Chapter 27 Part 2
Penerjemah : reireissDukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.
Terima kasih~
***
TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!
HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.
JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.
JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!
***
Sekarang apa yang akan kamu lakukan?
.
.
.
Aku bertanya dengan mataku.
"Aku sudah tahu itu, tapi.... ...Mendengarnya secara
langsung, cukup mengejutkan. Lebih dari yang aku duga."
Alexander tertawa canggung. Tatapannya lurus ke arahku,
dan tidak ada lagi rasa gentar.
Aku menatap matanya tanpa berkata sepatah kata pun. Aku
berpikir kalau, mungkin, hari ini adalah kesempatan terakhirku untuk melihat
Alexander dari dekat.
"Kakak, kamu benar-benar pembunuhnya, kan?"
Tanya Alexander.
Dia meraih tanganku, menarikku ke pelukannya dengan
gerakan yang halus.
Pipiku menyentuh dadanya yang telanjang, aku bisa
merasakan panas tubuhnya. Dia mendorongku ke dalam pelukannya yang erat.
Suara detak jantung yang kudengar di telingaku sangatlah
kencang, lalu suara detak itu berangsur-angsur mereda secara stabil. Perlahan, aku
mengangkat kepalaku dan mengamati rahangnya yang kuat.
"Apa kamu mau menciumku?"
Seolah merasakan tatapanku, Alexander melirikku.
Pertanyaannya cukup membuatku malu.
"......Apa!? Tidak! Di saat seperti ini?"
Tanyaku, tapi aku seakan tidak memiliki hak untuk menolaknya.
Alexander menundukkan kepalanya seolah dia tidak
mendengar apapun.
Dia mencengkeram daguku dengan kuat, bahkan mungkin dia
bisa meremukkannya. Alexander menciumku dengan kasar, dengan kekuatan yang
seolah akan memakanku. Lidah yang keras dan panas menembus ke dalam mulutku.
Aku cepat-cepat memejamkan mataku, dia bergerak dengan cepat, dia menangkap
lidahku dan menjeratku dengan tergesa-gesa.
"......Tunggu!"
Lalu, pada satu titik, aku memukul dada Alexander. Alasan
yang hampir tersapu karenanya, kini kembali.
Apa ini jawabanmu atas pengakuanku? Aku ingin menanyakan
hal itu. Apa ciuman manis ini adalah jawabanmu?
Benar-benar gila. Lidah yang sedang terjalin dengan
lidahmu ini, barusan, mengaku kalau aku membunuh Ayahmu.
......Bagaimana ini bisa terjadi?
Sudut mulutku basah oleh air liur. Semakin aku membuka
bibirku untuk bernafas, semakin dalam Alexander memasukkan lidahnya.
"Tung- ...Berhenti!"
Saat aku berusaha melawan, Alexander meraih kedua
pergelangan tanganku dan menarikku, seolah dia tidak bisa menolerir perlawanan,
bahkan perlawanan sekecil apapun. Aku duduk di pahanya dan harus menerima
ciuman penuh gairah darinya.
Lidah tebalnya yang mengalir di langit-langit mulut
bergerak liar di dalam mulutku. Lidahku berkedut seolah hendak ditarik keluar,
tanpa sadar aku pun gemetar.
Ujung jariku menyentuh kejan**nannya yang sudah
membengkak. Dia membuka matanya karena terkejut, seketika tubuhnya menegang dan
dia mengerutkan alisnya.
"Ah, Alex!"
Dalam sekejap, Alexander menempatkan aku di lantai. Begitu
dia membuka bibirnya, terbentanglah benang perak seperti jaring laba-laba.
Lidah merahnya tampak menjulur, dan dia meminum air liur yang ada di daguku.
Hawa dingin yang datang dari lantai membuatku merinding.
Bahuku sedikit terguncang karena Alexander meletakkan tangannya di bawah
pinggangku.
"Tertangkap."
Dia mengangkat tubuh bagian atasku dan memberikan ciuman
kecil di setiap sudut wajahku. Rambut halusnya menggelitik pipiku, membuat
tubuhku yang menggigil menjadi merasa geli. Aku menoleh, mengabaikan
kejan**nannya yang menggosok bagian bawah tubuhku.
"Dengarlah. Kamu harus mengetahuinya."
Aku yang sejak tadi menahan nafas, kini akhirnya membuka
mulutku. Tapi Alexander tidak mendengarkan aku, dia malah membelai tulang
selangkaku yang terlihat karena jubah mandi yang menganga.
"Ibuku.... ...Dia seperti kupu-kupu."
Aku tidak peduli dengan reaksinya, aku terus berbicara.
Dia menatapku tidak puas saat aku meraih tangannya yang memegang pinggangku.
Aku memastikan dia menatapku seakan tidak ada lagi hal
yang penting kecuali aku di hadapannya. Alexander yang sudah tidak
menyembunyikan nafsunya, akhirnya dia berhenti bergerak dan matanya bergetar.
Aku mulai bercerita tanpa melewatkan setiap momen itu.
"Ibuku itu seperti kupu-kupu. Seseorang yang tampak
akan terbang jauh jika ada orang yang mengulurkan tangan ke arahnya. Karena
itu......"
Sebuah helaan nafas mengalir keluar. Kini, Alexander
seperti anjing setia yang mendengarkan dengan baik, dia berhenti bergerak dan
menungguku kembali berbicara.
"Oleh karena itu.... ...Aku membunuhnya agar aku
tidak kehilangannya. Aku tidak mau dibuang olehnya."
Ibuku membunuh para suaminya dengan menyuntikkan racun
melalui jarum suntik. Sebagai putri dari seorang petani di pedesaan, Ibuku
memiliki pengetahuan mendalam tentang berbagai jenis tanaman obat dan tanaman
beracun sejak usia dini.
Ibuku bisa membunuh seseorang hanya dengan bunga yang
tidak dikenal, yang tumbuh di pinggir jalan. Dia tahu betul bagaimana cara
menggunakan bunga itu sebagai racun yang mematikan atau sebagai obat untuk
menyelamatkan orang.
Penampilannya yang seperti malaikat membuat semua orang
percaya padanya. Ketika Ibuku berkata, 'Ini untukmu.' dengan mata birunya yang
berbinar, tidak ada seorang pun yang meragukannya.
"Bahkan Ayahku juga meninggal karena itu."
Aku tertawa pahit. Aku tidak tahu apa-apa sampai aku
mendengar kabar bahwa Ayahku sudah meninggal setelah aku dan Ibu melarikan
diri. Siapa yang akan menyalahkan Ibu, di saat Ayahku tewas karena diserang di
tengah-tengah kerusuhan?
Kemudian, kebenaran akhirnya terungkap. Waktu berlalu,
dan Ayah Kandung Cain sekaligus Ayah Tiri pertamaku, Ksatria Cameron meninggal.
Pada waktu itu, aku memiliki keraguan pada kematian Ayah
Tiriku. Dia memiliki fisik yang kuat dan tidak sakit. Tapi dia meninggal karena
penyakit aneh yang disebut sepsis.
Setelah pemakaman Ayah Tiriku. Di kamar Ibuku, saat Ibuku
masih berkabung, aku menemukan jarum suntik yang tidak terhitung jumlahnya di
sebuah laci.
Begitu juga dengan racun yang disembunyikan di bagian
laci yang terdalam. Bagian belakang kepalaku terasa seperti dipukul dengan
palu. Ibu sering menyuntik Ayah Tiri, seperti yang dia lakukan pada Ayahku.
Menginfeksikan jarum suntik bukanlah hal yang sulit baginya.
"Ibuku telah membunuh para suaminya. Dan saat aku
mengetahuinya......"
Aku tersenyum lemah saat aku menatap Alexander yang
mendengarkan aku dalam diam.
'Bu, bagaimana bisa Ibu meninggalkan hal-hal seperti ini
sembarangan?'
Larut malam, saat semua pelayat yang mengunjungi rumah
duka pergi, aku menemui Ibuku dan mengulurkan jarum suntik itu secara
diam-diam. Tanpa ada tanda-tanda mengkritik dalam ekspresi dan nada suaraku.
Ibuku berkata,
'Ophelia, itu.... ...Bisakah kamu merahasiakannya?'
Pada awalnya, Ibuku mengeraskan wajahnya seolah terkejut.
Namun, tak lama kemudian, dia tersenyum cantik, secantik bidadari. Secara
alami, dia tampak yakin kalau aku akan membantunya.
Tentu saja, seperti biasa, Ibu benar. Aku pun
menganggukkan kepalaku sambil berpikir kalau kematian Ayah Kandungku
berhubungan dengan hal ini.
Aku hanya bisa tertawa bersama Ibuku. Hal yang terpenting
bagiku adalah kebahagiaan Ibuku. Begitulah caraku menyakini kalau Ibu harus
bahagia dan dia meninggalkan Ayah, karena Ayah tidak bisa memuaskannya.
Pada waktu itu, Ibu memiliki sejumlah kekayaan yang
tersisa atas nama Ayah Tiri. Meski itu tidak cukup untuk hidup bahagia, tapi
kami tidak perlu hidup sulit, kami pun tinggal bersama di rumah cantik yang
sangat diinginkan Ibuku.
Hidup seperti itu sudah cukup bagiku. Tidak ada lagi yang
bisa diharapkan. Hidup berdua dengan berbagi rahasia tanpa harus
mengkhawatirkan tentang uang.
'Nyonya Blancier bilang dia akan menjadikanku sebagai
pendampingnya. Minggu depan, Ibu akan mengemasi barang-barang dan pergi ke
Kediaman mereka.'
Namun, Ibuku, yang sudah menyaksikan kehidupan kelas atas
di balik bahu Nyonya Blancier, menjadi tidak puas dengan kehidupan ini. Ibuku
menginginkan banyak pelayan yang melayaninya. Dia menginginkan bros pertama
tebal untuk dikenakan di dadanya, dan dia ingin menarik perhatian seorang Baron
tampan.
Dia selalu menginginkan yang lebih.
Saat Baroness Blancier yang ingin berteman dengan Ibuku
yang cantik, mengulurkan tangannya, Ibuku terpesona dengan kegembiraan. Ibuku
memiliki kesepakatan untuk menaikkan statusnya, dan itu tepat ada di depan
matanya. Ibuku pun tidak melepaskan tangan itu.
'Ophelia sangat mirip dengan Isolde.'
Baroness menyayangiku tanpa syarat dan dia begitu murah
hati. Dia menyayangiku, mengatakan kalau saja dia sehat, dia pasti akan
memiliki anak perempuan yang seusia denganku.
Ibuku menatapnya dengan pandangan mata yang kabur. Saat
itulah, aku menyadari kalau Ibuku selalu melakukan hal itu setiap kali dia
memiliki hal yang dia inginkan.
Saat aku memakan permen ruby yang diberikan Baroness padaku, aku pun panik. Bagaimana kalau
Ibuku melakukan pembunuhan lagi?
"Tapi aku tidak merasa kalau aku harus
menghentikannya."
Karena, mungkin aku akan mengecewakan Ibuku. Dan dia akan
meninggalkan aku, seperti dia meninggalkan Ayah.
Dalam beberapa hal, Baroness menyayangiku lebih dari
Ibuku. Meski begitu, hal itu tetap tidak mencegah Ibuku untuk membuat Baroness
sakit saat kami pergi ke resor.
Yang bisa aku lakukan hanyalah membakar semua jarum
suntik yang Ibuku gunakan, untuk berjaga-jaga agar tidak ketahuan.
"Sejak saat itu, aku menjadi kaki tangan Ibuku. Ibu tahu kalau aku sudah mengurus semua itu.... ...Dia
menyukainya karena dia pikir, dengan begitu semuanya akan menjadi lebih
mudah."
Baroness yang pergi ke resor untuk proses penyembuhan
malah mulai menderita. Ibuku merawatnya, bahkan sampai memarahi hingga mengusir
semua pekerja.
Dari belakang, dengan pandangan yang kabur, aku
menyaksikan Ibuku yang tersenyum saat merawat Baroness. Dan Baroness yang bodoh
malah berkata pada aku dan Ibu kalau hal ini pasti akan terjadi suatu hari
nanti.
Seketika tulang belakangku merinding. Apa yang aku dan
Ibuku lakukan adalah sebuah kejahatan.
Kejahatan yang tidak akan pernah bisa dimaafkan.
Kalau aku memiliki pemikiran yang benar, harusnya, saat
itu aku melaporkan Ibuku. Membiarkan Ibu terus seperti, hanya akan membuat
Baron dalam bahaya.
'Ah, begitulah akhirnya.'
Baron tidak terlalu berduka atas kematian istrinya.
Bahkan dia seakan sudah menunggunya, Baron pun melamar Ibuku, dan Ibu
menerimanya.
Pertama-tama, Ibu tidak perlu melakukan upaya apapun
untuk menarik perhatian Baron. Sejak kami memasuki Kediaman, hati Baron sudah
diambil alih oleh Ibuku.
Meskipun Baron menikah dengan Baroness karena perjodohan
tanpa cinta...... Tetap saja, di mataku Baron itu arogan. Penampilannya yang
tampan dan kekayaannya yang luar biasa, tapi semua itu sia-sia karena
kepribadiannya.
Jadi aku mundur selangkah. Bagaimana pun, Baron adalah
eksistensi yang akan dibuang ketika Ibu merasa bosan.
Dan beberapa tahun kemudian, prediksiku menjadi
kenyataan. Ibuku membunuh Baron.
Kali ini, pembersihan pasca kejadian adalah tanggung
jawabku. Saat Ibuku menyambut para pelayat di pemakaman, aku tetap tinggal di
Kediaman dan menyingkirkan semua barang yang dirasa bisa mencurigai Ibuku.
Itu karena ada desas-desus kalau Ibu adalah penyihir jahat yang memangsa para suaminya.
Lagi... Sekali atau dua kali, bisa dianggap sebagai
kebetulan. Tapi ini sudah berlebihan. Ibu sudah membunuh 4 orang.
Kalau aku harus menyalahkan ketiga suami Ibuku.... ...Apa
itu dosa mereka karena mereka tidak bisa memuaskan Ibuku? Aku bahkan tidak
memiliki sedikit pun simpati atas kematian mereka.
Bahkan aku pun sempat berlari dalam keadaan panik agar
Ibu tidak meninggalkan aku.
Namun, kematian Baroness Blancier berbeda. Itu membuatku
merasa skeptis. Membuatku tersiksa.
Baroness tidak melakukan kesalahan. Dia dibunuh hanya
karena dia adalah Istri Baron, dan karena Ibuku menginginkan posisinya.
Tapi, rasa cintaku pada Ibuku membuatku tidak bisa
melaporkannya. Jadi, sore itu, setelah aku memastikan kalau semua pelayat sudah
pergi, aku bertanya pada Ibuku,
'Tidak bisakah kita berhenti sekarang?'
Nada bicaraku sangat berhati-hati, dan saat aku
mengajukan pertanyaan itu, aku menatap mata Ibuku dengan panik.
'Apa maksudmu, Ophelia? Ada apa?'
Ibu memiringkan kepalanya dengan wajah yang seakan tidak
tahu apa yang sedang aku bicarakan. Seolah-olah, dia sudah melupakan semua
pembunuhan yang telah dia lakukan.
'Ophelia, apa salah Ibumu ini sampai semua suamiku
sekarat?'
Tanya Ibuku saat kami berada di pemakaman Baron, Ibuku
memegang bahuku seolah dia membutuhkan aku. Tidak ada seorang pun yang bisa
terang-terangan mengkritiknya kalau Ibu adalah seorang penyihir, di saat dia
meneteskan air mata di tengah-tengah suasana yang menyedihkan ini.
Aku tidak menjawabnya. Alasan kenapa mereka meninggal,
akulah yang paling mengetahuinya.
Jadi, tanpa berkata apa-apa, aku memeluk pinggang ramping
Ibuku dengan erat. Aku ingin menghentikan kata-kata dan tindakannya, dengan
jelas, aku bisa melihat kalau Ibuku berniat untuk menemukan pria yang
selanjutnya akan menjadi suaminya, suami untuk sesaat.
'Saya turun berduka, Nyonya.'
Tapi aku tidak bisa melakukan apapun. Melihat Duke Arpad
yang terperangkap dalam jebakan Ibuku, aku hanya bisa merasa gugup.
'Ibu, Ibu akan pergi?'
Aku memastikannya.
Begitu aku menanyakan pertanyaan itu, Ibuku menatapku
dengan tatapan mata yang kabur. Saat Ibuku tersenyum, seketika aku jatuh ke
dalam keputusasaan.
Kepuasan Ibu tidak pernah bertahan lama. Seharusnya, Duke
Arpad akan menjadi target Ibu yang selanjutnya.
Duke. Dia adalah seorang Duke. Bukan tentara bayaran
biasa, bukan seorang Ksatria dengan wilayah kecil, atau pun seorang Baron. Duke
adalah keluarga paling bergengsi di antara para bangsawan.
Dengan mudah, Duke Arpad bisa memberikan apapun yang Ibu
inginkan. Dia adalah seorang pria yang memiliki posisi untuk bisa melakukan
semua itu.
'Ibu akan menjadi Duchess. Tidakkah kamu senang,
Ophelia?'
Itu adalah bencana. Bahkan, meski aku tersenyum saat
bertatap muka dengan Ibuku, aku diliputi kecemasan. Padahal, Duke adalah pria
yang sangat cocok dengan tipe ideal Ibuku. Penampilannya yang tampan, kekayaan
yang luar biasa, keluarga dengan darah bangsawan murni, dan bahkan kepribadian
yang ramah dan humoris.
Aku tidak merasa senang, melainkan sedih. Aku ingin
kembali ke Kota Pelabuhan dan tinggal berdua dengan Ibuku. Aku merindukan
hari-hari yang damai itu. Secara bertahap, aku merasa lelah.
Bukan hal yang mudah untuk berada di belakang Ibuku. Aku
memiliki mimpi buruk, di mana para manta suami Ibuku dan Baroness muncul saat
aku sedang membakar jarum-jarum suntik itu, mereka bertanya kenapa aku tidak
mencoba untuk menghentikan Ibuku. Mereka menanyakan hal itu sambil menangis
dengan air mata darah, mereka juga berkata kalau mereka membenciku.
Aku lelah secara mental. Aku tidak bisa mengetahui apa
yang sebenarnya diinginkan Ibuku.
Meski begitu, Ibu tidak membunuhku. Dia tidak
meninggalkan aku. Hari-hari berlanjut dengan aku yang terus menghibur diriku
sendiri dengan fakta itu.
Aku tersadar kalau akhir-akhir ini aku jadi jarang
berbicara dan murung. Namun, tampaknya Ibu tidak memperhatikan kondisiku,
bahkan di sepanjang perjalanan menuju ke Kediaman Duke, dia terus berbicara
tentang Duke Arpad.
Dan akhirnya, setelah perjalanan panjang, kami tiba di
Kediaman Duke. Dan di sana, aku...
"Alex, aku bertemu denganmu."
Ibu turun terlebih dahulu dan menemui Tuan Duke, mereka
saling memandang seolah hanya ada mereka berdua orang yang tersisa di dunia
ini. Turun sendiri, aku berpura-pura baik-baik saja dan turun dari kereta kuda.
'Senang bertemu denganmu.'
Kamu tidak ada bandingannya dengan para bangsawan di
Selatan. Dengan suara dan perilaku yang elegan. Aku mendongak dan melihat
seorang anak lelaki yang sangat tampan menatapku.
'Ophelia.'
'......'
'Kakak, kan?'
Dengan mata yang enggan. Sikap yang tidak mau repot-repot
untuk menyembunyikan ketidaksukaannya, tapi dia tetap harus melakukannya.
'Aku Alexander.'
.
.
.
***
Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!
Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!
***
Puas dengan hasil terjemahan kami?
Dukung SeiRei Translations dengan,
***
Previous | Table of Contents | Next
***
Apa pendapatmu tentang bab ini?
0 Comments
Post a Comment