Special Chapter

Penerjemah : reireiss

Dukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.

Terima kasih~


***

TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!

HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.

JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.

JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!

***

Di malam hari saat salju turun dengan lebar, Alexander menangkapku yang hendak pergi tanpa sepatah kata pun. Dia memintaku untuk tidak meninggalkan Duchy sampai dia dewasa. Mungkin jika bukan karena air mata yang dia jatuhkan, aku pasti sudah meninggalkan tempat ini.

Kediaman Duke Arpad masih menjadi tempat yang membuatku merasa tidak nyaman. Tapi, aku sudah berjanji kepada Alexander, dan entah kenapa, aku tidak ingin mengingkari janji itu.

'Aku kesepian. Kakak. Ini menakutkan.'

Malam itu.

Penampilan Alexander yang meneteskan air mata seperti anak kecil, itu tidak sesuai dengan kesannya yang dingin, jadi hal itu terpatri jauh di lubuk hatiku. Dan karena itu, aku jadi mengambil peran sebagai Nyonya dari Kediaman Duke ini. Selain itu, aku juga jadi sering memikirkan Alexander sesekali.

"……Dengan kata lain, Tamu Terhormat Nona Ophelia ingin mengganti semua tirai di Aula dengan warna biru safir. Tapi, apakah itu pilihan yang tepat? Tirai berwarna hijau tua ini masih baik-baik saja."

Aku berdiri sambil memegang Buku Keuangan Kediaman dan melihat ke luar jendela sebentar, lalu kembali melihat ke arah Kepala Pelayan yang tidak puas dengan keputusanku. Dia bertanya padaku dengan wajah yang tidak senang.

Sang Kepala Pelayan, Philip adalah seorang pria tua yang bertanggung jawab atas pengelolaan Kediaman Duke, selama ini dialah yang mengambil peran sebagai Nyonya Kediaman yang telah lama kosong. Bahkan setelah Ibuku menikah dengan Ayah Tiriku, Ibuku tidak pernah berfokus pada peran sebagai Nyonya Kediaman, dan Philip yang tidak menyukai kehadiran Ibuku dan aku yang dirasa tidak cocok dengan Keluarga Arpad yang merupakan Keluarga Bangsawan, merasa bahwa 'wilayahnya' terganggu.

Namun, Ibuku meninggal sekitar 1 bulan setelah dia menikah dengan Ayah Tiri. Kediaman Duke Arpad yang tiba-tiba saja kehilangan Tuannya, kini mengalami rangkaian kekacauan.

Tiba-tiba, aku teringat pada wanita tua berambut merah yang ada di sisi Catherine. Orang-orang yang menghilang seolah-olah mereka diusir saat mencoba berencana untuk hidup di Duchy ini.

Jika mereka masih di sini, apakah mereka akan berselisih dengan Kepala Pelayan, Philip sepertiku saat ini?

"……Warna hijau tua sudah sangat ketinggalan zaman. Warna biru safir sangat populer di Napiliya, Ibukota Kekaisaran sejak musim gugur lalu. Bukankah Keluarga Arpad tidak kekurangan kekuatan ekonomi, lalu kenapa tidak mengubahnya?"

"Tapi seperti yang baru saja saya katakan, tirai ini masih baik-baik saja."

"Kudengar Ayahku sering mengadakan Pesta Dansa dengan mengumpulkan para Bangsawan Utara di tengah musim dingin. Karena sampai sekarang tidak ada Nyonya Kediaman di sini, maka tidak ada yang mengeluh jika Kediaman Duke memiliki interior yang kuno. Tentu saja, sekarang Nyonya Kediaman sedang berdiri di depanmu."

Pria tua ini, Philip sedikit mengernyit saat aku memanggil almarhum Duke Arpad sebagai 'Ayah'. Aku sangat menyadari fakta bahwa dia tidak senang dengan kehadiranku karena dia masih memanggilku 'Tamu Terhormat, Nona Ophelia' seolah-olah itu adalah hal yang biasa.

Tapi sekarang, atas permintaan dari Alexander, secara resmi aku sudah menjabat sebagai Nyonya Kediaman ini.

Bagi Philip, keberadaanku tidak ada bedanya dengan duri di mata. Aku menggigit bibirku sebentar, merasa seolah-olah ada fakta baru yang menusuk tajam ke dalam tubuhku. Aku tidak ingin mundur.

"Jika Duchess yang sebelumnya masih hidup, tirai berwarna hijau tua yang populer 10 tahun yang lalu ini tidak akan ada lagi. Kalau kau menentang pendapatku lagi, aku akan memanggil Alexander dan membiarkan dia untuk membuat keputusan."

"……Saya akan segera memesannya. Apa lagi yang Anda butuhkan?"

"Aku ingin mengganti pelapis lantai."

Alis putih pria tua yang berambut abu-abu itu berkedut. Aku melihatnya, tapi aku berpura-pura tidak melihatnya. Selalu mendekorasi tempat diadakannya Perjamuan dan Upacara dengan indah adalah peran dari Nyonya Kediaman.

Aku pernah mempelajari hal itu dari Baroness Blancier. Merenovasi Aula Kediaman bukanlah kemewahan belaka. Jika Ibuku masih hidup, seharusnya dia juga akan melakukan hal ini.

Meski begitu, sikap Philip yang tidak menentu seperti itu sangat tidak masuk akal. Aku juga tidak menyukainya, tapi aku tidak ingin memiliki konflik leih lanjut dengannya. Mengonsumsi emosi adalah hal yang melelahkan. Setelah aku menyelesaikan percakapanku dengan Philip, aku langsung pergi.

"Aku ingin minum Teh Cybril. Tambahkan sesendok madu."

Dengan ditemani Henrietta yang menungguku di sudut Aula, aku duduk di Ruang Tamu dan membenamkan kepalaku. Cybril adalah sejenis teh herbal yang hanya dipasok di Selatan dan memiliki efek untuk menenangkan pikiran dan tubuh.

Henrietta memutar mata hijaunya dan melihat kondisiku, lalu mengangguk dengan canggung. Akhir-akhir ini, Henrietta lebih sering memperhatikan aku. Aku juga berpura-pura tidak tahu akan hal itu. Terkadang aku selalu berpura-pura acuh tak acuh karena itu baik untuk hidupku.

"Ya, Nona. Mohon tunggu sebentar."

"Pena bulu yang kugunakan sudah kehabisan tinta."

"Saya akan membawanya. Anda istirahat saja."

Aku memalingkan kepalaku untuk melihat rambut Henrietta dengan tatapan iri. Cuaca di Utara sangat berubah-ubah, dan salju yang turun sampai kemarin kini sudah berhenti.

Sepertinya matahari akan cukup hangat hari ini. Pada sore hari, aku akan berjalan-jalan di taman. Kalau aku terus berada di dalam ruangan, aku akan merasa tertekan.

Sambil menunggu Henrietta, aku mengambil bantal biru tua yang tergeletak di dekatku. Aku meletakkan bantal dengan jumbai emas di keempat sisinya itu di bawah kepalaku, lalu aku menutup mata untuk beristirahat sebentar.

Perseteruan yang tidak terduga dengan Philip membuat kepalaku sakit. Aku harus mengalami semua ini hanya karena mengubah sedikit interior, aku tidak tahu apakah aku bisa mengatur Kediaman Duke dengan baik di masa depan.

Aku tidak yakin. Kenapa Alexander mempercayakanku dengan tanggung jawab yang begitu berat seperti ini? Tiba-tiba muncul kebencian terhadapnya. Meski begitu, aku baru mengenalnya dalam waktu yang singkat, sekitar 1 bulan. Kenapa dia……

"……Ah."

Sepertinya aku tertidur di laut pikiran yang terus berlanjut. Begitu aku mengangkat kelopak mataku yang terasa lelah, aku menemukan mantel besar yang menutupi tubuhku.

……Ini hangat. Dan nyaman. Perlahan, aku mengangkat tubuh bagian atasku dan memegang mantel hitam itu.

"Kamu tertidur dengan sangat nyenyak."

"Alexander."

"Aku meminum teh yang dibawakan Henrietta. Begitu dia sampai di sini, aku merasa haus, dan kupikir Kakak tidak akan bangun sampai tehnya menjadi dingin."

Suaranya terdengar rendah dan halus. Alexander duduk di ujung sofa yang panjang, memperhatikan perapian yang berderak. Tangannya yang putih dan besar itu menopang dagunya. Kalau dipikir-pikir, aku mendengar bahwa hari ini dia pergi pagi-pagi sekali. Sejak Ibuku dan mendiang Duke Arpad meninggal, aku bertanya-tanya apa yang terjadi padanya sampai-sampai dia terobsesi untuk memperhatikanku setiap saat.

"……Kamu tidak terlalu suka manis, kan?"

"Iya. Aku meminumnya tanpa alasan."

Alexander tersenyum kecil dengan bibir pucatnya. Mata abu-abu keperakannya terarah ke perapian, tampak cukup serius. Tapi, saat dia menjawab pertanyaanku, dia menoleh ke belakang —ke arahku, dan aku tidak merasakan keseriusannya lagi saat dia menatapku.

Dengan santai, Alexander menyentuh kakiku yang terbungkus dalam stoking dengan ujung jarinya. Aku yang tersentak kaget pun langsung menekuk lututku dan menyembunyikan kakiku di balik gaunku.

"Kakimu dingin. Aku ingin menghangatkannya."

"Kamu tidak perlu melakukannya."

"Aku tidak bermaksud melakukan apa pun."

"……Apa pun itu, tidak, terima kasih."

Aku menatap Alexander dengan hati-hati. Dengan lembut, Alexander mengangkat bahunya dan menyandarkan tubuh bagian atasnya ke sofa. Tubuh besar yang tidak sesuai dengan usianya dan otot-ototnya yang kencang dan lembut tersembunyi di balik kemeja gelap.

Aku pernah melihat tubuh bagian atasnya yang tidak mengenakan apa pun, dan untuk sesaat aku tidak tahu, aku harus meletakkan tatapanku ke mana. Aku tidak ingin dia menyadari hal itu. Tapi, kenapa aku harus seperti itu?

"Tolong jangan pergi, Kak. Sekarang, satu-satunya yang bisa aku andalkan hanyalah kamu."

"Jangan bicara seperti itu. Kamu sudah mengusir semua kerabatmu yang mencoba untuk menjagamu……"

Dan, lagi-lagi seperti ini. Alexander menatapku dengan tatapan yang tidak masuk akal.

Di saat seperti ini, bahkan jika aku ingin tetap bersikap bodoh, aku tidak bisa. Pada titik tertentu, aku menyadari bahwa aku melakukan kontak mata dengannya.

Aku sangat sadar bahwa dia menyentuh punggung kakiku. Apakah mungkin bagi Alexander untuk terus berhadapan denganku seperti ini, bahkan saat dia mengetahui semua kebenaran yang aku sembunyikan?

Memiliki seorang Ibu yang eksentrik, bukan berarti aku tidak memiliki hati yang bermoral. Aku harus membayar harga penuh untuk apa yang telah aku lakukan.

Meski begitu, aku menghadapi Alexander yang tidak mengalihkan pandangannya dariku. Bagaimana kamu bisa begitu egois? Pada akhirnya, aku memalingkan mataku terlebih dahulu, berpura-pura bersikap alami. Di sudut mataku, aku bisa melihat Alexander yang mengepalkan tangannya dengan kuat.

Dia mengepalkan tangannya dengan sangat kuat sampai-sampai aku bisa melihat pembuluh darahnya. Aku memilih untuk memejamkan mataku untuk menghalangi pandanganku padanya.

"Kakak."

"Apa kamu sengaja menjauhkan dirimu dariku? Apa kamu akan tetap pergi dari sini?"

"……Bukan begitu."

"Jangan bilang tidak. Setiap kali aku mencoba melangkah untuk mengenalmu, kamu selalu menarik garis dan membangun dinding seperti ini."

Suara Alexander sangat rendah. Perasaan hangat mengalir di pergelangan kakiku. Saat aku membuka mataku, aku melihat tangannya menggenggam pergelangan kakiku. Aku berusaha keras untuk keluar dari genggamannya yang kuat dengan memutar kakiku. Tapi itu sia-sia.

"Hari ini, apa yang terjadi padamu?"

Kemudian, akhirnya aku menyerah untuk berusaha lepas dari genggamannya, dan aku bertanya tanpa berdaya kepadanya. Karena dia sudah pergi sejak pagi, untuk suatu alasan Alexander tampak berada dalam kondisi yang aneh. Apa yang terjadi saat dia pergi tadi?

Biasanya, dia adalah tipe orang yang tahu bagaimana menjaga batas tertentu.

"Kenapa aku harus memberitahumu? Padahal kamu sendiri, selalu bertindak seolah-olah akan pergi kapan saja."

"Kamu merajuk. Maaf, aku yang salah."

"Kata-kata yang bahkan tidak dari hati."

Mata abu-abu keperakannya sedikit terdistorsi. Dengan tubuhnya setengah menghadap ke arahku, dia memegangi pergelangan kakiku dan sedikit menekuk tubuh bagian atasnya. Kepalanya tertunduk, dan tanpa ragu-ragu, Alexander membenamkan wajahnya ke ujung gaunku.

Bagian belakang lehernya yang panjang dan kaku menunjukkan bahwa dia sedang sangat gugup sekarang. Sejak dia mencegahku meninggalkan Kediaman Duke, terkadang Alexander akan mencoba mempersempit jarak denganku dengan cara ini.

"Maafkan aku. Aku sedang kesal, tapi aku tidak bisa memberitahumu apa yang terjadi hari ini Haa, maaf. Biarkan aku seperti ini, sebentar saja. Maafkan aku."

"……Alexander, jika ada seseorang yang melihatmu melakukan ini."

"Di Ruang Tamu ini hanya ada kita berdua, dan aku tidak peduli bahkan jika ada yang melihat."

Sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa karena dia menjadi sangat keras kepala. Sebenarnya, bisa saja aku melepaskannya dengan paksa, tapi jauh di lubuk hatiku, aku tidak benci berdekatan dengan Alexander seperti ini.

Aku tidak tahu apakah ketegangan Alexander telah berpindah kepadaku. Aku menatapnya dengan lembut dengan bahu yang menegang. Rambut hitamnya yang kusut menempel di ujung gaunku.

Rambutnya terlihat lembut. Apa dia akan membenciku kalau aku menyentuh rambutnya?

Aku masih bersikap waspada terhadap Alexander. Dia telah berubah menjadi ramah padaku sejak pemakaman orang tua kami, tapi dia masih tidak bisa dipercaya. Aku memiliki mata yang berkaca-kaca, lalu aku mengerutkan ujung gaunku dengan jari-jariku. Kemudian, setelah hening selama beberapa saat, aku bertanya.

"Kamu benar-benar tidak akan memberitahuku?"

"……Apa kamu penasaran?"

"Tentu saja."

"……Sebenarnya, itu bukan masalah besar. Aku hanya pergi keluar untuk melihat-lihat Duchy. Berpikir bahwa sekarang akulah yang harus memerintah di wilayah yang luas ini sebagai seorang Duke, bahuku terasa berat."

"Aahhh. Sepertinya kamu merasakan tekanan."

Jika memang begitu, maka keadaan Alexander yang aneh ini bisa dipahami. Aku mengangguk dengan tenang dan mendengarkan suara yang lembut.

Dia masih berusia 17 tahun, tapi sekarang dia harus meninggalkan dunianya karena dia harus menggantikan Duke sebelumnya. Tapi kurasa, dia sudah cukup tua untuk berjuang.

Perlahan, aku mengangkat mataku dan bertemu dengan tatapannya. Sulit menahan dorongan untuk menyeka matanya yang sedikit memerah.

***

Sejujurnya, Alexander berbohong. Tapi dia tidak merasakan penyesalan sedikit pun. Nyatanya, dia memang pergi keluar untuk melakukan pemeriksaan wilayah.

Namun, tidak seperti yang dia katakan pada Ophelia, dia tidak merasakan beban karena harus menjadi Duke berikutnya. Itu karena Alexander sudah sepenuhnya menyadari bahwa dia dilahirkan ke dunia ini untuk mewarisi gelar Duke Arpad yang terhormat.

Oleh karena itu, alasan dia pergi keluar hari ini adalah untuk membersihkan pikiran rumit di kepalanya. Kesaksian para penyidik yang menyelidiki kecelakaan pasangan Duke dan Duchess sebelumnya, dan jarum suntik yang tidak diketahui tujuannya ditemukan setelah pemakaman.

Apa yang dia sembunyikan? Alexander sangat curiga terhadap Ophelia. Tidak peduli seberapa keras aku memikirkannya, dia adalah satu-satunya orang yang mencurigakan.

Tapi di dunia ini, orang kejam macam apa yang akan membunuh Ibu yang telah melahirkannya? Selain itu, bagaimana bisa ada seorang wanita yang terlihat begitu kurus dan rapuh sepertinya?

Kehidupan sehari-hari Alexander dipenuhi dengan kekacauan setelah Ophelia tidak diperbolehkan untuk meninggalkan Kediaman Duke. Di tengah semua itu, yang paling membuatnya bingung adalah sikap Ophelia terhadap dirinya.

Misalnya, saat mata kami bertemu seperti sekarang, dan aku menunjukkan senyum cerahku ke arahnya tapi dia malah berpura-pura tidak menyadari hal itu.

"……Ya, itu benar. Jadi tolong jangan terus-menerus mengatakan bahwa kamu akan pergi dari sini suatu hari nanti. Aku hanya bisa mengandalkan kamu."

Jangan pergi meninggalkan aku. Mungkin kamu adalah seorang pembunuh kejam yang telah membunuh Ibunya sendiri. Namun, mataku selalu mengikuti mata berwarna biru safir itu. Dengan kata lain, aku selalu mengamatinya.

Dia tidak yakin apakah aku mendekatinya dengan niat baik atau tidak. Bagaimana pun, aku merasa malu karena aku terus-menerus mendekatinya, tapi aku tidak bisa menyingkirkan perasaanku ini dan akhirnya, ini menjadi hal yang lucu sekaligus menyebalkan……

Ah, sial. Alexander menelan ludah.

Saat aku berdiri di depannya, aku merasa seperti pikiranku yang selama ini telah terorganisir muncul ke permukaan. Aku harus mengungkap kecurigaanku pada Ophelia.

Alexander tidak menganggap dirinya sebagai orang bodoh yang hanya melihat penampilan. Tentu saja, Ophelia memiliki penampilan yang cantik secara objektif, tapi faktor-faktor itu tidak membuatnya bersinar.

Saat Ayahku masih hidup, kami sering berkumpul di Ruang Tamu setelah makan malam untuk bermain kartu atau mengobrol. Setiap kali itu terjadi, Ophelia menatap mataku atau mata Ayahku, apakah suasana semacam ini terasa asing baginya? Dia juga menatap Ibuku, dengan tatapan gelap segelap jurang —seolah dia mendambakan sesuatu.

'……Apakah itu benar-benar normal?'

Alexander selalu dibutakan oleh tingkah lakunya yang tak terduga. Sekarang aku memikirkannya, mungkin alasan kenapa dia mulai memperhatikan Ophelia dengan sungguh-sungguh adalah karena hal sepele seperti ini.

'Kenapa dia tampak begitu tidak nyaman?'

Pada awalnya, Alexander memiliki pendapat yang buruk terhadap Ophelia. Dia merasa tidak puas dengan kenyataan bahwa dia harus menganggap seorang wanita yang berusia tidak jauh darinya sebagai Kakak.

Oleh karena itu, aku menjadi bersikap kasar dan blak-blakan padanya. Dan Ophelia bertindak dengan hati-hati seperti binatang herbivora yang sangat lemah, seolah-olah dia telah mengenali niatku.

Namun, bisa menjadi masalah jika sikapku yang itu menjadi menarik perhatiannya.

Di hari, di mana aku terbaring sakit karena flu berat yang disebabkan oleh latihan menyelam ke dalam air es di musim dingin yang dingin.

Ophelia datang menemuiku dengan wajah yang kaku dan mata yang sedikit bergetar. Larut malam, di koridor sepi tanpa satu pun orang, mata kami saling berhadapan.

Ophelia memusatkan perhatiannya seolah-olah dia ketakutan, dan aku, yang berdiri di hadapannya jadi merasa aneh.

Itulah sebabnya, secara tidak sengaja, aku mengucapkan kata-kata arogan kepadanya.

Aku menghela napas saat aku menutup pintu, tidak mampu mengatasi emosiku yang bahkan tidak bisa aku mengerti. Tidak lama kemudian, saat aku kembali membuka pintu, aku melihat Ophelia yang bergerak menjauh dengan kepala tertunduk.

Dan sejak hari itu, begitu aku tersadar, mataku tertuju ke arahnya dengan pandangan yang baru —pandangan yang tidak aku mengerti.

Dan aku bisa merasakan bahwa dia menyadari tatapanku itu.

Ophelia memandangi Ibunya yang sedang tersenyum pada Ayahku, lalu aku melihat tatapan Ophelia menjadi lebih dalam dan lebih gelap saat dia menatap Ayahku. Dia seperti seorang putri yang cemburu karena dia tidak bisa mendapatkan kebahagiaan dari Ibunya.

Oleh karena itu, Alexander mencurigai Ophelia karena ia memiliki insting yang kuat, bukan bukti fisik. Dan pada saat itulah, perlahan dia menyadari bahwa ada sesuatu di dalam dirinya yang cukup bengkok.

"……Em, aku mengerti. Aku akan lebih berhati-hati dengan kata-kataku mulai sekarang."

Memecah keheningan yang telah berlangsung selama beberapa saat, Ophelia menjawab dengan suara rendah. Alexander yang menatapnya dengan tatapan tajam, berkedip perlahan. Cahaya bukan satu-satunya alasan kenapa semburat pucat itu muncul di pipinya yang sejak awal memang pucat.

Alexander sangat meragukannya, tapi begitu dia melihat Ophelia yang seperti itu, dia tidak bisa mengerti kenapa jantungnya mulai berdetak kencang. Awalnya, aku hanya ingin mencari tahu tentang hal yang menggangguku ini.

"……Kurasa ini sudah sangat, sangat terlambat. Aku harus menyelesaikan sisa pekerjaanku."

Alexander menahan keinginannya untuk menyentuh pipi merah muda Ophelia dengan ujung jarinya. Aku pun berdiri, berjuang untuk mengabaikan tatapan wanita itu.

Ophelia tidak berusaha untuk menghentikan aku. Merasa kesal karena hal itu, Alexander kembali menajamkan matanya untuk menatap Ophelia.

"Em, ya. Itu benar, pasti kamu sangat sibuk."

Ophelia mengulurkan mantel hitam yang dia pegang. Dia menyampirkan mantel hitam yang dia pegang itu ke bahuku yang menegang. Di tengah musim dingin, Kediaman Duke yang hampir terisolasi dari dunia luar, di Kediaman ini ada seorang wanita cantik yang usianya tidak jauh berbeda dariku.

Pada akhirnya, aku menjadi tidak tahu lagi. Jika semua ini sesuai dengan dugaanku, Ophelia telah membunuh Duke dan Duchess, maka apa yang akan aku lakukan? Aku pergi keluar dari pagi-pagi buta untuk mengatur pikiranku, tapi aku masih belum mendapatkan jawaban untuk itu.

Setelah meninggalkan Ophelia, Alexander meninggalkan Ruang Tamu dan berdiri bersandar di koridor, memiringkan kepalanya ke belakang. Aroma wanita itu tercium lemah di belahan mantel yang masih hangat.

Aku tidak tahu kenapa jantungku berdebar-debar hanya karena hal seperti ini.

Alexander tidak bisa menahan dorongan itu lebih lama lagi, akhirnya Alexander membenamkan hidungnya di mantel itu. Tangannya sedikit gemetar saat dia menarik napas dalam-dalam.

***

Kenapa Henrietta sangat terlambat?

Setelah Alexander pergi, aku melihat buku-buku yang sudah kususun, dan tiba-tiba aku menyadari bahwa waktu telah lama berlalu. Jadi, aku mengangkat kepalaku.

Bagian belakang leherku cukup kaku. Jam dengan pinggiran emas yang tergantung di dinding sudah menunjuk ke arah jam 6 sore.

Biasanya, setelah sekitar 1 jam, Alexander akan mengirim seseorang untuk mengajakku makan malam, tapi kurasa itu tidak akan terjadi hari ini. Aku menggigit bibirku, mengingat ketegangan aneh yang kurasakan saat bersama dengan Alexander.

Akhir-akhir ini, saat aku memikirkannya, aku menghabiskan banyak waktu untuk menatap kosong ke arah luar. Aku teringat dengan tangan Alexander yang besar dan kuat, aku mengingat perasaan saat dia meremas pergelangan kakiku. Aku sangat mengetahui bahwa hal itu tidak ada artinya dan sia-sia untuk mengulangi hal-hal ini berulang kali.

Bagaimana jika ternyata aku benar-benar jatuh cinta padanya? Aku lahir dengan darah Ibuku. Darah dari orang yang telah membunuh semua pria yang mencintainya dengan tangannya sendiri, bahkan aku, putri satu-satunya, aku tidak bisa mengerti apa yang dia pikirkan.

Tapi aku tidak pernah berpikir untuk membunuh Alexander.

……Itulah sebabnya, aku membunuh Ibuku. Secara tidak sadar, aku telah memutuskan bahwa suatu hari nanti aku harus menghentikan perilaku aneh Ibuku dengan tanganku sendiri.

Dan pemicunya adalah saat aku menyadari bahwa Ibuku mengincar Alexander.

Tapi, apakah aku benar-benar memiliki perasaan terhadap Alexander, bahkan aku sampai berpaling dari Ibuku yang aku cintai? Tidak peduli berapa banyak aku memikirkannya, aku tidak pernah bisa menemukan jawabannya.

Sekarang aku tidak tahu apa-apa. Semakin aku memikirkannya, semakin aku terjatuh ke dalam jurang. Aku bergumul dengan rasa bersalah yang mendalam dan berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Aku mengerang pelan dan menundukkan kepalaku. Rambut perak panjangku mengaburkan pandanganku.

'Ini menyakitkan, aku ingin pergi sekarang juga.'

Aku telah melakukan dosa besar. Aku harus menebusnya dengan kematianku. Pikiran-pikiran kelam itu terus menggerogotiku. Untuk menepati janjiku pada Alexander, aku harus hidup dalam penderitaan ini selama 3 tahun.

Aku meletakkan Buku Keuangan Kediaman, lalu menggosok-gosokkan tanganku ke area di sekitar dadaku yang terasa sakit. Setiap kali aku sendirian, perasaan depresi dan kebosanan yang mengerikan, sepertinya telah menguasaiku.

Karena tidak dapat menahan pusaran emosi ini lebih lama lagi, aku pun meninggalkan Ruang Tamu seakan sedang melarikan diri. Kemudian, aku menuju ke Ruang Belajar mantan Duke Arpad. Jika aku membaca buku, jika aku masuk ke dunia yang lain, aku merasa bisa terlepas dari perasaan yang membingungkan ini.

"Dasar ja**ng. Kau pikir kau ini siapa? Kau itu cuma anak yatim piatu."

Lalu aku menemukannya. Henrietta yang tinggi badannya lebih dari rata-rata, dia dikelilingi oleh para pelayan yang memakai seragam pelayan yang sama, dan aku memandangnya dari kejauhan dengan wajah yang dingin, atau lebih tepatnya, tanpa ekspresi.

"Hanya karena Tuan Duke yang sebelumnya merawatmu, kau pikir semuanya masih sama seperti sebelumnya? Dasar tidak tahu diri. Seharusnya kau bersyukur karena Tuan Duke yang sebelumnya mau menerimamu. Tapi, sekarang kau malah nongkrong di tempat seperti ini sedangkan yang lainnya sibuk bekerja!?"

"Orang yang kurang ajar dan arogan sepertimu, harusnya kau yang mati bukan Tuan Duke!"

Henrietta yang selama ini selalu berpura-pura tidak memiliki ekspresi, kini mata hijaunya berkedip-kedip. Saat pandangannya mengarah ke bawah, pelayan yang mengucapkan kata-kata absurd tadi tersentak.

Pelayan yang berada agak jauh dari Henrietta, menunjuk Henrietta dengan jarinya.

"A-Apa! Aku kan tidak mengatakan apa-apa! Kenapa kau malah marah padaku dan mematahkan lenganku?"

"Siapa yang tidak tahu diri?"

Mendengar suara Henrietta, aku melangkah masuk ke ruangan itu setelah merasakan aura suram yang dipendamnya. Henrietta sedang mencoba merapalkan mantra pada seorang pelayan pendek yang bertampang pemarah.

"……Di sini kau rupanya. Aku sudah lama mencarimu."

Aku memanggil Henrietta untuk membangkitkan kekuatan sihir yang ada di dalam diriku. Dunia para penyihir terbagi dalam hirarki yang ketat. Penyihir yang lemah harus menundukkan kepalanya di hadapan penyihir yang memiliki bakat lebih tinggi dari dirinya.

"??"

Henrietta yang terlambat menyadari energiku, menarik napasnya dengan cepat dan menatapku. Itu adalah ekspresi ketakutan. Dia memutar matanya dan melangkah mundur seolah-olah dia adalah seorang penjahat yang telah tertangkap basah melakukan kejahatan.

Ya ampun, dia tidak perlu melakukan semua itu. Aku datang ke sini untuk mendukungmu, Henrietta.

"Ada Alexander di Ruang Tamu. Aku datang ke sini karena kau tak kunjung kembali —bahkan saat aku membunyikan lonceng, kau tetap tak datang."

"No-Nona Ophelia. Saya rasa Anda terlihat sangat kelelahan……"

"Aku tahu. Tapi aku tidak menyangka kau sedang bersantai di sini bersama pelayan lainnya. Apa yang sedang kalian lakukan di sini?"

Aku tersenyum lembut dan bertanya apakah mereka sedang memainkan permainan yang menyenangkan. Para pelayan saling memandang dengan wajah pucat dan bingung.

Nyatanya, selama ini, mereka tetap bersikap seolah-olah mereka mengabaikan aku. Mereka membenci aku dan Ibuku yang telah memasuki masyarakat aristokrat dan menjadi anggota Keluarga Arpad, meski pun kami hanyalah orang biasa tanpa pretensi apa pun.

Namun, setelah pemakaman, saat Alexander bersikap seolah-olah dia memperhatikan aku dengan baik, sikap para pelayan pun jadi berubah. Bahkan sekarang, pelayan-pelayan itu merasa terbebani karena kebetulan aku telah menjadi orang terdekat Alexander.

Aku melambaikan tanganku dengan kesal.

"Aku yakin kalian juga belum menyelesaikan jam kerja kalian, kan."

"Iya, Nona Kami datang ke sini untuk membersihkan Ruang Belajar. Kami melihat Henrietta sedang berkeliaran dan bermain-main di sini."

"Itu adalah masalah besar. Tapi, lain kali, kalau itu terjadi lagi, panggil saja aku."

Alexander memberiku peran untuk mengelola para pelayan. Tentu saja, saat ada gangguan kecil seperti ini, aku cukup menyerahkannya kepada Kepala Pelayan untuk menengahi mereka.

Namun, sama seperti mereka, Kepala Pelayan Philip juga tidak menyukaiku…… Bahkan dia menganggap bahwa aku sudah melampaui batasku. Sebaliknya, aku melihat hal ini sebagai sebuah peluang.

Aku ingin menekankan bahwa, bahkan Kepala Pelayan yang posisinya lebih tinggi dari kalian pun adalah orang yang berada di bawahku. Tanpa ragu, aku mendekati mereka dan meraih tangan pelayan yang mengajak Henrietta berkelahi.

"Namamu?"

"Sa-Saya Cynthia, Nona."

"Jangan mengatakan kata-kata yang kasar. Mungkin saja setelah ini, mulai besok kau akan terbaring di tempat tidur selama 3 hari karena sifat pemarahmu itu."

"……Ya? Nona, apa maksud Anda?"

"Tubuhmu merasa panas, pasti kau akan merasa pusing karena demam. Tapi setelah 3 hari, kau akan baik-baik saja."

"No-No-Nona! Apa yang Anda bicarakan? Kenapa Anda mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan seperti itu……!"

Cynthia berteriak ke arahku dan memutar lengannya dariku. Tepat setelah itu, aku menggosok lenganku dengan bingung —seolah-olah merasa syok. Aku telah meniupkan sedikit sihir ke dalam dirinya, dan sedikit demi sedikit, dia akan menyadari bahwa ada rasa panas yang masuk ke tubuhnya.

Aku menatap Henrietta dengan senyum lembut. Sangat mudah bagi penyihir yang benar-benar terampil untuk mengontrol kekuatan sihir yang kecil. Fakta bahwa Henrietta tidak bisa menahan amarahnya dan mematahkan lengan seseorang seperti ini, itu berarti keahliannya masih kurang.

"Ayo pergi, Henrietta."

"……Iya, Nona. Maaf saya terlambat."

Henrietta yang terjepit di antara para pelayan ini, kini menundukkan kepalanya. Saat mataku melihat ke bawah, dia buru-buru menyembunyikan sebuah buku di belakang punggungnya. Rencana Henrietta sudah terlihat dengan jelas tanpa aku harus memeriksa buku apa itu.

Aku tersenyum kecil dan mengulurkan tanganku padanya. Sambil mengangkat bahu, dia menghindari sentuhanku.

"Apa yang kau takutkan?"

"Ti-Tidak apa-apa……"

Henrietta buru-buru menggelengkan kepalanya dan menurunkan matanya. Kalau dipikir-pikir, kudengar dia memiliki hubungan yang aneh dengan Alexander. Untuk sesaat, perasaan yang tidak menyenangkan menusukku, tapi aku mencoba untuk mengabaikannya.

Untuk sementara waktu, aku harus berhenti melakukan hal-hal yang tidak berguna. Tidak ada satu pun orang yang berpihak padaku di sini. Bahkan Alexander yang mendekatiku dengan ramah, entah apa yang akan terjadi setelah dia mengetahui segalanya tentangku.

Aku meluruskan sudut mulutku yang kaku dan keluar dari Ruang Belajar terlebih dahulu. Aku bisa merasakan kehadiran Henrietta yang mengikuti dengan tergesa-gesa.

"Dulunya kau adalah putri dari seorang Tuan Tanah. Jadi, kau adalah seorang Bangsawan."

Dilihat dari statusnya sejak lahir, Henrietta adalah orang dengan peringkat tinggi. Aku tidak tahu apa-apa tentangnya, tapi kini dia telah menjadi pelayan pribadiku. Dan aku, yang seorang gadis biasa, kini telah menjadi seorang Putri Duke.

Apa yang Henrietta pikirkan tentang kenyataan yang tak terelakkan ini? Apa yang dia pikirkan saat dia membaca buku sihir itu? Aku tahu sorot mata dari seseorang yang sedang jatuh cinta. Aku tahu itu. Dan sorot matanya saat dia melihat Alexander......

"Iya, Nona. Tapi keluargaku sudah lama runtuh. Jika Duke sebelumnya tidak menerima saya, saya pasti sudah menjalani kehidupan orang biasa di jalanan."

"……Hidupmu sulit, ya."

Gumamku sambil mendengarkan penjelasannya dengan penuh minat. Aku menemukan bahwa Henrietta memandangku dengan rendah secara tidak sadar. Ya, kurasa itu tidak salah. Meski begitu, dia tidak akan mengatakan apa pun kepadaku yang sudah menyelesaikan konflik yang dia alami dengan para pelayan tadi.

Tiba-tiba, sepertinya aku mengerti kenapa Alexander kesal dengan kehadirannya. Sambil merendahkan dirinya dengan kata-kata, secara halus dia menekankan bahwa dia berada di level yang berbeda dari orang biasa.

Tapi itu masih belum cukup untuk membuatmu bergaul dengan Alexander, kan? Alexander mungkin tidak akan senang denganmu. Baru-baru ini aku menyadari bahwa apa yang pelayan bernama Cynthia itu katakan tidak sepenuhnya salah, aku memejamkan mataku dan membukanya.

Apa lagi yang aku bicarakan? Aku mulai berspekulasi dan menebak-nebak tentang masa lalu Henrietta dan Alexander yang tidak aku ketahui, dan aku pun mulai terperangkap dalam perasaan buruk itu.

"Ini sudah larut. Aku ingin istirahat, jadi kau bisa kembali. Kau harus belajar dengan keras, bukan? Untuk mengalahkan aku?"

"Ti-Ti-Tidak, Nona! Itu…… Saya."

"Aku hanya bercanda, jadi buat ekspresimu sedikit lebih rileks."

"No-Nona……!"

Henrietta yang kontemplatif menjilati bibirnya sendiri. Mungkin ini sama seperti Ibu yang terganggu dengan keberadaan Baroness Blancier. Pemikiran itu menjadi campur aduk dan meregang sesuka hati. Aku berjalan meninggalkan Henrietta yang berdiri di lorong dan aku berjalan ke depan dengan lembut.

Matahari sudah terbenam di luar, itu karena Utara memiliki waktu siang hari yang pendek. Aku berjalan melewati tikungan, menatap matahari yang terbenam, aku berjalan menuju tangga, dan pada saat itu, ini bagaikan sebuah takdir.

"……Kakak?"

Saat aku melihat Alexander yang muncul dari balik pintu kantornya, ekspresi terkejutnya menunjukkan kekaguman yang mendalam, dan aku harus mencoba untuk menenangkan hatiku yang berdetak kencang.

Aku masih belum tahu apa perasaanku terhadap Alexander. Dan kenapa, saat aku melihatnya, aku menjadi memiliki harapan terhadapnya?

"……Sepertinya, pekerjaannya sudah selesai."

Aku bergumam sedikit dan mencoba menaiki tangga. Kemudian, raut wajah Alexander tampak senang saat melihatku, kini wajahnya menjadi gelap dalam sekejap. Apa yang sedang Alexander pikirkan saat ini?

Aku berhenti bergerak karena rasa sakit di dadaku. Aku bingung. Dia juga terlihat bingung. Kami sama-sama kebingungan. Kami masih belum tahu bagaimana perasaan kami satu sama lain. Meski begitu, kami terlalu sadar akan satu sama lain.

Sekali lagi, aku merasakan ketegangan yang kaku mengalir di belakang leherku. Aku menelan air liurku dan menggigit bibirku. Mata abu-abu keperakan Alexander yang tenggelam saat melihat bibirku, aku merasakan sebuah rasa gemetar yang tidak bisa dijelaskan, dan dengan hati-hati, aku mulai menaiki tangga selangkah demi selangkah.

Alexander menungguku di puncak tangga. Kami bertanya-tanya apakah kami akan menghabiskan malam ini di Ruang Tamu tanpa melakukan apa-apa?

'Aku tidak tahu. Tapi, aku ingin berada di dekatnya.'

Oleh karena itu, aku berpura-pura bahwa aku tidak bisa mengabaikan permintaan Alexander, dan memilih untuk tinggal di sini. Akhirnya, aku harus mengakui keserakahanku. Aku merasakan kehausan yang sangat serius.

Kemudian, aku menjulurkan lidahku dan membasahi bibir bagian bawahku. Pada akhirnya, aku akan menikmati mata abu-abu keperakan yang terus menatapku.

——THE END


***

Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.

Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!

Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!

***

Sekali lg Rei sampaikan terima kasih kpd semua yg udh mendukung SeiRei Translations. Rei harap ke dpnnya jg kalian akan selalu memberi dukungan dgn membaca projek-projek kami.

Dan klo kalian pny rezeki lebih, kalian jg bs...

Dukung SeiRei Translations dengan,


***

Thanks and See You~

***


Previous | Table of Contents | Next


***


Apa pendapatmu tentang bab ini?