Chapter 4

Penerjemah : reireiss

Dukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.

Terima kasih~


***

TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!

HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.

JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.

JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!

***

"Aku pergi."

Aku mengambil tali kendali kuda dan menyapu salju yang berjatuhan di surai kuda. Aku berpikir, dari segala hal... Saat ini aku justru berhadapan dengan seseorang yang paling tak ingin kutemui.

"Apa yang kau maksud!? Terlebih kau mau pergi tanpa mengatakan apapun."

Alexander berjalan dengan terburu-buru seakan dia sedang marah. Dia mendekat ke arahku dan mengambil alih tali kendali kuda dariku. Aku tercengang dengan tindakannya itu. Lalu aku menyentuh punggung tangan Alexander yang terlihat pucat.

"Biarkan aku pergi."

Punggung tangannya dingin, sedingin es. Ini hanya dugaanku, tampaknya dia sudah berada di sini sejak berjam-jam yang lalu.  Kalau tidak, seharusnya aku masih bisa merasakan sedikit kehangatan dari tangannya.

"Tidak boleh."

Alexander mengatakan hal itu sambil melihat ke arah tanganku yang memegangi tangannya. Tak ada kesempatan bagiku untuk menang melawannya dengan kekuatan. Meski dia baru berumur 17 tahun dan tak bisa ditetapkan sebagai ksatria, tapi dia sudah mempelajari ilmu pedang sejak kecil.

"Biarkan aku pergi. Aku tak peduli dengan kekuasaan."

Aku menepis tangan Alexander. Seketika dia tidak bergerak, seakan membeku. Ini sudah sangat malam. Aku tak boleh terus membuang waktu di sini.

"Aku sudah bilang tidak."

"...Sebenarnya ada apa denganmu?"

Pada akhirnya, aku mengatakannya. Lagi pula dia ini tidak suka dengan keberadaanku di sini. Kenapa dia tidak membiarkan aku pergi? Aku menghentakkan kakiku dan menginjak kaki Alexander dengan keras.

Dia mengeluarkan erangan kesakitan yang amat kecil. Pasti itu sangat sakit, tapi dahinya bahkan tak berkerut dan juga tak ada respon lain darinya. Dia diam seperti batu, perlahan rasa kesalku mulai mereda. Aku menghela nafas dan bertanya,

"...Baiklah. Katakan padaku apa alasannya."

"Alasan?"

"Iya. Alasannya."

"Bagaimana aku bisa membiarkan kau pergi begitu saja di malam hari seperti ini. Itu berbahaya."

"Sekarang... Kamu memanggilku 'kau'?"

Tanyaku, sambil mengernyit. Selama ini kita tidaklah akur, tapi sekarang dia...?

"Ah... Maksudku, Kakak."

Alexander langsung memperbaiki caranya memanggilku.

"Itu alasannya? Karena aku terlihat rentan diserang oleh penjahat?"

"......"

"Maaf, tapi aku ini lebih kuat dari yang kamu lihat. Menghadapi satu atau dua penja-"

"Jangan katakan hal menyeramkan seperti itu. Tanpa dipikir pun hasilnya sudah jelas. Bukan itu saja satu-satunya alasan."

Mari kita lihat apa alasan lainnya. Aku menatap tangan Alexander yang saat ini memegang tanganku. Itu tidak mungil seperti tangan perempuan, melainkan imut seperti tangan anak kecil.

"Kalau Kakak pergi... Maka tak ada orang dewasa di Kediaman ini."

"Hah!?"

"Jadi aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Tentu saja alasan utamanya karena itu berbahaya."

"Aku sudah bilang, aku akan baik-baik saja. Dan kenapa aku menjadi orang dewasa di Kediaman ini. Seperti yang wanita itu bilang, namaku bahkan tidak terdaftar di Kartu Keluarga Arpad."

Dan aku sama sekali tidak menginginkan hal itu. Sudah berkali-kali aku menolak untuk mendaftarkan namaku di keluarga ini. Selama 20 tahun hidupku, sudah berapa kali aku mengubah nama margaku? Aku sudah mengubahnya 3 kali. Itu sudah lebih dari cukup.

"Itu bukanlah masalah. Saat di mana Kakak menginjakkan kaki di Kediaman ini. Kakak sudah menjadi bagian dari Keluarga Arpad."

"Secara hukum, tidak. Selain itu, darah yang mengalir di tubuhku ini bukanlah darah Arpad."

"Memangnya itu hal yang penting? Kalau Kakak mau, maka besok aku a-"

"Aku tidak menginginkannya. Ah... Bukankah kita sudah terlalu besar untuk bertindak seperti anak-anak?" Tubuhku menggigil kedinginan karena terus berbicara di sini tanpa bergerak. Sampai sekarang aku tetap tidak mengerti alasan kenapa Alexander terus memegang tanganku dengan erat.

"......"

Aku menatapnya dengan kesal. Sekali lagi aku menepis punggung tangan Alexander, tapi tak ada reaksi apapun darinya. Dia akan menjadi Duke selanjutnya, setelah itu aku berpikir kalau aku tidak akan bisa bertemu dengannya lagi. Tapi aku tak masalah dengan itu.

"...Tunggu."

"......"

"...Kamu menangis?"

Hal yang mengejutkan terjadi. Pada saat dia mendengar berita tentang kecelakaan itu hingga saat pemakaman, dia terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang, dia meneteskan air mata.

"Ah... Tidak. Maksudku..."

"Apa maksudmu 'tidak'?"

Air matanya terus berjatuhan. Tetesan air matanya jatuh dari pipinya dan mengenai punggung tanganku. Aku refleks untuk menyapukan tanganku ke matanya.

"Maaf, kurasa aku sudah terlalu berlebihan."

Aku merasa malu. Aku hanya mengetahui wajah Alexander yang tanpa ekspresi dan wajahnya yang tersenyum tipis (senyum formal). Aku tidak pernah melihatnya marah atau pun melihatnya tersenyum lebar. Di permukaan, dia terlihat dewasa, tapi pada dasarnya dia tetaplah seorang anak yang masih kecil. Untuk sesaat aku melupakan fakta itu.

"Tidak, Kak. Aku baik-baik saja."

Dia tidak terlihat baik-baik saja.

"Aku... Aku kesepian, Kak. Aku takut. Aku memang terkejut saat tahu kalau aku punya Ibu dan Kakak baru. Tapi aku bisa menerimanya dan merasa senang akan hal itu. Akhirnya aku memiliki keluarga yang lengkap. Tapi sebelum aku bisa terbiasa dengan itu, kenapa... Ayah dan Ibu mengalami hal seperti itu."

Alexander terus menangis sampai hidungnya memerah. Melihatnya yang seperti itu, aku segera melepas tali kendali kuda yang kugenggam. Aku juga melepaskan genggaman tangannya yang sejak tadi memegang tanganku. Matanya yang berwarna silver keabuan terlihat meredup saat aku melakukan hal itu.

"Aku tidak mau merasakan perasaan ditinggalkan. Sekarang aku tidak punya keluarga lagi di dunia ini, aku sendirian, aku tidak bisa ber-"

Aku teringat saat aku menangis sendirian di kamar. Alexander juga merasakan hal yang sama denganku. Seketika aku pun memeluknya dengan erat. Cukup sulit bagiku untuk melakukannya karena dia lebih tinggi dariku. Sebelum ini, aku tidak pernah merasa simpati pada siapa pun.

"Kakak."

Aku sadar kalau tindakanku ini terlalu impulsif. Jadi aku bisa mengerti kenapa Alexander memanggilku, dia pasti merasa malu karena tindakanku ini. Dia diam terpaku karena terkejut. Aku menurunkan tanganku yang melingkari lehernya, lalu aku menepuk-nepuk punggungnya.

"Kalau aku pergi dari sini, kupikir itu akan baik bagimu."

"...Bagaimana bisa Kakak berpikir seperti itu?"

Perlahan, Alexander merengkuh aku dengan satu tangan. Sedangkan tangannya yang satu lagi tetap memegang tanganku dengan erat. Aku tersenyum pasrah. Mungkinkah dia masih berpikir kalau aku akan tetap pergi?

"Karena aku merasa tidak diterima di sini. Olehmu dan oleh Tuan Duke."

"...Awalnya aku memang merasa tidak terima. Itu karena Ayah menyuruhku untuk memanggilmu Kakak karena kamu lebih tua dibanding aku."

Aku mengusap-usap rambut Alexander. Dia pasti merasa tak enak karena dia lebih tinggi dariku, tapi dia malah harus memanggilku kakak. Padahal waktu itu aku tidak begitu pendek. "Maafkan aku, Kak."

"Ayo masuk ke dalam. Di sini dingin."

Aku menggandeng tangan Alexander, lalu mengusap pipinya dan tersenyum. Kalau terus berada di sini, kita berdua bisa-bisa terkena radang dingin.

"...Kakak tidak akan diam-diam pergi dari sini tanpa mengatakan apapun lagi, kan? Berjanjilah padaku."

"Bagaimana kalau aku tidak bisa berjanji?"

Aku bertanya sambil memiringkan kepalaku. Alexander terbatuk-batuk.

"Tidak bisakah Kakak berjanji padaku?"

"Maaf tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak akan pergi hari ini karena kamu menahanku... Kalau aku tetap berada di sini, suatu hari nanti aku pasti akan dipaksa untuk pergi dari Arpad. Kita memang pernah menjadi saudara, tapi itu hanya sebulan. Aku tidak punya alasan apapun untuk terus berada di sini."

"Itu..."

Alexander tidak bisa mengatakan apapun. Aku mengambil pelana kuda lalu meninggalkannya. Sedangkan Alexander tetap berdiri di sana menungguku.

"Walau hanya sebulan, bukankah kita tetap saudara?"

Dia bertanya, sambil menggandeng tanganku. Tentu saja aku tidak menjawabnya. Kita berjalan ke Kediaman dalam diam. Tepat sebelum kita sampai di depan pintu, Alexander menghalangiku.

"Lalu, Kakak akan pergi lagi?"

Aku menatapnya. Lalu, aku melewatinya dan masuk ke dalam Kediaman terlebih dahulu. Lagi-lagi Alexander menghalangiku.

"Kakak."

"Aku tidak bisa terus berada di sini selamanya."

Aku mengatakannya sambil menghela nafas. Kurasa ini sudah cukup untuk membuatnya agar tidak menghalangiku lagi, bahkan jika dia menangis dan meronta-ronta. Oh, aku tidak bisa membayangkan Alexander melakukan hal itu. Dia bukan tipe orang yang akan bersikap seperti bayi. Aku sendiri terkejut melihatnya menangis hari ini.

"...Aku tahu. Kakak merasa tidak nyaman berada di sini."

"Syukurlah kalau kamu mengetahuinya."

"......"

Diam-diam, Alexander menatapku dengan kesal. Aku pura-pura tidak mengetahuinya dan bertanya,

"Apa kamu ingin mengatakan sesuatu?"

Aku harus mendongak untuk menatap Alexander yang lebih tinggi dariku. Dia terdiam untuk sesaat. Aku yang kedinginan dan merasa lelah pun memilih untuk segera berjalan pergi.

"Kalau kamu tidak ingin mengatakan apapun, aku akan kembali ke kamar."

"Tidak, tunggu dulu."

Dia merentangkan kedua tangannya agar aku tak bisa melangkah. Apa yang sebenarnya dia lakukan? Akhirnya Alexander membuka mulutnya, dia menatapku dengan kebingungan.

"Sampai aku menjadi dewasa. Kumohon tetaplah berada di sini. Itu tidaklah lama. Maksudku, hanya sampai saat itu saja."

Itu gila. Seketika aku menyentuh dahiku karena merasa pusing.

"...Maafkan aku, tapi masih 3 tahun lagi sampai kamu menjadi dewasa. Kamu ingin aku tinggal di sini sampai saat itu? Itu berlebihan."

"Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengganggumu lagi. Aku akan meyakinkan agar Kakak tidak akan merasakan ketidaknyamanan di sini. Jadi kumohon."

"Apa maksudmu 'kumohon'? Bukankah sebaiknya kamu tidak mengatakan hal seperti itu dengan mudah? Kamu adalah orang yang akan menjadi Duke?"

"Aku tidak pernah mengatakan hal seperti itu sebelumnya. Hanya itu saja yang kuminta..."

Dia memohon dengan mata yang tak bisa kutolak. Dia terlihat menyedihkan. Biar kukatakan, malam ini Alexander benar-benar tidak seperti dirinya yang biasanya. Bahkan aku sampai merasa kalau dia ini bersikap aneh. Apa sikapnya memang seperti ini? Setahuku, dia tidak pernah sekali pun bersikap seperti ini.

Tapi ini sudah sangat malam dan aku kedinginan, dan juga merasa lelah. Selain itu aku merasa sangat emosional karena berbagai hal yang terjadi. Karena itu, "Baiklah, aku berjanji. Hanya 3 tahun sampai kamu dewasa, setelah itu aku akan pergi. Sampai saat itu, aku tidak akan pergi."

"...Tidak akan?"

"Tidak akan."

Dahi Alexander sedikit berkerut seakan dia tidak menyukainya, tapi dia tidak punya pilihan lain selain mengangguk. Dia sampai berkata 'kumohon', kurasa tak buruk bagiku untuk menetap di sini untuk sementara waktu, terlebih lagi sejak tadi dia terus menahanku. Sejujurnya, aku juga tidak punya tempat untuk kutuju.

Dan akhirnya, dia menurunkan rentangan tangannya yang menghadangku. Aku pun segera kembali ke kamarku.

Aku berganti pakaian dan berbaring di ranjang. Menarik selimut hingga menutupi wajahku. Aku pun tertidur sambil memikirkan Alexander yang menangis sampai hidungnya memerah. Semua hal itu membuatku lelah.

Keesokan harinya aku melupakan sikap Alexander semalam yang berbeda dari biasanya. Seharusnya aku menyadari tujuannya yang sebenarnya dengan membuatku tetap berada di Kediaman ini.


***

Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.

Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!

Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!

***

Puas dengan hasil terjemahan kami?

Dukung SeiRei Translations dengan,


***


Previous | Table of Contents | Next


***


Apa pendapatmu tentang bab ini?