Chapter 5

Penerjemah : reireiss

Dukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.

Terima kasih~


***

TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!

HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.

JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.

JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!

***

Pagi harinya, aku terbangun karena lapar dan segera menuju ke ruang makan dengan memakai gaun hitam. Lalu, seakan ini adalah hal yang biasa, aku bertemu dengan para saudara Duke yang juga ingin masuk ke ruang makan.

"Selamat pagi."

Aku hanya berdiri diam, bahkan aku seakan tak bisa memegang gagang pintu ruang makan untuk masuk sampai ada tangan seseorang yang membuka pintu itu. Dia adalah Alexander.

"Kakak tidak masuk?"

Dia menyingkir, memintaku untuk masuk ke dalam terlebih dahulu. Aku menatapnya tanpa ekspresi dan aku tidak punya pilihan lain selain melangkah ke dalam ruang makan. Seketika suara garpu dan pisau yang beradu pun berhenti.

"Alex, kau sudah datang. Kemarilah dan duduk di sini. Buah-buahannya sangat segar."

Itu adalah wanita tua yang kemarin. Dia menyeka mulutnya dengan lap dan mengatakan hal itu. Lalu, pelayan yang berdiri di belakangnya menarik kursi yang ada di samping wanita tua itu.

"Kakak, kamu mau duduk di mana?"

Tapi Alexander pura-pura tidak mendengar perkataan wanita tua itu dan malah berbicara denganku. Seketika, suasana di ruang makan ini menjadi dingin. Sebuah garpu yang terbuat dari perak pun jatuh ke lantai, menimbulkan suara berisik yang kecil.

"Alex, kamu tidak mendengar kata-kata Bibi?"

Catherine tersenyum canggung. Alexander yang menemukan kursi kosong untukku yang tidak bisa memilih kursi, membawaku ke sisinya.

"Alex?"

Suara Catherine bergetar, gugup. Alexander membantuku untuk duduk di kursi, lalu dia bergerak ke kursi di sampingku dan duduk di sana. Barulah dia mengangkat wajahnya.

"Oh, Cathy. Maaf, kamu mengatakan sesuatu?"

"...Tidak, tidak apa-apa."

Dengan gugup Catherine meminta garpu baru dari pelayan. Dia berhenti memakan salad yang tersaji di hadapannya dan berbisik ke wanita tua di sampingnya. Wanita tua itu melihat ke arah Alexander, terlihat malu.

"Sup ini agak dingin."

Alexander mengetuk gelas untuk menarik perhatianku. Dia menatapku, lalu dia menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis dan tertawa.

"Bukankah Kakak tidak begitu suka memakan makanan yang masih panas."

"...Iya. Bagaimana kamu tahu?"

Aku terkejut, tapi aku berusaha untuk tidak menunjukkan keterkejutan itu di depannya.

"Sudah 2 kali. Aku melihat Kakak kesakitan karena lidahmu terbakar."

Alexander merentangkan 2 jarinya dengan lebar. Senyum ceria seperti saat Duke dan Ibu hidup. Aku mengaduk-aduk sup dengan menunduk. Aku melakukannya dengan perlahan-lahan, seakan sedang bermain-main.

"Apa Kakak mau buah plum? Katanya buah ini segar."

Saat aku meminum minumanku setelah makan dalam diam. Alexander mengambil buah plum dari keranjang buah dan memberikannya padaku. Buah plum adalah buah yang sulit ditemui di Utara, mungkin sekitar setengah tahun sekali kita bisa menemui buah plum di sini. Saat aku tinggal di Selatan, aku suka memakannya.

"Terima kasih. Itu mengingatkan aku dengan masa lalu."

Aku melihatnya dengan pandangan yang redup, seakan aku ingin tertawa tapi juga tidak. Aku bisa merasakan kalau Alexander menatapku, tapi aku tidak memedulikannya. Aku memiliki banyak kenangan dengan buah plum. Hampir semuanya berkaitan dengan Ibu.

"Kakak mengenang masa lalu? Aku penasaran. Aku ingin mendengarnya."

Alexander memiringkan kepalanya dan tersenyum lembut. Jujur saja, tatapan yang ia pancarkan itu tidak cocok dengannya. Untuk pertama kalinya, semalam aku melihat Alexander yang menangis. Tapi bagiku, dia tetap terlihat dingin seperti es.

"Oh, maksudku. Itu terjadi saat aku berusia 12 tahun."

Aku berhenti bicara dan menggigit buah plum. Rasa asam pun menyebar di mulutku. Jari-jariku terlumuri oleh sari-sari buahnya. Setelah aku menghabiskan buah plum itu, tampaknya Alexander ingin mengajakku berbicara lagi, tapi Catherine berjalan ke belakang Alexander dan berkata, "Alex, karena kamu sudah selesai makan bisakah kita berbicara?"

Rambut merah Catherine yang panjang terjatuh di bahu Alexander. Kemudian Catherine membungkukkan tubuhnya dan mencium pipi Alexander. Untuk sesaat Alexander tersentak, tapi kemudian dia membiarkannya. Kemudian Alexander mengusap pipinya dengan lap secara natural.

"Salam seperti itu tidaklah nyaman. Kurasa aku sudah mengatakannya padaku berkali-kali."

Alexander mengatakannya tanpa melihat ke arah Catherine. Kemudian wanita tua itu juga berjalan ke sini dan menaruh tangannya di pundak Alexander.

"Kamu harus mengerti. Kamu selalu saja seperti ini sejak kamu belajar di luar negeri."

"Dan aku selalu membencinya."

"Mau bagaimana lagi, bukankah reaksimu itu sangat lucu?"

Catherine menarik kursi dan duduk di samping Alexander. Dia menjulurkan tangannya ke keranjang buah dan mengambil buah plum.

"Ini adalah buah yang sulit ditemukan di Utara. Bagaimana caramu mendapatkannya? Sudah lama aku tidak melihatnya."

Dia melambai-lambaikan buah plum itu di hadapan Alexander. Alexander hanya tersenyum tipis tapi aku bisa melihat kalau pancaran matanya tidak seperti biasanya.

"Bahkan di Cassier aku tidak pernah melihatnya. Terima kasih atas makanannya."

Tampaknya Catherine tidak menyadari seperti apa pancaran mata Alexander karena itu sangatlah singkat. Catherine kemudian memakan buah plum dengan riang.

"Iya, silakan menikmati."

Alexander menatapku dan kembali ingin mengajakku berbicara saat Catherine mengambil buah plum untuk yang kedua kalinya. Tapi, secara bersamaan ada seorang pria paruh baya berkumis dan pelayan berambut pirang masuk ke ruang makan.

"Oh, Alex! Maaf atas keterlambatanku. Padahal aku sudah buru-buru, tapi aku tetap melewatkan pemakamannya."

"...Paman Adrian."

Alexander pun berdiri dan berjabat tangan dengan pria itu. Pria itu memperlakukan Alexander dengan hormat dan melihatku yang ikut berdiri setelah Alexander berdiri tadi. Lalu, pria itu menyapukan tangannya ke dagunya dan menunjukkan kesan yang baik.

"Mungkinkah Nona ini?"

Setiap kali aku bertemu dengan saudara Duke, aku selalu menunjukkan kesopanan tapi mereka tidak menerima keberadaanku. Tapi pria ini tidak seperti itu. Dia memutari meja lalu mendekatiku.

"Aku sudah mendengarnya. Pasti kamu kesusahan. Siapa namamu?"

"...Namaku Ophelia."

Aku berjabat tangan dengannya. Rasanya ini sangatlah aneh. Padahal biasanya tidak ada saudara Duke yang mengakui keberadaanku.

"Kamu adalah gadis yang sangat cantik. Aku terkejut. Sudah lama aku tidak melihat kecantikan sepertimu."

Pria itu memegang tanganku dengan kuat. Rasanya sangat tidak nyaman, perlahan dia mengelus pergelangan tanganku dengan jari-jarinya. Aku berusaha untuk menarik tanganku, di saat itulah Catherine berkata dengan kesal,

"Apa-apaan ini, Adrian? Kamu tidak melihat kalau aku ada di sini?!"

"Aha, Cathy. Tentu saja, kamu juga cantik. Tapi aku lebih tertarik dengan gadis ini."

Pria itu menunduk (memberi salam) dan tertawa keras. Itu adalah kata-kata yang sangat tidak bisa diterima. Aku pun menarik tanganku dengan keras.

"Maaf, tapi aku belum mencuci tanganku."

"Pantas saja Nona beraroma manis. Aku kira itu aroma alamimu."

Dia menyentuh sisa sari-sari buah plum yang ada di jari-jariku dan menyuruh pelayan di dekatnya untuk segera membawa air untuk mencuci tanganku. Pelayan berambut pirang itu menunduk dan segera pergi untuk menjalankan perintahnya.

"Jadi, berapa usiamu di tahun ini? Saat ini aku sedang mencari pengantin."

"Paman."

Alexander memanggil pria ini dengan nada memperingati. Aku melihat ke sekeliling, mencuci tanganku dari air yang dibawa oleh pelayan. Seluruh Keluarga Arpad melihat kami sambil duduk di kursi masing-masing. "Hentikan, Adrian. Ophelia itu masih muda. Aku berpikir untuk berbicara sambil minum teh dengan Alex untuk membicarakan tentang kepindahanku. Bagaimana denganmu? Kamu mau ikut bergabung denganku?"

Tanya wanita tua itu. Pria itu menatapku dari atas hingga bawah dan mengangkat bahunya.

"Apa maksudmu muda? Dia terlihat seperti bunga lili yang sudah mekar."

"Dia terlalu muda untukmu. Tahun ini kamu berusia 40 tahun."

"Aku baru 39 tahun."

Aku tidak percaya dia berusia 39 tahun. Dia lebih tua dari Ibuku. Susah bagiku untuk mengendalikan ekspresiku. Aku merasa sangat jijik saat pria yang usianya bisa dibilang seusia dengan ayahku malah melihatku sebagai seorang wanita.

"Apa Paman datang ke Arpad untuk mencari pengantin?"

Ada sarkasme di perkataan Alexander. Dia berjalan ke sini, seketika dia sudah berdiri di hadapanku dan memberikan sapu tangannya untuk mengeringkan tanganku.

"Aku tidak bermaksud seperti itu, tapi iya."

Pria itu menjawab dengan senyuman licik. Wanita tua itu menepuk tangannya, membuat semua perhatian tertuju padanya dan berkata, "Sudah, hentikan." Saat pria itu dan Alexander memalingkan wajah mereka, wanita tua itu memegang tangan Catherine dan berdiri.

"Alex, kita tidak perlu membicarakan apapun lagi. Hari ini sangat hangat, bagaimana kalau kita pergi ke rumah kaca?"

"Maaf, tapi aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan."

"Kamu tidak mengerti? Tristan sudah tiada, jadi kami khawatir padamu. Karena itu kami akan menetap di Arpad dan membantumu."

"Aku tidak pernah mendengar tentang itu. Rasanya itu seperti keputusan sepihak."

Aku mengembalikan sapu tangan Alexander yang kusut. Dia memiringkan kepalanya dan tersenyum tipis padaku.

"Semalam kamu menghilang entah ke mana. Saat itulah, kami membicarakan tentang hal ini."

Wanita tua itu terlihat tenang, seakan dia sudah menduga respon Alexander. Catherine terus mengangguk di samping wanita tua itu.

"Lalu, kamarku dipindah? Kamar tamu berada terlalu jauh dari ruang makan dan ruang utama. Alex, di samping kamarmu ada kamar kosong, bisakah kamu memberikannya padaku? Akan bagus kalau kita sering bertemu. Lalu, untuk kamar Bibi. Kurasa lantai 4 tidak pantas untuknya mengingat Bibi sudah tua dan lututnya sering sakit."

Tampaknya kemarin Catherine berjalan-jalan menyusuri Kediaman Arpad. Dia tersenyum seperti anak kecil dan berkata, "Aku menemukan kamar yang dekorasinya cocok dengan selera Bibi." Alexander hanya menghela nafas mendengar semua perkataan itu.

"Terima kasih atas belasungkawa kalian."

"Ayolah, jangan seperti itu. Kamu akan aman bersama kita."

"Tidak. Terima kasih."

Alexander memalingkan wajahnya dan menatapku seakan tidak ingin mendengar perkataan mereka. Kenapa kamu malah menatapku di saat aku tidak ingin ikut campur dengan permasalahan kalian? Aku merasa sedikit malu saat mataku bertatapan dengan mata Alexander. Apa dia meminta pertolongan dariku? Memangnya aku punya kekuatan apa?

"Tidak ada orang dewasa di Kediaman ini. Alex, jangan seperti itu dan biarkan kami membantu."

Wanita tua itu menunjukkan senyum yang sangat canggung. Tampaknya dia tidak menyangka Alexander akan mengatakan hal seperti itu.

"Apa maksudmu tidak ada orang dewasa? Di sini kan ada Kakak Ophelia."

"...Alex!"

Catherine berteriak keras. Alexander tidak memedulikannya dan memegang tanganku. Dia tersenyum cerah, sedikit berlebihan.

"Aku bersyukur, aku memiliki Kakak. Terima kasih atas kepedulian kalian, tapi aku tidak sendirian di sini. Semua itu berkat Kakak."

Aku mengedipkan mataku beberapa kali sebelum mengangguk. Lalu, aku melihatnya yang mengedipkan satu matanya dengan cepat ke arahku. Ah, jadi begitu... Itulah kenapa dia memintaku tetap tinggal di sini sampai dia dewasa. Karena para saudara Duke bisa mengancam kekuasaannya di Kediaman ini kalau dia hanya sendirian di sini.

"Alexander, aku tidak tahu apa kamu ini naif atau bodoh. Kesampingkan persoalan tentang dewasa atau tidak. Memang dia adalah perempuan yang cantik dan memu-"

"Adrian, berhenti! Hentikan!"

Akhirnya wanita tua itu kembali berbicara. Lalu, dia menatapku dengan tajam. Sebelum ini dia belum pernah menunjukkan perasaannya yang sebenarnya padaku.

"Alex, kamu benar-benar berpikir seperti itu? Kamu hanya membutuhkan Ophelia? Benarkah? Aku tidak bisa memahami apa yang kamu pikirkan. Kamu itu masih muda, begitu juga dengannya. Jadi dengarkanlah apa yang orang dewasa- katakan..."

Tampaknya wanita tua itu sadar kalau tadi intonasi suaranya meninggi, jadi dia segera menurunkan intonasi suaranya. Gaya bicaranya juga kembali lembut seperti biasanya. Tapi Alexander tetap tegas dengan keputusannya.

"Terima kasih atas kepedulian kalian sampai membuat kalian berunding tanpa aku kemarin. Tapi aku ingin agar kalian tidak perlu menetap di Kediaman ini terlalu lama. Pagi ini saja sudah lebih dari 5 pelayan yang izin tidak bekerja karena sakit."

Sebelum mengatakan semua itu, tadi Alexander mendecakkan lidahnya, suara decakkannya sangat keras sampai membuat semua orang yang ada di sini mendengarnya. Kata-kata yang dia ucapkan juga cukup mengejutkan. Katanya ada pelayan perempuan yang dipukuli, dan ada pelayan lelaki yang kakinya diinjak sampai kakinya terluka cukup parah. Bahkan ada pelayan perempuan yang dihukum untuk berdiri di luar hanya dengan pakaian dalam saja di musim dingin seperti ini.

"Kalau kalian tidak bisa mengendalikan emosi kalian, bagaimana kalian bisa membantu Arpad? Memalukan!"

Alexander menatap sekeliling, bertatapan dengan mereka semua satu per satu dan tersenyum dengan dingin. Keesokan harinya, ruang makan pun kosong. Tidak ada satu pun saudara Duke yang makan di sini.


***

Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.

Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!

Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!

***

Puas dengan hasil terjemahan kami?

Dukung SeiRei Translations dengan,


***


Previous | Table of Contents | Next


***


Apa pendapatmu tentang bab ini?