Chapter 1
Dukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.
Terima kasih~
***
TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!
HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.
JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.
JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!
***
Terlahir sebagai putri dari seorang petani di pedesaan, Ibuku adalah orang yang sangat cantik sehingga dia terlihat tak cocok dengan
lingkungan yang sederhana. Banyak tuan tanah yang memperhatikan Ibuku yang
berusia 30 tahun lebih muda dari mereka.
Kakekku pun menjual Ibuku kepada seorang tuan tanah
sambil berkata "Uang adalah yang terbaik."
Saat aku menyisir rambut pirang panjang Ibuku di depan
meja rias, Ibuku sering mengenang masa lalunya. Mata berwarna biru yang
terlihat seperti warna lautan yang bersinar. Aku sering menatap pantulan Ibuku
yang ada di cermin. Lalu bibir merah Ibuku tersenyum dan ia tertawa.
Ibu tidak ingin menghabiskan hidupnya di tempat yang
begitu sederhana.
Jadi Ibuku melarikan diri dari rumah di tengah malam.
Memegang tangan seorang tentara bayaran yang melewati desa pada waktu itu.
Di bawah sinar rembulan. Dahi putih yang dipenuhi
keringat. Senyuman yang cerah dan pipi yang merah merona. Aku bisa tahu tanpa
melihatnya sendiri. Betapa cantiknya Ibuku. Aku bertanya-tanya seberapa besar Ayahku menyukai Ibuku pada saat itu.
Setelah meninggalkan desa dengan cara itu, Ibuku menetap
di Kota Pelabuhan di Selatan. Lalu aku pun lahir. Akan lebih baik jika itu adalah
akhir yang bahagia, tapi pernikahan adalah kenyataan. Ibu tidak puas dengan
kehidupan sehari-harinya.
Dalam ingatanku, Ibu dan Ayah selalu berdebat. Ibu
mengagumi lingkungan tempat tinggal orang kaya yang berada di atas bukit. Ayah
adalah tentara bayaran yang cukup baik, yang bisa melakukan sihir meskipun dia
tidak berstandar tinggi. Meski begitu, dia tidak mampu membelikan rumah impian Ibu yang dibangun dengan batu bata putih dan atap biru.
Ibu pun muak pada Ayah. Kemudian pada suatu hari. Saat Ayah pergi bekerja di kota sebelah selama berminggu-minggu, Ibu membawaku dan
kabur.
"Tapi aku tidak meninggalkanmu. Berkatku, kamu bisa
memakai pakaian cantik dan mahal seperti itu."
"Ya, aku tahu. Terima kasih, Bu."
Ibuku selalu tersenyum puas saat mendengar jawabanku. Aku
bersungguh-sungguh. Ibuku adalah orang yang seperti kupu-kupu, dia akan semakin
menjauh saat berusaha untuk digapai, jadi aku selalu khawatir kalau suatu hari
nanti aku akan kehilangannya.
Kami adalah Ibu dan anak, tapi itu tak cukup untuk
memadamkan kecemasanku. Aku tidak ingin ditinggalkan oleh Ibuku, jadi aku
selalu memperhatikannya.
Ibu meninggalkan Kota Pelabuhan dengan semua harta
miliknya. Kami pergi ke Utara. Selama di perjalanan, semakin dekat menuju ke
Utara harga semakin naik dan perlahan uang kami pun habis. Ketika tidak ada
lagi uang yang tersisa, Ibu menjual cincin ruby yang Ayah berikan padaku.
Di kota tempat Ibu menjual cincin ruby, aku mendengar
kabar tentang Ayahku. Katanya ada kerusuhan di kota tempat Ayah bekerja. Ayah
adalah salah satu tentara bayaran yang dikerahkan untuk memadamkan kerusuhan
itu, dan dia terbunuh di tengah-tengah kerusuhan yang lebih kejam dari yang
diperkirakan.
Jadi, kini Ibuku menjadi seorang janda. Saat kami tak
memiliki uang dan tak bisa menjual cincin lagi, Ibu bertemu dengan seorang
ksatria berbatu bata putih (T/N: punya
rumah bagus). Dalam sekejap mereka saling jatuh cinta, seolah-olah mereka
telah berjanji.
Seorang ksatria yang memiliki rumah dengan bata putih dan
atap biru yang diinginkan Ibuku, kini menjadi Ayah Tiriku. Tapi beberapa tahun
kemudian, Ayah Tiriku meninggal. Katanya itu disebabkan oleh sepsis.
T/N:
Sepsis adalah respon mematikan dari
sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi atau cedera.
Ibu bersedih, tapi dia bisa segera bergembira. Itu karena
rumah dan harta yang ditinggalkan atas nama Ayah Tiriku menjadi milik Ibuku.
Bukan hanya itu. Saat menikah dengan Ayah Tiri, Ibu jadi berteman dekat dengan
Baroness yang Ayah Tiri layani. Baroness Blancier. Dia adalah orang yang sangat
baik. Baroness bersimpati pada Ibu yang sudah dua kali kehilangan suaminya di
usia pertengahan 20-an. Dan dia rela membiarkan Ibu masuk ke Kediamannya,
sehingga kami tidak akan kelaparan dan memiliki sedikit kemewahan.
Baroness terlahir dengan tubuh yang lemah. Ia mengatakan
bahwa melahirkan seorang anak bisa membahayakan nyawanya. Baroness menyukaiku,
dia berkata kalau aku sangat mirip dengan Ibuku. Aku tidak secantik Ibu, tapi
aku cukup mirip dengannya.
Aku masih tidak bisa melupakan betapa manisnya permen
giok merah yang terkadang dia berikan padaku. Sejak aku bertemu dengan Baroness,
aku bisa berteriak "Permen!" tanpa ragu jika aku ditanya apa makanan
favoritku.
Ibu menjadi pendamping Baroness yang bertubuh lemah dan
secara alami Ibu mengikuti pertemuan para bangsawan yang dihadiri oleh Baroness.
Ada banyak pria bangsawan yang memandang Ibuku, seorang janda muda yang cantik.
Baroness pun mengatakan kepada Ibu bahwa jika Ibuku menyukai seseorang, dia
akan membantunya (untuk melamar).
Sayangnya, seseorang yang menarik perhatian Ibuku,
bukanlah siapa pun, melainkan Baron Blancier itu sendiri. Baron dan istrinya
yang menikah karena pernikahan politik tidak memiliki perasaan suka satu sama
lain. Selain itu, Baroness pun jatuh sakit parah saat menginap di sebuah resor
padahal kunjungan ke resor itu bertujuan untuk memulihkan kesehatannya. Seiring
berjalannya waktu, Baroness menjadi sangat lemah sehingga dia bahkan tidak bisa
mengangkat sendok.
Dalam wasiat terakhirnya, Baroness meninggalkan pesan
yang mengatakan pada Ibu untuk menjaga suaminya. Aku masih tidak tahu apakah
itu berarti Baroness ingin Ibuku untuk menikah dengan Baron. Tapi, apa pun yang
dimaksud oleh Baroness, Ibuku menikah dengan Baron Blancier setelah pemakamannya.
Kehidupan kami pun menjadi mulus. Meskipun ada
desas-desus bahwa Ibuku sudah mengincar hal ini sejak awal.
Kemudian Baron Blancier pun itu tiada. Itu terjadi saat
aku berusia 19 tahun. Tidak seperti mantan istrinya, Baron adalah pria yang
sehat dan kuat, tapi suatu hari dia mulai sakit-sakitan. Saat musim berburu,
Baron pergi ke hutan bersama dengan para bangsawan lainnya. Lalu dia pun tewas,
dia mengalami patah leher karena terjatuh dari kuda.
Ibu menangis, air matanya menetes seperti manik-manik
kaca. "Ophelia, apa salahku sehingga semua suamiku terus menerus tiada?"
Ibu memegang pundakku seolah dia benar-benar penasaran dan bertanya-tanya.
Tapi itu bukanlah pertanyaan yang dia lontarkan untuk
mendapatkan jawaban. Aku memeluk pinggang ramping Ibuku tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Itu sudah cukup.
Saat kami perlahan mencoba untuk melepaskan kesedihan dan
beristirahat. Kupikir semua pelayat telah pergi, tapi tiba-tiba ada seseorang
di dekatku yang berbicara pada Ibu.
"Sungguh disayangkan, Nyonya."
Itu adalah suara yang begitu indah. Dia adalah Duke
Arpad, seorang kenalan Baron Blancier. Setelah pemakaman, dia tetap tinggal di
Kediaman Baron untuk sementara waktu, dia berkata bahwa dia akan membantu jika
kami memerlukan bantuan.
Terkadang saat aku pergi ke taman untuk membaca buku di
bawah sinar matahari, aku melihat Ibuku dan Duke Arpad berjalan-jalan. Aku pun
mencoba menghindari mereka dengan cara mengubah tempat dudukku. Aku tidak tahu
percakapan apa yang terjadi di antara mereka. Tapi pada saat Duke akan pergi, Ibu
menjadi cukup dekat dengannya, mereka pun berpegangan tangan dan bahwa
berpelukan.
"Bu, apakah Ibu akan-"
‘Lagi!?’ Aku menelan kata-kataku dan memainkan ujung gaun
putihku dengan tangan. Ketika kereta kuda yang mewah itu pergi, Ibuku menoleh
ke belakang, menatapku dengan mata yang penuh dengan kepuasan, seolah dia telah
berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan. Lalu dia pun tertawa.
Seketika aku bisa tahu. Sebentar lagi Ibu akan menjadi
Duchess Arpad. Entah bagaimana, dadaku terasa sesak. Rasanya seperti tercekik.
Ibu mudah puas, tapi kepuasan itu tidak berlangsung lama. Dari putri seorang
petani menjadi istri seorang tentara bayaran, istri seorang ksatria, istri
seorang Baron, dan selanjutnya adalah istri seorang Duke. Lalu selanjutnya apa?
Jangan bilang Kaisar!
Aku merindukan hari-hariku di Kota Pelabuhan di mana
keadaan (ekonomi) kami tidak begitu baik tapi damai. Ayah dan Ibu sering
bertengkar, tapi tak lama kemudian mereka akan berbaikan dan saling mencium
pipi. Aku paling bahagia saat itu. Setidaknya aku pernah (bahagia). Itulah yang
terjadi.
Dia bukan seorang ibu. Sungguh menyedihkan. Pada saat
tahun berganti dan skandal tentang Ibu yang kehilangan suaminya beberapa kali
mereda, kami pun pergi menuju Duchy Arpad. Aku tidak mengatakan sepatah kata
pun di sepanjang perjalanan. Dan Ibu sepertinya tidak terlalu peduli.
Duchess Arpad meninggal tak lama setelah melahirkan
pewaris. Ibu membisikkan hal itu ke telingaku, lalu dia melipat dan membuka
lipatan kipasnya.
"Ibu akan menjadi Seorang Duchess. Tidakkah kamu
senang, Ophelia?"
Aku tersenyum dan berpura-pura bahagia ketika Ibuku
menanyakan itu. Peranku adalah untuk tersenyum dan berkata, "Jika Ibu
bahagia, aku pun juga ikut bahagia."
Kereta kuda itu terus melaju siang dan malam selama
sebulan dan akhirnya kami sampai di Duchy Arpad. Aku sudah menduganya, tak ada
yang menyambut Ibuku –orang yang sudah kehilangan suaminya sebanyak tiga kali
dengan baik. Aku hanya berdiri diam di samping Ibu seperti boneka dan berkedip
seperti boneka. Tak ada yang menyambut kami dengan senang, kecuali Duke Arpad.
"Aku merindukanmu, Isolde. Dan Ophelia juga,
kemarilah."
Duke mencium punggung tangan Ibu begitu ia turun dari
kereta kuda. Aku membiarkan Ibuku untuk masuk ke Kediaman Duke terlebih dahulu.
Aku sudah terbiasa dengan pandangan tidak mengenakkan
dari orang-orang, jadi aku keluar dari kereta kuda sendirian. Aku merapikan
rokku yang kusut dan mengangkat kepalaku, seketika bayangan besar terasa
seperti menghalangi jalanku.
"Senang bertemu denganmu."
Itu adalah suara yang agak berat –mungkin suaranya masih
bisa berubah karena pubertas. Nadanya elegan, tapi anehnya terdengar menusuk,
mungkin karena suaranya.
"Ophelia."
"......"
"Perkenalkan, Kak."
Dia memanggil namaku seolah itu wajar. Tapi saat itu aku
tidak bisa membuka mulutku dengan mudah, aku tak bisa mengatakan sepatah kata
pun karena malu. Baru kemudian, saat aku mengangkat kepalaku. Salju yang dingin
menerpaku bersamaan dengan cahaya bulan yang menyingsing.
"Aku Alexander."
Tangannya besar dan putih, seputih salju. Dia menarik
sudut mulutnya secara perlahan saat tangan kami bersalaman. Senyum lembut
menggantung di mulutnya, tapi matanya tidak tersenyum sama sekali. Dia adalah
sebuah patung es. Tidak, dia adalah seorang manusia.
"Senang bertemu dengan Anda juga. Maksud saya…
Alexander?"
"Bicaralah dengan nyaman."
Seketika keringat dingin mengalir di tubuhku, telapak
tanganku pun berkeringat. Aku tidak pernah memiliki saudara laki-laki
sebelumnya. Meskipun dia terlihat lebih muda dariku, aku harus bertekad dan
mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengannya, dia yang satu rentang lebih
tinggi dariku dan bahkan dia adalah seorang pewaris Keluarga Duke.
"Kalau begitu aku akan melakukannya."
"……"
"Yo."
Ucapku dengan nafas yang dalam. Tapi, dia terlihat terkejut
dengan matanya yang terbuka lebar. Aku pun tidak bisa memaksa diriku untuk
melakukan kontak mata dengannya lagi.
Dia memiliki tatapan mengerikan, yang bisa membunuh jika
dia benar-benar ingin melakukannya.
***
Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!
Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!
***
Puas dengan hasil terjemahan kami?
Dukung SeiRei Translations dengan,
***
Previous | Table of Contents | Next
***
Apa pendapatmu tentang bab ini?
0 Comments
Post a Comment