Chapter 2
Dukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.
Terima kasih~
***
TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!
HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.
JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.
JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!
***
Tok, tok, tok.
Aku mendengar ketukan dan aku segera berhenti untuk
memikirkan kejadian di masa lalu. Sudah menjadi kebiasaan Alexander untuk tidak
berhenti mengetuk setelah mengetuk pintu sebanyak dua kali, dia pasti akan
mengetuk pintu sekali lagi.
"Bolehkah aku masuk?"
"Tentu saja."
Begitu aku menjawab, pintu segera terbuka. Memakai
pakaian berwarna gelap, hari ini dia kembali memakai kemeja berwarna biru tua.
Wajah putih Alexander terlihat jelas di ruangan gelap –di mana tak ada satu pun
lilin yang menyala di ruangan ini.
"Kamu tidak menyalakan lilin?"
Dia bertanya. Aku pun segera membuka gorden tanpa berkata
apa-apa. Cahaya bulan yang redup masuk dan hal-hal yang nyaris tidak terlihat
kini menjadi bisa terlihat.
"Aku masih tidak percaya. Rasanya baru kemarin aku
melihat Ibu dan Ayahku pergi dengan senyuman."
Garis-garis tubuh Alexander yang menempel di bajunya
terlihat. Itu adalah kemeja yang dikancing rapi sampai ke leher, tapi entah
kenapa bagian lehernya terlihat sedikit longgar, dan bahunya sedikit kaku
seolah-olah dia tegang.
"Kamu minum?"
"Tidak bisakah aku melakukannya?"
"Sejauh yang aku tahu, kamu masih di bawah
umur."
"Jangan salah mengira. Lihatlah aku baik-baik."
Bukannya aku tidak mengerti. Terkadang aku juga akan meminum
alk*hol sebelum tidur. Aku juga masih tidak bisa mempercayai kenyataan yang mengejutkan
seperti itu, jadi kurasa aku baru bisa tidur kalau aku mab*k.
"Aku bahkan tidak bisa menangis. Aku ingin menangis,
tapi aku tidak tahu apa aku benar-benar ingin menangis atau tidak."
Aku melihat ke luar jendela dengan tanganku yang meremas
gorden dengan erat. Kepingan salju berjatuhan seolah-olah mereka telah membelah
awan di tengah musim dingin.
"Itu adalah area yang sering terjadi kecelakaan
kereta kuda. Aku sudah mengatakan kepada mereka untuk pergi pada musim semi
saat salju sudah mencair saja."
"... Maafkan aku."
"Kenapa kakak minta maaf?"
Bagaimana bisa dengan mudahnya dia bertanya seperti itu
dengan suara seperti itu? Saat aku berbalik ingin menoleh ke arahnya, aku
tersentak karena Alexander tepat berdiri di belakangku. Jarak antara dia dan
aku sangatlah dekat.
"Ibuku yang memaksa untuk segera pergi."
Aku menjawab dengan tenang, menghapus keterkejutanku.
"Dia juga 'Ibuku.' Jadi, kamu tidak perlu meminta
maaf."
Ketika kami pertama kali bertemu, Alexander itu orang
yang dingin dan tumpul seperti es. Jadi aku menduga bahwa dia dan aku tidak
akan pernah bisa menjadi saudara selamanya. Meski begitu, pernah sekali dugaan
itu terpatahkan, tepatnya saat Alexander menyambut Ibu dan aku dengan cukup
baik.
Ketika kami berkumpul selayaknya keluarga, dia selalu
tersenyum dan membuka percakapan terlebih dahulu. Meski begitu, dia tidak
pernah sekali pun berbicara kepadaku, setiap kali hanya kami berdua yang tersisa
di suatu ruangan, pasti kami mencoba saling menghindar satu sama lain.
"Aku hanya datang untuk melihat apakah kamu
menangis. Kamu terlihat lebih baik dari yang kukira. Syukurlah. Tidak, aku
bersyukur."
Alexander menyapukan tangannya ke dagunya dan menatapku
dengan heran. Mata abu-abu keperakan yang tajam itu menyipit seolah berusaha
melihat ke dalam diriku.
"Aku tidak baik-baik saja."
"Apa?"
Saat aku berbisik pelan, dia memiringkan kepalanya seolah
dia tidak mengerti. Dia berdiri sangat dekat denganku, rasanya aku bisa mencium
aroma tubuhnya yang bercampur dengan bau alk*hol dan sabun. Aku melepaskan
gorden yang aku pegang.
"...Tidak baik-baik saja. Mungkin di luar aku memang
terlihat baik-baik saja."
Aku masih bisa merasakan tatapannya. Dengan tidak
sengaja, mata kami pun bertemu, segera kami pun langsung memalingkan muka. Lalu
pada saat yang bersamaan, kami kembali bertatapan. "Ini sedikit, aku ingin
sendiri. …Ini sudah larut malam."
Aku mengetuk jendela dengan ujung jariku. Alexander pun mengangguk
dan dia melihat ke arah bulan purnama dan bintang yang tak terhitung jumlahnya,
yang memenuhi langit malam.
"…Oh, ya. Maaf."
Akhirnya, dia mundur selangkah. Dia sedikit sempoyongan,
sepertinya dia mulai merasa mab*k. Aku segera membenamkan wajahku di tempat tidur begitu
Alexander pergi tanpa mengucapkan selamat malam. Aku begitu linglung hingga aku
bahkan tidak bisa merasakan kelembutan selimut.
***
Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!
Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!
***
Puas dengan hasil terjemahan kami?
Dukung SeiRei Translations dengan,
***
Previous | Table of Contents | Next
***
Apa pendapatmu tentang bab ini?
0 Comments
Post a Comment