Special Chapter
Penerjemah : reireissDukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.
Terima kasih~
***
TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!
HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.
JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.
JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!
***
Di malam hari saat salju turun dengan lebar, Alexander
menangkapku yang hendak pergi tanpa sepatah kata pun. Dia memintaku untuk tidak
meninggalkan Duchy sampai dia dewasa. Mungkin jika bukan karena air mata yang
dia jatuhkan, aku pasti sudah meninggalkan tempat ini.
Kediaman Duke Arpad masih menjadi tempat yang membuatku
merasa tidak nyaman. Tapi, aku sudah berjanji kepada Alexander, dan entah
kenapa, aku tidak ingin mengingkari janji itu.
'Aku kesepian. Kakak. Ini menakutkan.'
Malam itu.
Penampilan Alexander yang meneteskan air mata seperti
anak kecil, itu tidak sesuai dengan kesannya yang dingin, jadi hal itu terpatri
jauh di lubuk hatiku. Dan karena itu, aku jadi mengambil peran sebagai Nyonya
dari Kediaman Duke ini. Selain itu, aku juga jadi sering memikirkan Alexander
sesekali.
"……Dengan kata lain, Tamu Terhormat Nona Ophelia ingin
mengganti semua tirai di Aula dengan warna biru safir. Tapi, apakah itu pilihan
yang tepat? Tirai berwarna hijau tua ini masih baik-baik saja."
Aku berdiri sambil memegang Buku Keuangan Kediaman dan
melihat ke luar jendela sebentar, lalu kembali melihat ke arah Kepala Pelayan
yang tidak puas dengan keputusanku. Dia bertanya padaku dengan wajah yang tidak
senang.
Sang Kepala Pelayan, Philip adalah seorang pria tua yang
bertanggung jawab atas pengelolaan Kediaman Duke, selama ini dialah yang
mengambil peran sebagai Nyonya Kediaman yang telah lama kosong. Bahkan setelah
Ibuku menikah dengan Ayah Tiriku, Ibuku tidak pernah berfokus pada peran
sebagai Nyonya Kediaman, dan Philip yang tidak menyukai kehadiran Ibuku dan aku
yang dirasa tidak cocok dengan Keluarga Arpad yang merupakan Keluarga
Bangsawan, merasa bahwa 'wilayahnya' terganggu.
Namun, Ibuku meninggal sekitar 1 bulan setelah dia
menikah dengan Ayah Tiri. Kediaman Duke Arpad yang tiba-tiba saja kehilangan
Tuannya, kini mengalami rangkaian kekacauan.
Tiba-tiba, aku teringat pada wanita tua berambut merah
yang ada di sisi Catherine. Orang-orang yang menghilang seolah-olah mereka
diusir saat mencoba berencana untuk hidup di Duchy ini.
Jika mereka masih di sini, apakah mereka akan berselisih
dengan Kepala Pelayan, Philip sepertiku saat ini?
"……Warna hijau tua sudah sangat ketinggalan zaman. Warna
biru safir sangat populer di Napiliya, Ibukota Kekaisaran sejak musim gugur
lalu. Bukankah Keluarga Arpad tidak kekurangan kekuatan ekonomi, lalu kenapa
tidak mengubahnya?"
"Tapi seperti yang baru saja saya katakan, tirai ini
masih baik-baik saja."
"Kudengar Ayahku sering mengadakan Pesta Dansa
dengan mengumpulkan para Bangsawan Utara di tengah musim dingin. Karena sampai
sekarang tidak ada Nyonya Kediaman di sini, maka tidak ada yang mengeluh jika
Kediaman Duke memiliki interior yang kuno. Tentu saja, sekarang Nyonya Kediaman
sedang berdiri di depanmu."
Pria tua ini, Philip sedikit mengernyit saat aku
memanggil almarhum Duke Arpad sebagai 'Ayah'. Aku sangat menyadari fakta bahwa
dia tidak senang dengan kehadiranku karena dia masih memanggilku 'Tamu
Terhormat, Nona Ophelia' seolah-olah itu adalah hal yang biasa.
Tapi sekarang, atas permintaan dari Alexander, secara
resmi aku sudah menjabat sebagai Nyonya Kediaman ini.
Bagi Philip, keberadaanku tidak ada bedanya dengan duri
di mata. Aku menggigit bibirku sebentar, merasa seolah-olah ada fakta baru yang menusuk tajam ke dalam
tubuhku. Aku tidak ingin mundur.
"Jika Duchess yang sebelumnya masih hidup, tirai
berwarna hijau tua yang populer 10 tahun yang lalu ini tidak akan ada lagi.
Kalau kau menentang pendapatku lagi, aku akan memanggil Alexander dan
membiarkan dia untuk membuat keputusan."
"……Saya akan segera memesannya. Apa lagi yang Anda
butuhkan?"
"Aku ingin mengganti pelapis lantai."
Alis putih pria tua yang berambut abu-abu itu berkedut.
Aku melihatnya, tapi aku berpura-pura tidak melihatnya. Selalu mendekorasi
tempat diadakannya Perjamuan dan Upacara dengan indah adalah peran dari Nyonya
Kediaman.
Aku pernah mempelajari hal itu dari Baroness Blancier.
Merenovasi Aula Kediaman bukanlah kemewahan belaka. Jika Ibuku masih hidup,
seharusnya dia juga akan melakukan hal ini.
Meski begitu, sikap Philip yang tidak menentu seperti itu
sangat tidak masuk akal. Aku juga tidak menyukainya, tapi aku tidak ingin
memiliki konflik leih lanjut dengannya. Mengonsumsi emosi adalah hal yang
melelahkan. Setelah aku menyelesaikan percakapanku dengan Philip, aku langsung
pergi.
"Aku ingin minum Teh Cybril. Tambahkan sesendok
madu."
Dengan ditemani Henrietta yang menungguku di sudut Aula,
aku duduk di Ruang Tamu dan membenamkan kepalaku. Cybril adalah sejenis teh
herbal yang hanya dipasok di Selatan dan memiliki efek untuk menenangkan
pikiran dan tubuh.
Henrietta memutar mata hijaunya dan melihat kondisiku,
lalu mengangguk dengan canggung. Akhir-akhir ini, Henrietta lebih sering memperhatikan aku. Aku juga berpura-pura
tidak tahu akan hal itu. Terkadang aku selalu berpura-pura acuh tak acuh karena
itu baik untuk hidupku.
"Ya, Nona. Mohon tunggu sebentar."
"Pena bulu yang kugunakan sudah kehabisan
tinta."
"Saya akan membawanya. Anda istirahat saja."
Aku memalingkan kepalaku untuk melihat rambut Henrietta
dengan tatapan iri. Cuaca di Utara sangat berubah-ubah, dan salju yang turun
sampai kemarin kini sudah berhenti.
Sepertinya matahari akan cukup hangat hari ini. Pada sore
hari, aku akan berjalan-jalan di taman. Kalau aku terus berada di dalam
ruangan, aku akan merasa tertekan.
Sambil menunggu Henrietta, aku mengambil bantal biru tua
yang tergeletak di dekatku. Aku meletakkan bantal dengan jumbai emas di keempat
sisinya itu di bawah kepalaku, lalu aku menutup mata untuk beristirahat
sebentar.
Perseteruan yang tidak terduga dengan Philip membuat
kepalaku sakit. Aku harus mengalami semua ini hanya karena
mengubah sedikit interior, aku tidak tahu apakah aku bisa mengatur Kediaman
Duke dengan baik di masa depan.
Aku tidak yakin. Kenapa Alexander mempercayakanku dengan
tanggung jawab yang begitu berat seperti ini? Tiba-tiba muncul kebencian
terhadapnya. Meski begitu, aku baru mengenalnya dalam waktu yang singkat, sekitar 1 bulan. Kenapa dia……
"……Ah."
Sepertinya aku tertidur di laut pikiran yang terus
berlanjut. Begitu aku mengangkat kelopak mataku yang terasa lelah, aku
menemukan mantel besar yang menutupi tubuhku.
……Ini hangat. Dan nyaman. Perlahan, aku mengangkat tubuh
bagian atasku dan memegang mantel hitam itu.
"Kamu tertidur dengan sangat nyenyak."
"Alexander."
"Aku meminum teh yang dibawakan Henrietta. Begitu
dia sampai di sini, aku merasa haus, dan kupikir Kakak tidak akan bangun sampai
tehnya menjadi dingin."
Suaranya terdengar rendah dan halus. Alexander duduk di
ujung sofa yang panjang, memperhatikan perapian yang berderak. Tangannya yang
putih dan besar itu menopang dagunya. Kalau dipikir-pikir, aku mendengar bahwa
hari ini dia pergi pagi-pagi sekali. Sejak Ibuku dan mendiang Duke Arpad
meninggal, aku bertanya-tanya apa yang terjadi padanya sampai-sampai dia
terobsesi untuk memperhatikanku setiap saat.
"……Kamu tidak terlalu suka manis, kan?"
"Iya. Aku meminumnya tanpa alasan."
Alexander tersenyum kecil dengan bibir pucatnya. Mata
abu-abu keperakannya terarah ke perapian, tampak cukup serius. Tapi, saat dia
menjawab pertanyaanku, dia menoleh ke belakang —ke arahku, dan aku tidak
merasakan keseriusannya lagi saat dia menatapku.
Dengan santai, Alexander menyentuh kakiku yang terbungkus
dalam stoking dengan ujung jarinya. Aku yang tersentak kaget pun langsung
menekuk lututku dan menyembunyikan kakiku di balik gaunku.
"Kakimu dingin. Aku ingin menghangatkannya."
"Kamu tidak perlu melakukannya."
"Aku tidak bermaksud melakukan apa pun."
"……Apa pun itu, tidak, terima kasih."
Aku menatap Alexander dengan hati-hati. Dengan lembut,
Alexander mengangkat bahunya dan menyandarkan tubuh bagian atasnya ke sofa. Tubuh besar yang tidak sesuai dengan usianya dan
otot-ototnya yang kencang dan lembut tersembunyi di balik kemeja gelap.
Aku pernah melihat tubuh bagian atasnya yang tidak
mengenakan apa pun, dan untuk sesaat aku tidak tahu, aku harus meletakkan
tatapanku ke mana. Aku tidak ingin dia menyadari hal itu. Tapi, kenapa aku
harus seperti itu?
"Tolong jangan pergi, Kak. Sekarang, satu-satunya
yang bisa aku andalkan hanyalah kamu."
"Jangan bicara seperti itu. Kamu sudah mengusir
semua kerabatmu yang mencoba untuk menjagamu……"
Dan, lagi-lagi seperti ini. Alexander menatapku dengan tatapan
yang tidak masuk akal.
Di saat seperti ini, bahkan jika aku ingin tetap bersikap
bodoh, aku tidak bisa. Pada titik tertentu, aku menyadari bahwa aku melakukan
kontak mata dengannya.
Aku sangat sadar bahwa dia menyentuh punggung kakiku.
Apakah mungkin bagi Alexander untuk terus berhadapan denganku seperti ini,
bahkan saat dia mengetahui semua kebenaran yang aku sembunyikan?
Memiliki seorang Ibu yang eksentrik, bukan berarti aku
tidak memiliki hati yang bermoral. Aku harus membayar harga penuh untuk apa
yang telah aku lakukan.
Meski begitu, aku menghadapi Alexander yang tidak
mengalihkan pandangannya dariku. Bagaimana kamu bisa begitu egois? Pada
akhirnya, aku memalingkan mataku terlebih dahulu, berpura-pura bersikap alami.
Di sudut mataku, aku bisa melihat Alexander yang mengepalkan tangannya dengan
kuat.
Dia mengepalkan tangannya dengan sangat kuat
sampai-sampai aku bisa melihat pembuluh darahnya. Aku memilih untuk memejamkan
mataku untuk menghalangi pandanganku padanya.
"Kakak."
"Apa kamu sengaja menjauhkan dirimu dariku? Apa kamu
akan tetap pergi dari sini?"
"……Bukan begitu."
"Jangan bilang tidak. Setiap kali aku mencoba
melangkah untuk mengenalmu, kamu selalu menarik garis dan membangun dinding
seperti ini."
Suara Alexander sangat rendah. Perasaan hangat mengalir
di pergelangan kakiku. Saat aku membuka mataku, aku melihat tangannya
menggenggam pergelangan kakiku. Aku berusaha keras untuk keluar dari
genggamannya yang kuat dengan memutar kakiku. Tapi itu sia-sia.
"Hari ini, apa yang terjadi padamu?"
Kemudian, akhirnya aku menyerah untuk berusaha lepas dari
genggamannya, dan aku bertanya tanpa berdaya kepadanya. Karena dia sudah pergi
sejak pagi, untuk suatu alasan Alexander tampak berada dalam kondisi yang aneh.
Apa yang terjadi saat dia pergi tadi?
Biasanya, dia adalah tipe orang yang tahu bagaimana
menjaga batas tertentu.
"Kenapa aku harus memberitahumu? Padahal kamu
sendiri, selalu bertindak seolah-olah akan pergi kapan saja."
"Kamu merajuk. Maaf, aku yang salah."
"Kata-kata yang bahkan tidak dari hati."
Mata abu-abu keperakannya sedikit terdistorsi. Dengan
tubuhnya setengah menghadap ke arahku, dia memegangi pergelangan kakiku dan
sedikit menekuk tubuh bagian atasnya. Kepalanya tertunduk, dan tanpa ragu-ragu,
Alexander membenamkan wajahnya ke ujung gaunku.
Bagian belakang lehernya yang panjang dan kaku
menunjukkan bahwa dia sedang sangat gugup sekarang. Sejak dia mencegahku
meninggalkan Kediaman Duke, terkadang Alexander akan mencoba mempersempit jarak
denganku dengan cara ini.
"Maafkan aku. Aku sedang kesal, tapi aku tidak bisa
memberitahumu apa yang terjadi hari ini… Haa, maaf.
Biarkan aku seperti ini, sebentar saja. Maafkan aku."
"……Alexander, jika ada seseorang yang melihatmu melakukan
ini."
"Di Ruang Tamu ini hanya ada kita berdua, dan aku
tidak peduli bahkan jika ada yang melihat."
Sekarang aku tidak bisa berbuat apa-apa karena dia
menjadi sangat keras kepala. Sebenarnya, bisa saja aku melepaskannya dengan
paksa, tapi jauh di lubuk hatiku, aku tidak benci berdekatan dengan Alexander
seperti ini.
Aku tidak tahu apakah ketegangan Alexander telah
berpindah kepadaku. Aku menatapnya dengan lembut dengan bahu yang menegang.
Rambut hitamnya yang kusut menempel di ujung gaunku.
Rambutnya terlihat lembut. Apa dia akan membenciku kalau
aku menyentuh rambutnya?
Aku masih bersikap waspada terhadap Alexander. Dia telah
berubah menjadi ramah padaku sejak pemakaman orang tua kami, tapi dia masih
tidak bisa dipercaya. Aku memiliki mata yang berkaca-kaca, lalu aku mengerutkan
ujung gaunku dengan jari-jariku. Kemudian, setelah hening selama beberapa saat,
aku bertanya.
"Kamu benar-benar tidak akan memberitahuku?"
"……Apa kamu penasaran?"
"Tentu saja."
"……Sebenarnya, itu bukan masalah besar. Aku hanya pergi
keluar untuk melihat-lihat Duchy. Berpikir bahwa sekarang akulah yang harus
memerintah di wilayah yang luas ini sebagai seorang Duke, bahuku terasa
berat."
"Aahhh. Sepertinya kamu merasakan tekanan."
Jika memang begitu, maka keadaan Alexander yang aneh ini
bisa dipahami. Aku mengangguk dengan tenang dan mendengarkan suara yang lembut.
Dia masih berusia 17 tahun, tapi sekarang dia harus
meninggalkan dunianya karena dia harus menggantikan Duke sebelumnya. Tapi
kurasa, dia sudah cukup tua untuk berjuang.
Perlahan, aku mengangkat mataku dan bertemu dengan tatapannya.
Sulit menahan dorongan untuk menyeka matanya yang sedikit memerah.
***
Sejujurnya, Alexander berbohong. Tapi dia tidak merasakan
penyesalan sedikit pun. Nyatanya, dia memang pergi keluar untuk melakukan
pemeriksaan wilayah.
Namun, tidak seperti yang dia katakan pada Ophelia, dia tidak merasakan
beban karena harus menjadi Duke berikutnya. Itu karena Alexander sudah
sepenuhnya menyadari bahwa dia dilahirkan ke dunia ini untuk mewarisi gelar
Duke Arpad yang terhormat.
Oleh karena itu, alasan dia pergi keluar hari ini adalah
untuk membersihkan pikiran rumit di kepalanya. Kesaksian para penyidik yang
menyelidiki kecelakaan pasangan Duke dan Duchess sebelumnya, dan jarum suntik
yang tidak diketahui tujuannya ditemukan setelah pemakaman.
Apa yang dia sembunyikan? Alexander sangat curiga
terhadap Ophelia. Tidak peduli seberapa keras aku memikirkannya, dia adalah
satu-satunya orang yang mencurigakan.
Tapi di dunia ini, orang kejam macam apa yang akan
membunuh Ibu yang telah melahirkannya? Selain itu, bagaimana bisa ada seorang
wanita yang terlihat begitu kurus dan rapuh sepertinya?
Kehidupan sehari-hari Alexander dipenuhi dengan kekacauan
setelah Ophelia tidak diperbolehkan untuk meninggalkan Kediaman Duke. Di tengah
semua itu, yang paling membuatnya bingung adalah sikap Ophelia terhadap
dirinya.
Misalnya, saat mata kami bertemu seperti sekarang, dan
aku menunjukkan senyum cerahku ke arahnya tapi dia malah berpura-pura tidak
menyadari hal itu.
"……Ya, itu benar. Jadi tolong jangan terus-menerus
mengatakan bahwa kamu akan pergi dari sini suatu hari nanti. Aku hanya bisa
mengandalkan kamu."
Jangan pergi meninggalkan aku. Mungkin kamu adalah
seorang pembunuh kejam yang telah membunuh Ibunya sendiri. Namun, mataku selalu
mengikuti mata berwarna biru safir itu. Dengan kata lain, aku selalu
mengamatinya.
Dia tidak yakin apakah aku mendekatinya dengan niat baik
atau tidak. Bagaimana pun, aku merasa malu karena aku terus-menerus
mendekatinya, tapi aku tidak bisa menyingkirkan perasaanku ini dan akhirnya,
ini menjadi hal yang lucu sekaligus menyebalkan……
Ah, sial. Alexander menelan ludah.
Saat aku berdiri di depannya, aku merasa seperti
pikiranku yang selama ini telah terorganisir muncul ke permukaan. Aku harus
mengungkap kecurigaanku pada Ophelia.
Alexander tidak menganggap dirinya sebagai orang bodoh
yang hanya melihat penampilan. Tentu saja, Ophelia memiliki penampilan yang
cantik secara objektif, tapi faktor-faktor itu tidak membuatnya bersinar.
Saat Ayahku masih hidup, kami sering berkumpul di Ruang
Tamu setelah makan malam untuk bermain kartu atau mengobrol. Setiap kali itu
terjadi, Ophelia menatap mataku atau mata Ayahku, apakah suasana semacam ini
terasa asing baginya? Dia juga menatap Ibuku, dengan tatapan gelap segelap
jurang —seolah dia mendambakan sesuatu.
'……Apakah itu benar-benar normal?'
Alexander selalu dibutakan oleh tingkah lakunya yang tak
terduga. Sekarang aku memikirkannya, mungkin alasan kenapa dia mulai
memperhatikan Ophelia dengan sungguh-sungguh adalah karena hal sepele seperti
ini.
'Kenapa dia tampak begitu tidak nyaman?'
Pada awalnya, Alexander memiliki pendapat yang buruk
terhadap Ophelia. Dia merasa tidak puas dengan kenyataan bahwa dia harus
menganggap seorang wanita yang berusia tidak jauh darinya sebagai Kakak.
Oleh karena itu, aku menjadi bersikap kasar dan
blak-blakan padanya. Dan Ophelia bertindak dengan hati-hati seperti binatang
herbivora yang sangat lemah, seolah-olah dia telah mengenali niatku.
Namun, bisa menjadi masalah jika sikapku yang itu menjadi
menarik perhatiannya.
Di hari, di mana aku terbaring sakit karena flu berat
yang disebabkan oleh latihan menyelam ke dalam air es di musim dingin yang
dingin.
Ophelia datang menemuiku dengan wajah yang kaku dan mata
yang sedikit bergetar. Larut malam, di koridor sepi tanpa satu pun orang, mata
kami saling berhadapan.
Ophelia memusatkan perhatiannya seolah-olah dia
ketakutan, dan aku, yang berdiri di hadapannya jadi merasa aneh.
Itulah sebabnya, secara tidak sengaja, aku mengucapkan
kata-kata arogan kepadanya.
Aku menghela napas saat aku menutup pintu, tidak mampu
mengatasi emosiku yang bahkan tidak bisa aku mengerti. Tidak lama kemudian,
saat aku kembali membuka pintu, aku melihat Ophelia yang bergerak menjauh
dengan kepala tertunduk.
Dan sejak hari itu, begitu aku tersadar, mataku tertuju
ke arahnya dengan pandangan yang baru —pandangan yang tidak aku mengerti.
Dan aku bisa merasakan bahwa dia menyadari tatapanku itu.
Ophelia memandangi Ibunya yang sedang tersenyum pada
Ayahku, lalu aku melihat tatapan Ophelia menjadi lebih dalam dan lebih gelap
saat dia menatap Ayahku. Dia seperti seorang putri yang cemburu karena dia
tidak bisa mendapatkan kebahagiaan dari Ibunya.
Oleh karena itu, Alexander mencurigai Ophelia karena ia
memiliki insting yang kuat, bukan bukti fisik. Dan pada saat itulah, perlahan
dia menyadari bahwa ada sesuatu di dalam dirinya yang cukup bengkok.
"……Em, aku mengerti. Aku akan lebih berhati-hati dengan
kata-kataku mulai sekarang."
Memecah keheningan yang telah berlangsung selama beberapa
saat, Ophelia menjawab dengan suara rendah. Alexander yang menatapnya dengan
tatapan tajam, berkedip perlahan. Cahaya bukan satu-satunya alasan kenapa
semburat pucat itu muncul di pipinya yang sejak awal memang pucat.
Alexander sangat meragukannya, tapi begitu dia melihat
Ophelia yang seperti itu, dia tidak bisa mengerti kenapa jantungnya mulai
berdetak kencang. Awalnya, aku hanya ingin mencari tahu tentang hal yang
menggangguku ini.
"……Kurasa ini sudah sangat, sangat terlambat. Aku harus
menyelesaikan sisa pekerjaanku."
Alexander menahan keinginannya untuk menyentuh pipi merah
muda Ophelia dengan ujung jarinya. Aku pun berdiri, berjuang untuk mengabaikan
tatapan wanita itu.
Ophelia tidak berusaha untuk menghentikan aku. Merasa
kesal karena hal itu, Alexander kembali menajamkan matanya untuk menatap
Ophelia.
"Em, ya. Itu benar, pasti kamu sangat sibuk."
Ophelia mengulurkan mantel hitam yang dia pegang. Dia
menyampirkan mantel hitam yang dia pegang itu ke bahuku yang menegang. Di
tengah musim dingin, Kediaman Duke yang hampir terisolasi dari dunia luar, di
Kediaman ini ada seorang wanita cantik yang usianya tidak jauh berbeda dariku.
Pada akhirnya, aku menjadi tidak tahu lagi. Jika semua
ini sesuai dengan dugaanku, Ophelia telah membunuh Duke dan Duchess, maka apa
yang akan aku lakukan? Aku pergi keluar dari pagi-pagi buta untuk mengatur
pikiranku, tapi aku masih belum mendapatkan jawaban untuk itu.
Setelah meninggalkan Ophelia, Alexander meninggalkan
Ruang Tamu dan berdiri bersandar di koridor, memiringkan kepalanya ke belakang.
Aroma wanita itu tercium lemah di belahan mantel yang masih hangat.
Aku tidak tahu kenapa jantungku berdebar-debar hanya
karena hal seperti ini.
Alexander tidak bisa menahan dorongan itu lebih lama
lagi, akhirnya Alexander membenamkan hidungnya di mantel itu. Tangannya sedikit
gemetar saat dia menarik napas dalam-dalam.
***
Kenapa Henrietta sangat terlambat?
Setelah Alexander pergi, aku melihat buku-buku yang sudah
kususun, dan tiba-tiba aku menyadari bahwa waktu telah lama berlalu. Jadi, aku
mengangkat kepalaku.
Bagian belakang leherku cukup kaku. Jam dengan pinggiran
emas yang tergantung di dinding sudah menunjuk ke arah jam 6 sore.
Biasanya, setelah sekitar 1 jam, Alexander akan mengirim
seseorang untuk mengajakku makan malam, tapi kurasa itu tidak akan terjadi hari
ini. Aku menggigit bibirku, mengingat ketegangan aneh yang kurasakan saat
bersama dengan Alexander.
Akhir-akhir ini, saat aku memikirkannya, aku menghabiskan
banyak waktu untuk menatap kosong ke arah luar. Aku teringat dengan tangan
Alexander yang besar dan kuat, aku mengingat perasaan saat dia meremas
pergelangan kakiku. Aku sangat mengetahui bahwa hal itu tidak ada artinya dan
sia-sia untuk mengulangi hal-hal ini berulang kali.
Bagaimana jika ternyata aku benar-benar jatuh cinta
padanya? Aku lahir dengan darah Ibuku. Darah dari orang yang telah membunuh
semua pria yang mencintainya dengan tangannya sendiri, bahkan aku, putri
satu-satunya, aku tidak bisa mengerti apa yang dia pikirkan.
Tapi aku tidak pernah berpikir untuk membunuh Alexander.
……Itulah sebabnya, aku membunuh Ibuku. Secara tidak sadar,
aku telah memutuskan bahwa suatu hari nanti aku harus menghentikan perilaku
aneh Ibuku dengan tanganku sendiri.
Dan pemicunya adalah saat aku menyadari bahwa Ibuku
mengincar Alexander.
Tapi, apakah aku benar-benar memiliki perasaan terhadap
Alexander, bahkan aku sampai berpaling dari Ibuku yang aku cintai? Tidak peduli
berapa banyak aku memikirkannya, aku tidak pernah bisa menemukan jawabannya.
Sekarang aku tidak tahu apa-apa. Semakin aku memikirkannya,
semakin aku terjatuh ke dalam jurang. Aku bergumul dengan rasa bersalah yang
mendalam dan berusaha keras untuk tidak menunjukkannya. Aku mengerang pelan dan
menundukkan kepalaku. Rambut perak panjangku mengaburkan pandanganku.
'Ini menyakitkan, aku ingin pergi sekarang juga.'
Aku telah melakukan dosa besar. Aku harus menebusnya
dengan kematianku. Pikiran-pikiran kelam itu terus menggerogotiku. Untuk
menepati janjiku pada Alexander, aku harus hidup dalam penderitaan ini selama 3
tahun.
Aku meletakkan Buku Keuangan Kediaman, lalu
menggosok-gosokkan tanganku ke area di sekitar dadaku yang terasa sakit. Setiap
kali aku sendirian, perasaan depresi dan kebosanan yang mengerikan, sepertinya
telah menguasaiku.
Karena tidak dapat menahan pusaran emosi ini lebih lama
lagi, aku pun meninggalkan Ruang Tamu seakan sedang melarikan diri. Kemudian,
aku menuju ke Ruang Belajar mantan Duke Arpad. Jika aku membaca buku, jika aku
masuk ke dunia yang lain, aku merasa bisa terlepas dari perasaan yang
membingungkan ini.
"Dasar ja**ng. Kau pikir kau ini siapa? Kau itu cuma
anak yatim piatu."
Lalu aku menemukannya. Henrietta yang tinggi badannya
lebih dari rata-rata, dia dikelilingi oleh para pelayan yang memakai seragam
pelayan yang sama, dan aku memandangnya dari kejauhan dengan wajah yang dingin,
atau lebih tepatnya, tanpa ekspresi.
"Hanya karena Tuan Duke yang sebelumnya merawatmu,
kau pikir semuanya masih sama seperti sebelumnya? Dasar tidak tahu diri.
Seharusnya kau bersyukur karena Tuan Duke yang sebelumnya mau menerimamu. Tapi,
sekarang kau malah nongkrong di tempat seperti ini sedangkan yang lainnya sibuk
bekerja!?"
"Orang yang kurang ajar dan arogan sepertimu,
harusnya kau yang mati bukan Tuan Duke!"
Henrietta yang selama ini selalu berpura-pura tidak
memiliki ekspresi, kini mata hijaunya berkedip-kedip. Saat pandangannya
mengarah ke bawah, pelayan yang mengucapkan kata-kata absurd tadi tersentak.
Pelayan yang berada agak jauh dari Henrietta, menunjuk
Henrietta dengan jarinya.
"A-Apa! Aku kan tidak mengatakan apa-apa! Kenapa kau
malah marah padaku dan mematahkan lenganku?"
"Siapa yang tidak tahu diri?"
Mendengar suara Henrietta, aku melangkah masuk ke ruangan
itu setelah merasakan aura suram yang dipendamnya. Henrietta sedang mencoba
merapalkan mantra pada seorang pelayan pendek yang bertampang pemarah.
"……Di sini kau rupanya. Aku sudah lama mencarimu."
Aku memanggil Henrietta untuk membangkitkan kekuatan
sihir yang ada di dalam diriku. Dunia para penyihir terbagi dalam hirarki yang
ketat. Penyihir yang lemah harus menundukkan kepalanya di hadapan penyihir yang
memiliki bakat lebih tinggi dari dirinya.
"…??"
Henrietta yang terlambat menyadari energiku, menarik
napasnya dengan cepat dan menatapku. Itu adalah ekspresi ketakutan. Dia memutar
matanya dan melangkah mundur seolah-olah dia adalah seorang penjahat yang telah
tertangkap basah melakukan kejahatan.
Ya ampun, dia tidak perlu melakukan semua itu. Aku datang
ke sini untuk mendukungmu, Henrietta.
"Ada Alexander di Ruang Tamu. Aku datang ke sini
karena kau tak kunjung kembali —bahkan saat aku membunyikan lonceng, kau tetap
tak datang."
"No-Nona Ophelia. Saya rasa Anda terlihat sangat
kelelahan……"
"Aku tahu. Tapi aku tidak menyangka kau sedang
bersantai di sini bersama pelayan lainnya. Apa yang sedang kalian lakukan di
sini?"
Aku tersenyum lembut dan bertanya apakah mereka sedang
memainkan permainan yang menyenangkan. Para pelayan saling memandang dengan
wajah pucat dan bingung.
Nyatanya, selama ini, mereka tetap bersikap seolah-olah
mereka mengabaikan aku. Mereka membenci aku dan Ibuku yang telah memasuki
masyarakat aristokrat dan menjadi anggota Keluarga Arpad, meski pun kami
hanyalah orang biasa tanpa pretensi apa pun.
Namun, setelah pemakaman, saat Alexander bersikap
seolah-olah dia memperhatikan aku dengan baik, sikap para pelayan pun jadi
berubah. Bahkan sekarang, pelayan-pelayan itu merasa terbebani karena kebetulan
aku telah menjadi orang terdekat Alexander.
Aku melambaikan tanganku dengan kesal.
"Aku yakin kalian juga belum menyelesaikan jam kerja
kalian, kan."
"Iya, Nona… Kami datang ke sini untuk membersihkan Ruang Belajar.
Kami melihat Henrietta sedang berkeliaran dan bermain-main di sini."
"Itu adalah masalah besar. Tapi, lain kali, kalau
itu terjadi lagi, panggil saja aku."
Alexander memberiku peran untuk mengelola para pelayan.
Tentu saja, saat ada gangguan kecil seperti ini, aku cukup menyerahkannya
kepada Kepala Pelayan untuk menengahi mereka.
Namun, sama seperti mereka, Kepala Pelayan Philip juga
tidak menyukaiku…… Bahkan dia menganggap bahwa aku sudah melampaui batasku. Sebaliknya, aku
melihat hal ini sebagai sebuah peluang.
Aku ingin menekankan bahwa, bahkan Kepala Pelayan yang
posisinya lebih tinggi dari kalian pun adalah orang yang berada di bawahku.
Tanpa ragu, aku mendekati mereka dan meraih tangan pelayan yang mengajak
Henrietta berkelahi.
"Namamu?"
"Sa-Saya Cynthia, Nona."
"Jangan mengatakan kata-kata yang kasar. Mungkin
saja setelah ini, mulai besok kau akan terbaring di tempat tidur selama 3 hari
karena sifat pemarahmu itu."
"……Ya? Nona, apa maksud Anda?"
"Tubuhmu merasa panas, pasti kau akan merasa pusing
karena demam. Tapi setelah 3 hari, kau akan baik-baik saja."
"No-No-Nona! Apa yang Anda bicarakan? Kenapa Anda
mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan seperti itu……!"
Cynthia berteriak ke arahku dan memutar lengannya dariku.
Tepat setelah itu, aku menggosok lenganku dengan bingung —seolah-olah merasa
syok. Aku telah meniupkan sedikit sihir ke dalam dirinya, dan sedikit demi sedikit, dia akan
menyadari bahwa ada rasa panas yang masuk ke tubuhnya.
Aku menatap Henrietta dengan senyum lembut. Sangat mudah
bagi penyihir yang benar-benar terampil untuk mengontrol kekuatan sihir yang
kecil. Fakta bahwa Henrietta tidak bisa menahan amarahnya dan mematahkan lengan
seseorang seperti ini, itu berarti keahliannya masih kurang.
"Ayo pergi, Henrietta."
"……Iya, Nona. Maaf saya terlambat."
Henrietta yang terjepit di antara para pelayan ini, kini
menundukkan kepalanya. Saat mataku melihat ke bawah, dia buru-buru menyembunyikan
sebuah buku di belakang punggungnya. Rencana Henrietta sudah terlihat dengan
jelas tanpa aku harus memeriksa buku apa itu.
Aku tersenyum kecil dan mengulurkan tanganku padanya.
Sambil mengangkat bahu, dia menghindari sentuhanku.
"Apa yang kau takutkan?"
"Ti-Tidak apa-apa……"
Henrietta buru-buru menggelengkan kepalanya dan
menurunkan matanya. Kalau dipikir-pikir, kudengar dia memiliki hubungan yang
aneh dengan Alexander. Untuk sesaat, perasaan yang tidak menyenangkan
menusukku, tapi aku mencoba untuk mengabaikannya.
Untuk sementara waktu, aku harus berhenti melakukan
hal-hal yang tidak berguna. Tidak ada satu pun orang yang berpihak padaku di
sini. Bahkan Alexander yang mendekatiku dengan ramah, entah apa yang akan
terjadi setelah dia mengetahui segalanya tentangku.
Aku meluruskan sudut mulutku yang kaku dan keluar dari
Ruang Belajar terlebih dahulu. Aku bisa merasakan kehadiran Henrietta yang
mengikuti dengan tergesa-gesa.
"Dulunya kau adalah putri dari seorang Tuan Tanah.
Jadi, kau adalah seorang Bangsawan."
Dilihat dari statusnya sejak lahir, Henrietta adalah
orang dengan peringkat tinggi. Aku tidak tahu apa-apa tentangnya, tapi kini dia
telah menjadi pelayan pribadiku. Dan aku, yang seorang gadis biasa, kini telah
menjadi seorang Putri Duke.
Apa yang Henrietta pikirkan tentang kenyataan yang tak
terelakkan ini? Apa yang dia pikirkan saat dia membaca buku sihir itu? Aku tahu
sorot mata dari seseorang yang sedang jatuh cinta. Aku tahu itu. Dan sorot
matanya saat dia melihat Alexander......
"Iya, Nona. Tapi keluargaku sudah lama runtuh. Jika
Duke sebelumnya tidak menerima saya, saya pasti sudah menjalani kehidupan orang
biasa di jalanan."
"……Hidupmu sulit, ya."
Gumamku sambil mendengarkan penjelasannya dengan penuh
minat. Aku menemukan bahwa Henrietta memandangku dengan rendah secara tidak
sadar. Ya, kurasa itu tidak salah. Meski begitu, dia tidak akan mengatakan apa
pun kepadaku yang sudah menyelesaikan konflik yang dia alami dengan para
pelayan tadi.
Tiba-tiba, sepertinya aku mengerti kenapa Alexander kesal
dengan kehadirannya. Sambil merendahkan dirinya dengan kata-kata, secara halus
dia menekankan bahwa dia berada di level yang berbeda dari orang biasa.
Tapi itu masih belum cukup untuk membuatmu bergaul dengan
Alexander, kan? Alexander mungkin tidak akan senang denganmu. Baru-baru ini aku
menyadari bahwa apa yang pelayan bernama Cynthia itu katakan tidak sepenuhnya
salah, aku memejamkan mataku dan membukanya.
Apa lagi yang aku bicarakan? Aku mulai berspekulasi dan
menebak-nebak tentang masa lalu Henrietta dan Alexander yang tidak aku ketahui,
dan aku pun mulai terperangkap dalam perasaan buruk itu.
"Ini sudah larut. Aku ingin istirahat, jadi kau bisa
kembali. Kau harus belajar dengan keras, bukan? Untuk mengalahkan aku…?"
"Ti-Ti-Tidak, Nona! Itu…… Saya."
"Aku hanya bercanda, jadi buat ekspresimu sedikit
lebih rileks."
"No-Nona……!"
Henrietta yang kontemplatif menjilati bibirnya sendiri.
Mungkin ini sama seperti Ibu yang terganggu dengan keberadaan Baroness
Blancier. Pemikiran itu menjadi campur aduk dan meregang sesuka hati. Aku
berjalan meninggalkan Henrietta yang berdiri di lorong dan aku berjalan ke
depan dengan lembut.
Matahari sudah terbenam di luar, itu karena Utara
memiliki waktu siang hari yang pendek. Aku berjalan melewati tikungan, menatap
matahari yang terbenam, aku berjalan menuju tangga, dan pada saat itu, ini
bagaikan sebuah takdir.
"……Kakak?"
Saat aku melihat Alexander yang muncul dari balik pintu
kantornya, ekspresi terkejutnya menunjukkan kekaguman yang mendalam, dan aku
harus mencoba untuk menenangkan hatiku yang berdetak kencang.
Aku masih belum tahu apa perasaanku terhadap Alexander.
Dan kenapa, saat aku melihatnya, aku menjadi memiliki harapan terhadapnya?
"……Sepertinya, pekerjaannya sudah selesai."
Aku bergumam sedikit dan mencoba menaiki tangga.
Kemudian, raut wajah Alexander tampak senang saat melihatku, kini wajahnya
menjadi gelap dalam sekejap. Apa yang sedang Alexander pikirkan saat ini?
Aku berhenti bergerak karena rasa sakit di dadaku. Aku
bingung. Dia juga terlihat bingung. Kami sama-sama kebingungan. Kami masih
belum tahu bagaimana perasaan kami satu sama lain. Meski begitu, kami terlalu
sadar akan satu sama lain.
Sekali lagi, aku merasakan ketegangan yang kaku mengalir
di belakang leherku. Aku menelan air liurku dan menggigit bibirku. Mata abu-abu
keperakan Alexander yang tenggelam saat melihat bibirku, aku merasakan sebuah
rasa gemetar yang tidak bisa dijelaskan, dan dengan hati-hati, aku mulai
menaiki tangga selangkah demi selangkah.
Alexander menungguku di puncak tangga. Kami
bertanya-tanya apakah kami akan menghabiskan malam ini di Ruang Tamu tanpa
melakukan apa-apa?
'Aku tidak tahu. Tapi, aku ingin berada di dekatnya.'
Oleh karena itu, aku berpura-pura bahwa aku tidak bisa
mengabaikan permintaan Alexander, dan memilih untuk tinggal di sini. Akhirnya,
aku harus mengakui keserakahanku. Aku merasakan kehausan yang sangat serius.
Kemudian, aku menjulurkan lidahku dan membasahi bibir
bagian bawahku. Pada akhirnya, aku akan menikmati mata abu-abu keperakan yang
terus menatapku.
——THE END
***
Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!
Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!
***
Sekali lg Rei sampaikan terima kasih kpd semua yg udh mendukung SeiRei Translations. Rei harap ke dpnnya jg kalian akan selalu memberi dukungan dgn membaca projek-projek kami.
Dan klo kalian pny rezeki lebih, kalian jg bs...
Dukung SeiRei Translations dengan,
***
Thanks and See You~
***
Previous | Table of Contents | Next
***
Apa pendapatmu tentang bab ini?
0 Comments
Post a Comment