Chapter 3

Penerjemah : reireiss

Dukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.

Terima kasih~


***

TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!

HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.

JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.

JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!

***

Pemakaman berlangsung dengan khidmat. Sebagian besar pelayat adalah kerabat dan kenalan Duke Arpad. Aku berdiri di samping Alexander dengan kerudung hitam dan melihat para pelayat menaruh bunga di peti mati Duke.

T/N: Kerudung di sini maksudnya mirip kayak veil pengantin yang transparan itu, ya.

"Aku tidak percaya. Aku tidak percaya kamu akan berakhir seperti ini...."

Seorang wanita tua berkata dengan hidung merahnya yang tertutup rapat dengan saputangan. Alexander menundukkan kepalanya untuk menyambut wanita tua itu dan sedikit berbisik padaku untuk menjelaskan siapa wanita tua ini kepadaku.

"Nyonya Cassier adalah ibu baptis ibuku."

'Ibuku' yang Alexander maksud, itu berarti mantan Duchess yang melahirkannya. Aku berterima kasih padanya dengan mengedipkan mata, lalu mengulurkan tanganku ke wanita tua itu.

"Terima kasih sudah datang…."

"Beraninya kau!"

Ya ampun!

Seketika telapak tangan pahit jatuh di pipiku dan kerudung hitam yang kukenakan terbang. Bahkan rambutku yang tadi digulung pun jatuh. Aku memegang pipiku yang kesemutan. Seorang wanita berambut merah, yang diam-diam meneteskan air mata di sisi wanita tua itu, kini menatapku dengan galak.

"Oh, Catherine! Apa yang kamu lakukan?"

Wanita tua yang ketakutan itu buru-buru mendorong wanita yang menamparku menjauh dan mendekatiku. Dengan mata khawatir dari wanita tua itu, aku memaksakan sebuah senyuman untuk memberitahunya bahwa aku baik-baik saja. Tapi pipiku yang bengkak membuat wajahnya terlihat canggung.

"Kakak!"

Kupikir, aku akan terbang karena tamparan tadi, tapi kupikir agak aneh karena aku masih bisa berhenti. Ternyata Alexander sedang berdiri di belakangku dan mendukungku. Aku mendorongnya menjauh. Sangat tidak nyaman untuk berdekatan di situasi seperti ini.

"Sadar dirilah! Menurutmu di mana ini? Beraninya kau menunjukkan wajahmu. Jika bukan karena dia, Tristan pasti masih hidup dan sehat!"

Wanita berambut merah itu kembali mengangkat tangannya seolah-olah dia sedang membidik pipiku yang satunya lagi. Untungnya, kali ini Alexander bergerak dengan cepat. Dia meraih tangan wanita berambut merah itu dan menurunkannya sehingga pipiku bisa terhindar dari pembengkakan.

"Kenapa kamu menghalangiku? Alex, apa yang kamu pikirkan!? Kalau saja Tristan tidak membawanya sejak awal… Huhuhuu."

Setetes air mata jatuh dari mata wanita itu. Dia tampak menyedihkan, tapi aku bukan orang yang cukup baik hingga mau menyerahkan sapu tangan kepada seseorang yang barusan saja menamparku.

"Tidak ada orang yang harus disalahkan. Aku yakin kamu pasti kelelahan karena mengalami situasi yang berat seperti ini."

Alexander berada di antara aku dan wanita muda itu agar dia tidak bisa mendekatiku lagi. Seketika wanita muda itu ambruk dan mulai menangis terisak-isak. Wanita tua yang berada di dekatnya menatapku dan wanita muda itu secara bergantian, lalu dia membalikkan punggungnya untuk menenangkan wanita muda itu.

"Kakak? Kakak! Ha! Itu tidak masuk akal. Dia bahkan bukan anggota keluarga!"

Seketika mata para pelayat tertuju padaku. Aku tidak ingin berada di sini lagi. Pemakaman untuk Duke Arpad hanya untuk orang-orang terdekatnya saja. Kehadiranku dan ibuku di sini tidak dianggap.

Padahal aku akan segera pergi. Aku tersenyum, tak bisa melakukan apapun lagi. Beberapa pelayat melihat wajahku dengan wajah yang mengerutkan kening. Aku melepaskan tangan Alexander yang ada di bahuku. Aku mendengar dia memanggilku, tapi aku pergi begitu saja tanpa mengambil kerudungku yang jatuh tadi. Aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. Aku hanya ingin menyaksikannya pemakaman ibuku sampai akhir. Tidak peduli betapa tidak diterimanya kami di tempat ini, ibuku tetaplah ibuku. Bahkan jika dia adalah seseorang yang mengutamakan kebahagiaan hidup dibanding dengan keberadaanku, dia tetaplah ibuku.

Tapi pada akhirnya aku tidak bisa bersama ibuku. Ibuku sudah tiada di dunia ini. Ia tiada untuk selamanya. Kalau tahu dia akan pergi dengan cara seperti itu, aku ingin dia untuk menepuk kepalaku untuk yang terakhir kalinya. Aku ingin dia mengatakan 'Aku mencintaimu, Putriku'. Ibu... Aku ingin lebih dicintai lagi.

Sekarang aku menangis. Kuteringat dengan wajah Alexander, aku bertanya-tanya bagaimana bisa terlihat begitu normal. Ketika seorang wanita bernama Catherine menampar pipiku, aku teringat wajah seorang wanita tua yang tersenyum di balik sapu tangan yang menutupi mulutnya. Aku ingat wajah Catherine yang menatapku saat aku keluar dari ruangan itu.

"...Ugh!"

Aku terkesiap, lalu memegang pipiku yang terasa sangat perih. Aku belum pernah dipukul sampai seperti ini sebelumnya. Kenapa aku mengalami hal ini? Apa kesalahan yang kulakukan? Ini sungguh menyedihkan.

Aku merindukan ibuku. Aku merindukan ibuku yang tak pernah lupa untuk menyisiri rambutku dan merawatku saat demam. Aku merindukan ibuku yang meneriaki aku saat aku jatuh akibat berlarian ke sana ke mari di waktu kecil. Dia mengoleskan obat di lututku dan berkata "Sudah kubilang untuk tetap diam!"

Kini aku berumur 20 tahun. Aku sudah menjadi dewasa sejak lama, tapi aku masih bersikap kanak-kanak. Kalau saja aku tahu hal seperti ini akan terjadi, aku akan mengikuti ibuku. Saat dia bertanya apa ada hadiah yang kuinginkan, seharusnya aku memintanya agar aku ikut dengannya. Aku tidak akan mengganggu bulan madunya dengan Duke, asalkan aku ada di dekatnya.

Aku menarik lengan bajuku dan menghapus air mataku. Bahkan jika aku menangis seperti ini, di dunia ini sudah tidak ada ibu yang bisa memelukku lagi. Itu adalah fakta yang menyayat hati. Aku benar-benar tak memiliki siapa pun sekarang. Kenyataan yang menghampiriku itu seketika membuatku tercekik.

Aku menangis dalam waktu yang lama. Aku tidak bisa terus menangis seperti ini karena nanti akan sulit bagiku untuk pergi dengan mata yang terlalu bengkak. Itu akan menjadi masalah kalau aku tersandung saat berjalan karena tak bisa melihat dengan baik.

Jadi, aku menyentuh pipiku yang lembab, berusaha untuk bangkit. Berkat tamparan yang kudapatkan, akhirnya aku tersadar. Aku pun mulai memasukkan barang-barangku ke koper yang sudah kusiapkan semalam.

Kegelapan mengintip dari tirai yang setengah terbuka. Ini sudah malam. Matahari sudah terbenam dengan cepat saat musim dingin. Bahkan di bagian utara negara ini, Arpad adalah tempat yang sangat redup di malam hari.

Mungkin para pelayat sudah meninggalkan kediaman. Seharusnya ini sudah waktunya bagi para kerabat untuk masuk ke ruangan mereka dan beristirahat. Aku sudah menahan lapar seharian, perutku keroncongan. Meski begitu, aku hanya menertawakan diriku yang kelapan di saat-saat ini.

Diam-diam aku keluar, menyusuri koridor dengan membawa koperku. Jelas tidak ada siapa pun, tapi suasana ini sungguh mencekam seolah-olah ada seseorang yang tiba-tiba saja akan muncul. Aku beruntung karena aku memiliki cukup banyak lapisan pakaian. Aku berhenti di tengah-tengah koridor dan membuka mantelku.

Aku tidak peduli dengan orang lain, tapi aku tidak ingin bertemu dengan Catherine atau pun wanita tua itu. Untungnya hingga aku sampai di kandang kuda, aku tidak bertemu dengan siapa pun. Itu cukup mengherankan karena tidak ada pelayan yang berkeliling di setiap koridor untuk menyalakan lilin di malam hari. "Ssttt, anak baik."

Ketika pintu kandang kuda terbuka, satu per satu kuda-kuda itu berkedip. Di antara mereka ada seekor kuda cokelat dengan berlian di dahinya bergerak-gerak, seolah mengenaliku.

"Iya. Ini aku, Ophelia."

Aku membelai surai kuda itu dan tertawa. Kuda ini adalah hadiah dari Duke Arpad yang mengetahui kalau hobiku saat masih berada di Kediaman Baron adalah menunggang kuda.

"Ikutlah denganku. Kau adalah satu-satunya yang aku miliki di kediaman ini."

Kuda itu mengikutiku tanpa mengerti apa yang kukatakan. Meninggalkan kandang kuda, aku meletakkan pelana di atas kuda dan mencoba untuk mengikat talinya. Saat aku sedang mengikat tali, tiba-tiba,

"Kamu mau ke mana, Kak?"

Suara itu menembus kegelapan yang sunyi. Aku menoleh ke arah suara itu, di sana ada Alexander yang berdiri di samping pohon sedang menatapku.

Sudah berapa lama dia ada di sini? Kepingan salju putih menumpuk di bahunya, dia masih memakai jas hitam seperti saat pemakaman di siang hari.


***

Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.

Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!

Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!

***

Puas dengan hasil terjemahan kami?

Dukung SeiRei Translations dengan,


***


Previous | Table of Contents | Next


***


Apa pendapatmu tentang bab ini?