Aku
tidak bisa tidur dengan nyenyak di malam hari dan pemikiran itu menggangguku
sepanjang waktu. Bagaimana caraku agar dia tetap di sini? Haruskah aku
mengurungnya?
Hasrat terdalamku ingin melakukan hal itu, tapi Ophelia
adalah seorang penyihir yang kuat. Dengan mudah dia bisa melelehkan borgol dan
menghilang tanpa ada penyesalan.
Yang bisa aku lakukan hanyalah memegang pergelangan
kakinya, menangis, dan berkata, "Kumohon jangan pergi! Aku takut, takut
sendirian. Aku ingin bersamamu."
Mungkin, degan begitu, dia akan goyah lagi. Ophelia suka
dengan tangisanku.
Aku merenungkan bagaimana cara untuk menangkap Ophelia,
dalam sehari aku memikirkan hal itu sebanyak puluhan, ratusan, atau bahkan
ribuan kali. Claude, seorang penyelidik, datang berkunjung dan menghancurkan
kehidupan sehari-hari kami yang tenang tanpa ada gangguan.
Saat Claude menyebutkan tentang insiden kecelakaan 3
tahun yang lalu, aku menjadi sangat sensitif. Seharusnya semua itu berlalu
dengan tenang! Dasar baj*ngan sialan!
Bagaimana caranya agar dia pergi dari sini? Atau, jika
perlu, aku bisa membunuh Claude dan menyamarkannya sebagai kecelakaan.
Tapi Ophelia tidak tahu apapun tentang perasaan dan
pemikiranku. Ophelia duduk di ruang tamu dan mengobrol, bahkan dia tertawa
bersama dengan Claude. Apa yang bagus darinya!? Aku sangat marah sampai rasanya
aku hampir kehilangan akalku.
Apa rasa cemburu itu sesakit ini? Aku memegang tangan
Ophelia dan menangis. Dengan melakukan ini, perhatian Ophelia akan kembali
menjadi milikku sepenuhnya. Untuk sejenak, aku merasa lega.
Sekarang setelah aku memikirkannya, keberadaan Claude
(Cain) itu tidak terlalu buruk. Berkat orang itu, Ophelia membaca buku
harianku, dan dia menjadi sadar akan perasaanku padanya, dan untuk pertama
kalinya, aku jadi memiliki keberanian untuk menciumnya......
***
Aku tersenyum secara perlahan dan dengan hati-hati, aku
menyentuh bulu mata Ophelia yang masih tidur dengan nyenyak. Dia tersentak dan
mengerutkan keningnya, tapi dia tidak membuka matanya.
Setelah sekian lama, bahkan kami sampai melewatkan makan
dan terus bercinta selama 2 hari 2 malam. Aku membiarkan Ophelia untuk mengumpat
padaku, baru setelah itu aku melepaskannya.
Air matanya yang menggenang dan suaranya saat memanggilku
"Baj*ngan!", lalu Ophelia yang menutupi wajahnya karena malu.
Kemudian, aku tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku lagi, Ophelia
memunggungiku. Lalu, dia tertidur seakan dia pingsan.
"Ah, kamu sangat imut."
Aku baru saja bangun dari tidur singkat, memberinya
bantal lengan. Aku takut dia akan merasa terganggu, kupikir itu lucu untuk
tidur dengan selimut yang ditarik sampai menutupi lehernya.
Aku menarik lenganku dengan hati-hati, jangan sampai
Ophelia merasa terganggu dan jadi terbangun. Kemudian aku mengambil bantal yang
tersampir di ujung tempat tidur dan meletakkannya di bawah kepalanya.
Aku bangkit. Aku memakai jubah berwarna biru laut dengan kasar,
mengikat tali di pinggangnya, dan pergi ke koridor. Salah satu pelayan yang
lewat di koridor ini mendekatiku dan bertanya apa ada hal yang aku butuhkan
sambil menundukkan kepalanya.
Setelah sekian lama aku merasa sangat senang, sudut
bibirku meringkuk.
"Panggil seorang pelayan. Namanya....
...Becky?"
Ophelia memang mencoba untuk tidak menunjukkannya, tapi
dia itu orang yang sangat cemburu.
Sampai-sampai aku tidak boleh menghafal nama perempuan
selain namanya.
Karena itu, meski Ophelia tidak mengetahuinya, dengan
sengaja aku memelankan suaraku dan bertindak seolah-olah aku tidak bisa
mengingat nama orang lain. Karena aku tidak bisa mengesampingkan semua
kemungkinan yang ada.
"Apa Anda memanggil saya, Tuan?"
Becky adalah pelayan yang memiliki bintik-bintik di
wajahnya, berambut pendek, warna rambutnya cokelat, dan dia adalah salah satu
pelayan yang bekerja di ruangan Penyelidik Palsu, Cain. Dia tampak terkejut,
seorang pelayan rendahan dipanggil oleh Tuannya yang masih muda dan tampan,
orang yang hanya bisa dia lihat dari jauh.
"Iya."
Aku menatapnya dan tersenyum. Becky tersipu dan
menundukkan kepalanya.
"Apa kau akrab dengan Henrietta?"
"Em... Tidak. Bahkan dia bilang, dia tidak ingin
berbicara dengan orang lain. Jadi dia tidak berbagi kamar dengan pelayan
lainnya."
Becky menggerutu dan mengkritik Henrietta, tapi dengan
cepat dia menutup mulutnya seolah-olah dia baru menyadari kalau Henrietta sudah
meninggal.
"Aku semakin menyukai itu."
Aku membasahi bibirku yang kering dengan lidahku. Becky
hanya berkedip, tidak tahu harus berbuat apa. Aku pun kembali berkata,
"Becky, aku harap kau akan tinggal untuk waktu yang
lama di sini. Kediaman ini membutuhkanmu."
"Iya......"
Aku berbalik dan meraih kenop pintu. Becky mengangguk
dengan takjub. Setelah menjanjikan Becky kenaikan gaji, aku menyuruhnya untuk
pergi, lalu aku kembali ke kamar.
Sekarang Becky akan terus setia padaku seperti anjing.
Sama seperti Henrietta.
Sangat penting untuk menyiapkan saksi terlebih dahulu.
Aku memang mendesak para penyelidik untuk bersumpah dengan darah, tapi aku
tidak sepenuhnya mempercayai mereka.
Tidak ada skandal yang lebih menarik dari pembunuhan
mantan Duke dan Duchess Arpad. Sekarang memang sepi, tapi suatu hari, mungkin
akan muncul rumor yang datang dan pergi dari mulut seseorang.
Aku ingin membereskan kemungkinan itu dengan pasti,
sekecil apapun kemungkinan itu. Semua itu untuk kehidupan sehari-hari yang
damai dengan Ophelia.
Duduk di samping tempat tidur, aku menatap Ophelia yang
masih menutup matanya. Dia nyaris tidak membuat suara nafas, itu membuatku
khawatir dengan kemungkinan kalau dia akan tumbang seperti ini.
Dengan perlahan, aku menundukkan kepalaku dan meletakkan
bibirku di bibirnya. Untungnya, ada suara nafas samar yang keluar dan membasahi
bibirku. Kemudian aku menghela nafas dan merasa lega
"......Iya."
Ophelia membuka matanya seolah dia merasakan
keberadaanku. Seakan dia masih lelah, mata birunya yang setengah tertutup
menatapku.
"Selamat pagi, Ophelia."
Padahal kami hanya berpisah selama beberapa menit, tapi
rasanya seperti kami sudah lama tidak bertemu. Aku berlutut di lantai dan
kembali mencium bibirnya. Ophelia tertawa kecil.
"Pagi? Benarkah?"
"Tidak. Sebenarnya sebentar lagi adalah waktu untuk
makan malam."
"Hah. Apa?"
Ophelia mengangkat bagian atas tubuhnya, memegang selimut
yang menutupi tubuhnya. Secara terang-terangan, aku memberinya tatapan sedih,
dan dia membuka mulutnya lalu berkata,
"Untuk sementara waktu, aku akan menggunakan kamar
lain. Kurasa tubuhku tidak akan bisa bertahan lagi."
"Aku tidak suka itu."
"Tidak ada yang meminta pendapatmu."
Ophelia memutar bola matanya. Aku terkekeh dan pura-pura
kesal. Ophelia mengabaikanku.
"Aku lapar."
"......Apa kamu benar-benar akan menggunakan kamar
lain?"
"Apa kamu ingin pergi ke ruang makan?"
"Benarkah?"
"......"
Aku menutup mulutku. Ophelia, yang merasa bingung,
mengangkat kepalanya. Aku menatapnya seakan marah padanya.
"Baiklah kalau begitu, lakukan dalam jumlah yang
wajar."
"......Terlalu banyak?"
Aku yang sejak tadi menahan air mata akhirnya menangis.
Satu bahuku terlihat karena jubah yang longgar.
Apa kau pikir melihat seorang pria menangis di situasi
yang ambigu, dan pria itu telanjang, adalah hal yang bodoh? Aku tidak bisa
mempercayainya. Ophelia menggelengkan kepalanya.
"Baiklah. Aku tidak akan mengatakan itu, jadi
berhentilah menangis."
"Jahat......"
Aku bergegas ke pelukan Ophelia seperti seekor anjing
besar yang tidak menyadari ukurannya. Aku mengusapkan wajahku ke bahunya.
Ophelia tidak tahan dengan rasa yang menggelitik itu dan tertawa
terbahak-bahak.
Gerakanku, yang hampir seperti rengekan, berangsur-angsur
menjadi lebih intim. Aku menekankan bibirku ke lehernya dan menghembuskan nafas
panas. "Oh... Mulai lagi." Gumam Ophelia sambil memiringkan kepalanya
ke samping.
Lagi-lagi, malam mereka dimulai saat malam mulai larut.
***
Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!
Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!
***
Dukung SeiRei Translations dengan,
Dukung SeiRei Translations dengan,
***
Thanks and See You~
***
Previous | Table of Contents | Next
***
Apa pendapatmu tentang bab ini?
0 Comments
Post a Comment