Chapter 6
Penerjemah : reireissDukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.
Terima kasih~
***
TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!
HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.
JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.
JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!
***
"Kakak."
Alexander memanggilku saat aku meminum kopi sambil duduk
di pojokan. Ini sudah cukup telat untuk dibilang pagi, jadi tentu saja, kurasa
Alexander sudah sarapan. Dia selalu bangun di pagi hari untuk latihan
berpedang.
"Ah... Hai, Alexander. Selamat pagi."
Kami jarang bertemu satu sama lain di kediaman yang
sangat luas ini kecuali kami memang ingin bertemu. Alexander suka menghabiskan
harinya dengan berada di ruangannya, dan aku tidak begitu sering mengelilingi
kediaman kecuali ruang belajar dan taman.
"Selamat pagi. Tidak, bukankah ini sudah cukup
siang?"
Dia duduk di hadapanku dengan senyum tipis. Aku tidak
tahu kenapa dia memilih untuk duduk berhadapan denganku. Dahulu, bahkan saat
kami makan bersama, dia selalu duduk jauh dariku dan ibuku, bahkan dia bersikap
seolah-olah tidak melihatku.
Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Aku mencurigai
Alexander. Kita tidak mungkin bisa akur hanya dalam waktu semalam. Meski kita
sama-sama kehilangan ayah dan ibu, meski kita sama-sama melewati malam dengan
berbagi kesedihan.
"Itu masih belum sembuh."
"Hah?"
Alexander menunjuk ke arah pipiku. Mengikuti arah
telunjuknya, aku menyentuh pipiku dan membelalakkan mata karena terkejut. Aku
melupakannya karena ini tidak begitu sakit. Tapi ternyata pipiku membengkak
karena tamparan dari Catherine.
"Aku tidak tahu kalau akan menjadi seperti itu jadi
aku biarkan saja. Ternyata itu lebih parah dari yang kukira."
"Tak apa. Aku akan mengurusnya nanti."
"Kapan kamu akan melakukannya? Itu menggangguku sejak
kemarin. Maaf karena aku tidak segera menghentikannya untukmu."
"Kenapa kamu meminta maaf?"
Aku melambaikan tanganku. Tidaklah mudah untuk menerima
kebaikannya.
"Ayo ke atas. Di kamarku ada obat. Aku akan
membantumu mengobatinya."
Alexander berdiri tanpa menyelesaikan makannya. Aku
melihat ke bawah, ke arah makanan yang tersaji di piringnya.
"Santai saja. Tidak perlu buru-buru."
"Aku tidak tahu Kakak mau pergi ke mana setelah
selesai makan, jadi kurasa sebaiknya kita pergi sekarang."
"Aku akan menunggumu."
"Apa?"
"Aku akan berada di sini sampai kamu selesai
makan."
Alexander membelalakkan matanya seakan dia mendengar hal
yang mengejutkan. Dia mengangguk dan dengan cepat dia memasukkan makanan ke
mulutnya. Aku menyuruh pelayan untuk mengisi kembali gelasnya yang kosong
dengan air.
"Aku bisa sakit perut."
Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku, mengusap selai
yang ada di sudut bibirnya. Alexander melihatku dengan pandangan yang waspada,
dia menatap selai yang ada di jempolku, lalu dengan canggung dia menarik sudut
bibirnya, tersenyum.
"Aku tidak menyangka Kakak bisa semanis ini."
"...Aku tidak pernah menyangka akan melakukan hal
ini padamu."
Alexander mengusap bibirnya dengan sapu tangan dan
berkata, "Aku bukanlah orang yang rapi." Kemudian aku meminum air lalu
menaruh gelasku.
"Ayo kita ke atas."
"Kamu tidak sibuk?"
"Sekarang ini tidak ada masalah. Bagaimana kalau aku
menangis setiap aku melihat pipimu, itu menyakiti hatiku."
"Bohong. Kamu adalah seseorang yang tidak berpikir
kalau setetes darah akan keluar saat kamu menusuknya."
"Ya ampun."
Dia menggelengkan kepalanya. Lihat itu. Kali ini juga
begitu. Aku menyipitkan mataku. Alexander bersikap berlebihan, seolah-olah dia
terbiasa bersikap seperti itu. Aku tidak pernah melihatnya bersikap seperti ini
sebelum pemakaman.
Entah bagaimana, Alexander berubah. Kepribadiannya
tiba-tiba saja berubah.
Kami pergi ke lantai atas tanpa mengatakan apapun. Saat
aku sampai di kamar Alexander, aku berhenti dan menatapnya.
"Apa kamu memperbolehkan aku untuk masuk?"
"Apa ada masalah dengan itu?"
Dia membuka pintu dan menungguku untuk masuk terlebih
dahulu. Tapi aku tak kunjung melangkah satu langkah pun, aku memiringkan
kepalaku untuk berpikir. Sudah lebih dari sebulan aku tinggal di Kediaman ini,
tapi ini adalah pertama kalinya aku melihat kamar Alexander.
***
"Kau datang selarut ini hanya untuk memberiku
ini!?"
Suatu hari aku mendengar kata-kata yang kasar itu dari
Alexander. Hari itu, mungkin sekitar 2 Minggu setelah aku datang ke Kediaman
ini. Aku mengunjungi kamar Alexander karena aku diminta oleh Ibuku karena saat
itu Alexander sedang sakit. Aku membawakan air madu untuknya.
Alexander yang membukakan pintu tak lama setelah aku
mengetuk, dia berkeringat, lehernya yang terekspos serta telinganya memerah.
Dia mengerutkan keningnya, bersandar di pintu karena merasa pusing. Dan saat
aku menyodorkan nampan dan melihat ke sekeliling kamarnya...
"Kau tidak sopan! Aku tidak percaya kau melihat
kamar orang lain."
Dia mengatakan hal itu dan mengambil nampan, lalu menutup
pintu dengan keras.
***
"Tidak. Masalahnya...."
Aku menggelengkan kepalaku dan masuk ke kamarnya. Aku
mengira hanya baju dan rambutnya saja yang berwarna hitam, tapi Alexander
bahkan membuat semua hal di kamarnya menjadi gelap. Tirai berwarna biru gelap,
meja antik berwarna hitam, dan ranjangnya juga berwarna seperti indigo.
"Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya kamu masuk
ke kamarku."
"...Ingat?"
Aku melihat ke arah Alexander dan bertanya.
"Maksudku, kamu ingat hari itu?" Dia mengangguk, seakan dia mengerti
dengan baik.
"Sejujurnya, aku jarang membiarkan seseorang masuk
ke kamarku. Bahkan setiap Cathy meminta, aku selalu menolaknya."
"Tidak ada pelayan yang bertugas sebagai pembersih,
hanya pelayan biasa." Jelasnya. Aku tidak tahu apa dia tidak mengingatnya
atau berpura-pura tidak tahu kalau dia pernah menutup pintu kamarnya dengan
keras di hadapanku.
T/N:
Maksud Alexander di sini, ga da pelayan yg bersihin kamarnya. Jd bnr-bnr ga da
yg prnh masuk ke kamarnya, paling cmn ada pelayan yg disuruh (kek bawain
minuman dsb) yg prnh masuk kamarnya.
"Aku mengerti. Ini adalah kehormatan bagiku."
Perlahan aku melihat sekeliling ruangan, aku tahu kalau
Alexander terus melihatku. Dia tersenyum canggung, menyapu belakang lehernya.
"Ini adalah kamar yang kecil."
"Tidak. Ini kamar yang rapi dan bagus."
"Aku bersyukur kamu berkata seperti itu. Silakan
duduk dan tunggu sebentar."
Alexander menunjuk sebuah sofa. Aku duduk di sofa empuk
itu dan melihatnya membuka laci. Di dalamnya terdapat banyak hal yang tersusun
rapi di dalam laci itu. Dia lebih seperti seorang ksatria dibanding penulis,
tapi cukup mengejutkan karena di sana terlihat ada sebuah buku catatan yang
terlihat seperti sebuah buku harian.
"...Kamu memiliki buku harian?"
"Oh, kamu melihatnya? Aku merasa malu, jadi aku
merahasiakannya."
Alexander segera menutup laci itu. Lalu berjalan ke
arahku sambil membawa botol obat.
"Ini akan terasa sedikit sakit. Biar aku singkirkan
dulu rambutmu..."
Dia menyingkirkan rambutku ke sebelah. Aku memeluk
bantal, jadi aku terlalu malas untuk melakukannya karena itu kubiarkan saja
Alexander mengurusnya. Jadi aku terus diam.
"...Iya."
Alexander tersenyum singkat seakan dia merasa malu. Lalu
dia mendongakkan kepalanya seakan dia telah mengambil keputusan. Kemudian jari
keras yang memiliki kapalan menyentuh pelipisku. Dia menarik rambut panjangku
ke belakang.
"Wow... Ini lembut. Oh, aku tidak pernah menyentuh
rambut perempuan sebelumnya. Ini seperti sarang laba-laba."
Bibirnya sedikit terbuka, dia terlihat terkagum-kagum.
Tentu saja, orang lain pernah memuji rambut lembutku ini. Mungkin karena rambut
berwarna perak begitu menarik perhatian saat berada di bawah langit malam.
Alexander mengagumi rambutku yang terlihat seperti sarang laba-laba.
"Perempuan? Aku ini adalah Kakakmu."
Aku tersenyum samar. Kita tidak terhubung dengan darah
dan namaku tidak terdaftar di keluarga ini. Tapi, aku akan tetap menjadi kakak
Alexander sampai 3 tahun ke depan. Jadi kamu tidak bisa menganggapku sebagai
seorang wanita, kan?
"Dan lagi..."
Saat semua rambutku sudah disingkirkan, dia mencelupkan
ujung jarinya yang bersih ke dalam botol obat. Aku melirik ke arah Alexander
yang menaruh jarinya itu ke pipiku. Dia mulai mengoleskan obat itu ke pipiku.
"Dekatkan lagi wajahmu."
"... Seperti ini?"
"Tidak. Ke arah yang berlawanan."
"Kamu mau aku melakukan apa?"
Aku memiringkan kepalaku. Beberapa kali Alexander
mengatakan bukan itu maksudnya. Mungkin karena lelah berurusan, Alexander
memegang pipiku dengan hati-hati.
"Permisi."
Apa itu karena jarak di antara wajah kami begitu dekat?
Nafasnya menyentuh pipiku. Alexander fokus mengoleskan obat, aku bahkan bisa
melihat bulu matanya yang indah.
"Bukankah mulutmu juga terluka? Ini
keterlaluan."
"Itu... Bukan."
Aku mengeluarkan kata-kata dengan susah payah. Setiap
kali aku membuka mulutku, aku bisa merasakan suara nafas yang bercampur. Ini
terasa seperti itu meski hal itu tidak bisa dilihat. Ini terasa sangat aneh.
Mungkin itu karena aku tidak pernah memiliki seorang adik.
Aku merasakan hal ini setiap kali aku melihatnya dari
dekat, Alexander benar-benar tampan. Rambut hitam yang masih ada sisa kelembaban
sesudah mandi sebelum makan, terlihat
indah, dan kulit putih yang tanpa cacat itu cocok dengannya. Di Utara, bahkan
jika orang-orangnya beraktivitas berat di bawah cahaya matahari setiap hari.
Mereka akan memiliki kulit yang putih.
Secara keseluruhan, wajahnya indah seperti pahatan dan
alis hitamnya tidak tebal ataupun tipis. Itu tidak seperti dia merawat alisnya
sepertiku, tapi alisnya sungguh indah tanpa cacat. Mata tajam dengan bulu mata
yang lentik serta eyeshadow alami
yang ada di sekitar matanya.
T/N:
Maksudnya di mata Alex ini natural kyk ada eyeshadow-nya. Jd bkn Alex emang pke
eyeshadow, ya.
Hidung mancung dan bibir tebal seperti pahatan,
membuatnya terlihat begitu maskulin. Meski begitu, dagunya ramping. Itu
membuatnya terlihat cantik dibanding tampan.
Setelah cukup lama mengamati fitur wajah Alexander,
akhirnya dia meluruskan dan menggerakkan lehernya yang kaku, merilekskan
saraf-sarafnya.
"Sudah. Berhati-hatilah agar rambutmu tidak terkena
obatnya."
"Kamu terlihat seperti seorang dokter."
"Aku bukan seorang profesional."
Dia mengatakannya dengan wajah tanpa ekspresi. Dari
pandangan bangsawan besar, tidak baik untuk membandingkan diri mereka dengan
pekerja kelas menengah seperti dokter. Aku menyingkirkan rambutku ke satu sisi
dan memperbaiki ucapanku. Karena aku tersadar kalau aku sudah membuat
kesalahan.
"Tentu saja tadi aku salah bicara."
"...Tak apa."
Alexander menggelengkan kepalanya, berkata kalau itu
bukanlah apa-apa. Aku melepaskan ikatan pita yang ada di pergelangan tanganku.
Lalu, aku mengepang rambutku yang sepanjang dada itu lalu mengikatnya dengan
pita.
"Terima kasih. Aku akan keluar."
Aku bangun dari sofa, merapikan gaunku. Tapi Alexander
menarik lengan gaunku, membuatku kembali terduduk di sofa.
"...Ada apa?"
"Kamu langsung mau pergi?"
Alexander terlihat terkejut karena aku terduduk karena
tarikannya. Mata abu-abunya terbelalak. Dia langsung melepaskan lengan gaunku.
"Ah, maafkan aku. Aku tidak bisa mengendalikan
kekuatanku karena itu refleks."
"...Berhati-hatilah. Kamu itu lelaki dan aku adalah
perempuan." Aku tersenyum, menunjukkan kalau aku baik-baik saja. Alexander
menundukkan kepalanya dan kembali meminta maaf, dia bilang kalau dia
benar-benar menyesal.
"Aku baik-baik saja, jadi berhentilah."
Tapi Alexander tidak langsung mengangkat kepalanya. Aku
benar-benar ingin pergi sekarang. Alexander yang menundukkan kepalanya terus
terdiam, aku menjadi kesal. Lalu aku menyentuh pipinya dan mengangkat
kepalanya.
"Kamu bukan perempuan, tapi Kakakku. Kamu sendiri
yang bilang begitu tadi."
Dia menggerutu, suara gerutuannya seperti suara bola. Mau
tak mau aku harus memperbaiki kata-kataku tadi.
"...Secara biologis."
Aku menambahkan alasannya. "Biologis?".
Alexander tertawa setelah mendengar kata-kataku, pasti dia berpikir kalau
alasan yang tidak berguna itu lucu.
"Ngomong-ngomong, terima kasih. Aku tidak tahu kalau
kamu sebaik ini."
"Sama-sama."
Alexander tidak menahanku lagi. Sebaliknya, dia berkata,
"Oh, tunggu sebentar." Dan memberikan botol obatnya kepadaku.
"Ambillah dan oleskan setiap hari setelah kami
mandi. Dengan begitu, kami akan segera sembuh."
"Terima kasih..."
Aku sedikit mendecakkan lidahku sambil menatap obat di
tanganku. Ini terasa aneh. Bagaimana bisa dia bersikap semanis ini, bahkan dia
memperbolehkan aku masuk ke kamarnya. Aku menaruh obat itu ke meja.
"Tidak perlu. Kurasa ini saja sudah cukup."
Aku memiringkan kepalaku dan tersenyum tipis, mungkin
saja rambutku mengenai obatnya karena hal ini. Sudut mulut Alexander perlahan
menjadi turun. Membuat ekspresi wajahnya terlihat aneh, aku cepat-cepat pergi
dari ruangan ini.
Aku bersandar di pintu yang tertutup dan menarik nafas.
Aku harus mengakui kalau aku merasa gugup saat berada di kamar Alexander.
Semakin dia bersikap baik, semakin aku merasa tidak nyaman.
***
Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!
Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!
***
Puas dengan hasil terjemahan kami?
Dukung SeiRei Translations dengan,
***
Previous | Table of Contents | Next
***
Apa pendapatmu tentang bab ini?
0 Comments
Post a Comment