Chapter 7
Penerjemah : reireissDukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.
Terima kasih~
***
TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!
HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.
JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.
JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!
***
Setiap dia bertemu denganku di ruang makan atau koridor,
Alexander melihat pipiku dan wajahnya membatu seakan dia tidak menyukai
sesuatu. Setiap kali aku melihatnya, aku akan tersenyum canggung dan
mengabaikannya.
Lalu dia tidak akan melangkah dan hanya melihatku dari
belakang sampai aku menghilang. Meski aku tidak memiliki mata di belakang
tubuhku, tapi aku bisa merasakan tatapannya dengan jelas.
Selama beberapa hari ini aku selalu mengabaikan
Alexander. Kecuali saat makan, aku selalu berada di kamarku dan melihat
bunga-bunga yang bermekaran lewat jendela. Saat ibuku masih hidup, setiap hari
merupakan hari yang menyenangkan. Bahkan terkadang aku akan menemui ibuku dan
menyisir rambut keemasannya yang lembut.
'Ophelia, kamu terlihat seperti ibu.'
Ibu selalu menarik tanganku dan mengatakan hal itu. Aku
tersenyum di belakangnya, memeluk bahu ibuku yang ramping. Aku benar-benar
senang.
Tok tok
"Nona, bolehkah saya membersihkan kamar Anda?"
Tanya seorang pelayan yang masuk tak lama setelah ia
mengetuk pintu. Sejujurnya, sudah 3 hari aku tidak menggunakan selimut. Aku
hanya duduk diam di dekat jendela, dan perlahan aku berdiri.
"Lakukan."
Pelayan itu melewatiku dan membuka jendela. Angin musim
dingin berhembus. Pelayan berambut pirang itu bergerak ke sana ke mari.
Aku ingin memiliki rambut seperti pelayan itu. Aku ingin
rambutku sama seperti ibuku, begitu juga dengan warna dan fitur mataku.
"Ini sangat dingin, bukan? Tapi cuacanya sangat
bagus hari ini. Nona, Anda tidak bisa terus berada di kamar dan terus bersedih.
Bagaimana kalau Anda memakai gaun yang hangat dan pergi berjalan-jalan?"
Tanya pelayan itu, lalu dia pergi ke ruang ganti dan
membawa mantel. Siapa nama pelayan ini? Aku tidak pernah menanyakannya. Di
Kediaman ini, para pelayan berbisik dan menatapku dari belakang setiap kali aku
melewati mereka, tapi aku tak pernah melihat pelayan ini sebelumnya.
"...Kalau begitu, aku akan pergi ke rumah
kaca."
Aku membalut diriku dengan syal bulu berwarna cokelat
muda di atas mantel yang pelayan itu berikan padaku. Pelayan itu mengantarku
keluar kamar dengan membawakan sebuah buku, setelah itu dia mulai mengganti
sprei.
"Ini dingin."
Sekeluarnya aku dari pintu depan, hawa dingin menerpaku.
Mereka yang terlahir dan besar di Utara mengatakan kalau ini adalah cuaca yang
bagus? Kalau dipikir-pikir, aku pernah mendengar kalau para ksatria di Kediaman
ini melatih tubuh mereka di hari bersalju.
Aku sampai di rumah kaca, menghembuskan nafas putih. Lain
kali aku akan membawa sarung tangan, itulah yang kupikirkan.
"Oh, bukankah ini Ophelia yang cantik?"
Aku memilih tempat yang salah. Begitu aku masuk ke rumah
kaca, aku langsung mengarahkan mataku ke tempat di mana suara itu berasal. Itu
adalah pria paruh baya yang membuat kontak mata denganku beberapa hari yang
lalu. Kalau tidak salah, Adrian?
"Saya mengira, Anda sudah pergi."
Setiap kali aku pergi makan, ruang makan selalu kosong.
Jadi aku kira kerabat Keluarga Arpad sudah pergi. Tidak ada lagi wanita tua
berambut merah atau pun Catherine yang memiliki suara keras.
"Memang benar aku akan pergi, tapi sudah lama aku
tidak berada di sini. Jadi aku meminta Alex untuk membiarkanku berada di sini
untuk beberapa hari lagi."
Ya, aku tidak peduli dengan aset atau kekuatan Duke. Jadi
Alexander tidak perlu membangun dinding untuk menutup dirinya.
Setelah menjelaskan itu, Adrian menaruh cerutu yang dia
gigit. Sedangkan aku, aku memiliki buku di tanganku jadi aku tak bisa melakukan
ini atau pun itu. "Bagaimana mengatakannya, bukankah ini takdir bagi kita
untuk bertemu seperti ini. Jadi bagaimana kalau kita berjalan-jalan keluar?
Terkadang aku membutuhkan cahaya matahari untuk hiburan."
Dia mengulurkan tangannya padaku. Aku mengangkat buku dan
berkata,
"Terima kasih atas tawarannya, tapi saya datang ke
sini untuk membaca buku."
"Bukankah kamu bisa membaca novel romantis kapan
pun?"
Dengan santai, Adrian mengabaikan jawabanku. Sulit untuk
menolaknya karena dia tersenyum dengan percaya diri, bahkan dia berkata kalau
tangannya kedinginan. Selain itu, dia adalah Count Lassis, salah satu kerabat
dekat Arpad.
Pada dasarnya, aku berada di posisi yang sulit. Aku tidak
bisa menolak ajakannya begitu saja. Aku pun terpaksa untuk menerima uluran
tangan Adrian.
"Tanganmu dingin. Seorang perempuan harus tetap
hangat."
Adrian langsung meraih tanganku tanpa izin. Kuharap
setidaknya dia akan bersikap seperti Alexander, bersikap gentleman dengan berkata 'Permisi'. Aku merasa tak nyaman dengan
Adrian.
"Nona Ophelia. Tidak, bisakah aku memanggilmu
Ophelia saja?"
"...Silakan."
Kekuatan apa yang kupunya untuk menolaknya? Gerutuku
dalam hati.
"Apa kamu ingat apa yang kukatakan terakhir
kali?"
"Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan..."
"Tentang aku yang sedang mencari pengantin."
Apa hubungannya hal itu denganku? Aku menatap Adrian dan
mengikuti langkahnya. Aku harap dia tidak akan melamarku di sini, aku berdoa
pada Tuhan agar hal itu tak terjadi.
"Aku dengar kamu memasuki usia dewasa tahun ini.
Tidakkah kamu berpikir kalau aku ini cukup baik? Mungkin tidak sebaik Arpad,
tapi itu sudah cukup untuk hidup yang melimpah. Tentu saja, setelah kamu
menikah, kamu harus bekerja keras untuk melahirkan penerus. Akan bagus kalau
kamu memberiku 3 putra-"
"Oh, tunggu sebentar. Ada seseorang yang berlari ke
sini. Apa terjadi sesuatu?"
Aku memotong omongan Adrian. Aku terkejut saat mendengar
semua kata-katanya itu. 'Tidakkah kamu berpikir kalau aku ini cukup baik?'
Tentu saja tidak. Aku tidak akan menikah dengan lelaki yang usianya 20 tahun
lebih tua dariku, bahkan jika aku adalah seorang gelandangan yang tak memiliki
atap untuk berteduh.
"...Meski kamu ini orang biasa, tapi sikapmu itu
tetap tidak sopan. Saat orang dewasa bicara, kamu harus mendengarkannya dengan
baik."
Lalu, kau mencoba untuk menjadikan perempuan biasa yang
baru menginjak usia 20 tahun untuk mencari pengantinmu? Aku tidak tahu apakah
aku menghela nafas karena tak bisa berkata apa-apa.
"Nona... Nona Ophelia!"
Orang yang berlari itu adalah pelayan yang membersihkan
kamarku. Dia bahkan tidak memakai mantel, jadi wajahnya memerah dan dia
kesulitan bernafas. Pelayan itu menatapku dan menatap Adrian sejenak kemudian
berkata padaku.
"Tuan Alexander mencari Anda."
"...Alexander?"
Itu tidak mungkin. Alexander tidak akan menyuruh orang
untuk memanggilku.
"Iya, beliau mengatakan kalau ini adalah hal yang
penting."
"Aku harus pergi ke mana?"
Aku merasa kalau hal ini sedikit aneh, tapi aku tetap
bertanya pada pelayan itu. Adrian yang berada di sampingku batuk dengan keras.
"Pembicaraannya masih belum selesai."
"Mohon maaf, tapi Tuan Muda berkata untuk segera
menyampaikannya."
Jelas pelayan itu sambil menundukkan kepalanya dan
meminta maaf. Kedua tangannya terlihat kasar karena dia telah melakukan pekerjaan
rumah dalam waktu yang lama.
"Tuan Adrian, saya ingin berjalan-jalan sedikit
lebih lama dengan Anda. Tapi... Saya harus pergi karena urusan penting."
Aku meminta pengertian Adrian kalau aku tidak bermaksud
untuk melakukan hal yang tidak sopan. Alis tebalnya berkedut, tapi dia
melepaskan tangannya dari lenganku. Setidaknya aku beruntung karena Alexander
memiliki kekuasaan yang lebih besar di sini. Ngomong-ngomong, waktunya sangat
tepat sekali. Tadi aku sedang memikirkan cara untuk melepaskan diri dari
Adrian. Aku masih sibuk berpikir saat pelayan itu berkata padaku untuk segera
bergegas pergi ke tempat latihan.
Saat aku berjalan, aku bisa mendengar Adrian meneriaki
pelayan itu. Aku jadi merasa bersalah pada pelayan itu, kurasa aku harus
memberikan perhatian lebih kepadanya nanti.
"Alexander."
Jarak antara rumah kaca dengan tempat latihan cukup jauh.
Itu karena Kediaman Duke memiliki luas tanah yang begitu besar. Aku hampir
berlari-larian kecil untuk sampai di tempat latihan ini. Tentu saja, pipiku menjadi
memerah, sama seperti pelayan yang tadi.
"...Kakak?"
Aku tidak tahu kalau para ksatria di Utara benar-benar
melatih ilmu pedangnya di tengah-tengah Musim Dingin seperti ini. Alexander
sedang berlari di tempat latihan hanya dengan memakai celana. Lalu dia
mendatangiku, dia tampak terkejut melihatku yang berada di pintu masuk tempat
latihan.
"Ada apa? Kenapa wajahmu bisa merah lagi?"
Aku tidak tahu karena selama ini tersembunyi di balik
baju. Bahu Alexander begitu lebar, dada bagian bawah yang begitu kencang, dan
otot perut yang begitu jelas, membuatmu ingin menyentuhnya.
"Bentuk yang bagus..."
"Apa? Kamu bilang apa?"
Sial! Hatiku seakan mengalir dengan bebas. Syukurlah
Alexander tidak mendengar gumaman kecilku tadi, apa ini melegakan? Aku menoleh,
berusaha untuk tidak melihat tubuh bagian atasnya.
"Oh, tidak. Aku ke sini karena kamu
memanggilku."
Alexander mengusap wajahnya dengan handuk yang diberikan
oleh seorang pelayan. Lalu, dia memiringkan kepala seakan ada sesuatu yang
salah.
"Aku memanggilmu."
"Iya."
"Aku? Memanggil Kakak?"
"Itulah yang kudengar."
Hal penting apa yang membuatku sampai harus datang ke
tempat latihan, tempat yang tidak pernah kudatangi sebelumnya? Aku tertarik.
"Ada yang salah?"
Aku kembali menolehkan kepalaku dan bertanya. Wajah indah
Alexander terlihat kebingungan.
Hah?
"...Bukankah begitu?"
"Apa yang kamu bicarakan, Kak? ...Tunggu. Aku tidak
tahu apa yang kamu bicarakan."
"Kenapa- Kamu tahu, pelayan berambut pirang dengan
potongan pendek..."
Dia menyentuh leher bagian belakangnya, Alexander
terlihat semakin tidak paham. Dia mengernyitkan alisnya yang indah.
"Siapa itu? Aku tidak hafal nama-nama pelayan."
"Aku tidak tahu."
"Lagi pula, aku tidak pernah memanggilmu kalau itu bukan urusan
pribadi."
"...Hah?"
"Tidak ada hal yang penting."
Aku tidak bisa berkata-kata, hanya bisa berkedip beberapa
kali. Entah bagaimana, memang hal yang aneh kalau Alexander benar memanggilku.
Tidak jauh dari sini, para ksatria yang bertubuh besar seperti beruang
berkumpul dan melihat ke sekitar seakan mereka tidak melihat kami. Di antara mereka,
ksatria yang memberikan handuk pada Alexander tiba-tiba berdiri.
"Tuan Muda."
Ksatria itu mengulurkan hari telunjuknya ke atas,
menunjuk langit. Alexander mendongak ke atas dan memastikan di mana matahari
berada sekarang, dan dia pun bergumam, "Ah!"
"Aku akan segera ke sana."
Jelasnya. Setelah itu, dia menggantungkan handuk itu ke
pinggangnya dan menatapku.
"Kakak."
Dibanding menjawab panggilannya, aku lebih memilih untuk
membuat kontak mata dengannya. Mata berwarna perak ke abu-abuan yang lembut.
Alexander tersenyum dengan lembut.
"Kurasa pelayan itu salah paham. Tentu saja, aku
senang karena Kakak mengunjungiku ke sini."
Tapi tetap saja ini aneh. Kenapa dia mengatakan omong
kosong seperti itu?
Alexander mengusap keringat di pipinya. Ksatria yang
berkeringat... Itu terlihat elegan, tidak kasar. Aku tidak tahu apa dia memang
terlahir seperti itu, tapi semua gerakan yang dia buat terlihat begitu mulia
dan dewasa. Barusan saja, Adrian mengatakan kalau aku tidak sopan karena aku
adalah orang biasa.
"...Jadi."
Kamu senang dengan itu? Aku tersenyum seperti Alexander
karena kukira akan baik-baik saja kalau aku menunjukkan wajah yang berterus
terang. Dia menatapku, hanya terdiam, dan untuk sesaat dia tersenyum.
"Ngomong-ngomong, aku akan memanggil pelayan itu dan
berbicara dengannya nanti. Aku sudah gagal sebagai pemimpin Arpad karena
membiarkan salah paham seperti ini terjadi."
"Tidak, jangan lakukan itu."
Aku mengambil langkah untuk mendekat ke arah Alexander
dan membuka mulutku. Aku tidak tahu kenapa, tapi kurasa dia menyelamatkan aku
dari Adrian meski dia tidak mendengar percakapanku dengan Adrian.
Aku tidak akan punya muka untuk melihatnya kalau
Alexander memarahi pelayan itu. Lagi pula, aku berterima kasih padanya.
"...Kalau itu yang Kakak inginkan."
Dia mengangkat bahunya. Alexander yang berada di dekatku,
dia tidak berbau keringat, melainkan memiliki bau sabun yang manis, yang biasa
dia gunakan.
"Kakak, kurasa aku harus segera pergi. Aku akan
menyelesaikan latihan ku sebelum matahari terbenam."
"Baiklah. Kalau begitu, aku akan kembali."
Setelah mengatakan itu, aku tetap berada di tempatku dan
melihat Alexander membalikkan badan terlebih dahulu. Tidak ada alasan untuk
itu.
"Oh, Kakak."
Setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja dia
berhenti seakan mengingat sesuatu.
"Pipimu, itu terlihat sudah sangat membaik. Aku
bersyukur melihatnya."
Dan dia menyeringai seperti anak nakal. Seketika aku refleks menyentuh pipiku. Meski aku berpikir kalau seringainya itu tidak cocok dengan dirinya, tanpa sadar aku menertawakannya.
***
Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!
Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!
***
Puas dengan hasil terjemahan kami?
Dukung SeiRei Translations dengan,
***
Previous | Table of Contents | Next
***
Apa pendapatmu tentang bab ini?
0 Comments
Post a Comment