Chapter 25 Part 1

Penerjemah : reireiss

Dukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.

Terima kasih~


***

TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!

HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.

JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.

JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!

***

Ada satu ingatan yang terkait dengan buah plum. Itu adalah ingatan tentang Alexander, saat dia bersikap cukup baik dan memberiku buah plum.

Saat itu, Catherine dan wanita tua itu mengganggu dan aku tidak melawan kata-kata mereka. Ingatan samar-samar yang baru kuingat itu mereda. Sekarang, melihat Claude yang terjatuh, aku mengingat suatu hal dengan jelas.

Itu terjadi saat aku masih remaja awal. Pada waktu itu, Ibuku menjadi istri dari Ksatria Cameron.

Ayah Tiriku itu adalah anggota dari Ksatria Templar dan sering meninggalkan rumah.

Biasanya Ibu menunggang kuda untuk berkeliling wilayah, menggantikan posisi Ayah Tiri yang sibuk. Itu adalah salah satu rutinitas favorit Ibuku, jadi Ibu tidak pernah ingin diganggu oleh siapa pun.

Karena itu, setiap kali Ibu pergi, aku akan pergi ke taman dan menunggu dengan sabar sampai dia kembali. Aku benar-benar tidak ingin ditinggalkan. Aku selalu takut Ibu akan meninggalkan aku.

Begitu langit berubah warna menjadi jingga, biasanya aku duduk di ayunan yang ada di sudut taman dan gemetar ketakutan. Dan meski sangat jarang, terkadang ada seorang anak lelaki cantik berambut pirang yang tinggal di dekat sana, datang berkunjung.

"Kenapa kamu menangis?"

Begitu anak itu bertanya, aku menyeka pipiku yang kering dan menjawab,

"Aku tidak menangis."

"Tapi matamu merah. Apa kamu tidak bahagia?"

Seolah-olah dia kembali bertanya kenapa aku membuat wajah seakan aku tidak bahagia. Tiba-tiba aku menganggukkan kepalaku.

"Bahagia."

"Ya? Ini."

Anak lelaki itu menyeka buah plum yang dibawanya ke ujung pakaian kotornya dan melemparkannya padaku. Aku pun mengerutkan kening karena aku pikir buah itu tidak terlalu higienis, anak lelaki itu pun mengancam akan mengambilnya kembali kalau aku tidak menginginkannya.

Cih, bagaimana bisa kamu memberi lalu mengambilnya lagi? Karena kesal aku pun menggigit buah plum yang asam itu dan memakannya. Kewaspadaanku terhadap anak lelaki yang tidak kukenal itu dengan mudah dihancurkan.

Selayaknya anak-anak, kami menjadi teman dengan cepat. Salah satu permainan favoritku adalah petak umpet.

Anak lelaki itu selalu bersembunyi di tempat yang tidak terduga, jadi aku menjelajahi rumah, kelelahan, dan akhirnya mengaku kalah. Anak itu sangat pandai bersembunyi tanpa meninggalkan jejak.

Dari waktu ke waktu, anak lelaki itu biasa datang menemuiku, tapi aku tetap tidak mengetahui namanya. Kemudian suatu hari. Hari di mana aku ingin menanyakan nama anak lelaki yang memberiku buah plum yang lembut itu.

Ibu, yang pulang lebih awal dari biasanya, menemukan anak itu.

"Ophelia, siapa anak ini?"

Ibu tidak berusaha menyembunyikan ketidaksenangannya. Anak lelaki itu selalu muncul dengan pakaian yang sama dan berbau asam. Padahal anak itu sama seperti Ibu, memiliki rambut pirang. Dengan cepat, kewaspadaanku pun kembali.

Jadi, anak lelaki ini bukanlah tipe anak yang Ibu sukai.

Ibu selalu tersenyum, tapi sekarang Ibu menatap anak lelaki itu dengan wajah tanpa ekspresi. Anak lelaki itu tidak bisa menyembunyikan rasa malunya dan berkata, "Oh. Halo, Nyonya." Dia tergagap.

Anak lelaki itu melangkah mundur dan terjatuh. Aku tidak bisa mengulurkan tanganku ke anak lelaki yang terburu-buru bangun itu. Lalu, anak lelaki itu segera pergi.

Setelah itu, aku tidak pernah melihat anak lelaki itu lagi.

Tapi aku tidak peduli. Hampir tidak ada pikiran tentang anak lelaki itu lagi. Ingatan tentang anak itu sudah memudar. Bahkan pada saat itu, dia bukanlah anak lelaki yang penting bagiku.

Ibuku berpikir kalau dia adalah seorang pengemis yang muncul entah dari mana dan menempel pada putrinya.

"Ophelia, bagaimana keadaanmu?"

Ibu bertanya dengan wajah khawatir, lalu Ibu memelukku.

"Maafkan aku karena akhir-akhir ini tidak memperhatikanmu." Bisiknya sambil tersenyum.

Aku tidak bisa mengatakan apapun karena Ibu berkata seperti itu.

'Bu, dia bukan pengemis. Dia tetangga.'

Aku suka berada di pelukan Ibuku yang hangat. Jadi, aku menekan apa yang ingin kukatakan.

Aku baru menyadarinya setelah beberapa saat. Rumah Ayah Tiri dibangun di atas bukit, jadi tidak ada yang namanya tetangga.

"......Kamu mendatangiku."

Aku mengambil kalung anti sihir yang ada di leher Claude. Aku mengalami banyak masalah karena hal ini, padahal seharusnya aku bisa menyelesaikannya dengan mudah.

Claude tersenyum dan menatapku. Dia mengangkat matanya yang kabur dan tidak fokus. Dia membuka mulutnya, tapi yang keluar hanyalah erangan kesakitan.

"Arghh!! Urgh......"

"Kau ingin aku mengenalimu, kan? Karena itu kau sengaja bersembunyi."

Kau ingin aku menemukanmu. Maaf aku terlambat mengetahuinya. Anak lelaki itu terlupakan dalam ingatan yang memudar. Aku harus minta maaf.

"Tapi, memangnya kenapa kalau aku meminta maaf? Aku tidak tahu siapa kau, sampai kau mengungkapkan identitasmu sendiri."

Aku merasa tenggorokanku tercekik, jadi aku terbatuk-batuk saat mengatakan itu. Claude mengerjap pelan. Sepertinya dia ingin berbicara, tapi aku mendahuluinya dengan berkata,

"Tetap saja, aku merasakan deja vu. Gundukan tempat Henrietta tewas lebih tinggi dari gundukan lainnya. 'Oh, mungkinkah?' Itulah yang kupikirkan."

"......Haahh, haahhh."

Claude menghembuskan nafas putih, dingin. Aku meletakkan tanganku di pipinya.

Jiiigeu! Kekuatan sihir mulai mengalir dari ujung jariku. "Kakak." Aku mendengar Alexander mendekat seolah mencoba menghentikan aku.

"Sepertinya ini adalah pertama dan terakhir kalinya aku bisa menemukanmu."

"Haha. Haahhh, haahhh, hahaahh......"

Claude tertawa, dia tampak bahagia. Sepertinya dia bertanya apakah aku mengenalinya sekarang. Aku pun mengangguk.

"Ya, tapi...... Waktu itu aku tidak menyadarinya, tidak mungkin aku bisa menyadari kalau kau adalah putra Ayah Tiri. Sekarang setelah kulihat-lihat, kalian terlihat sangat mirip."

Bukan hanya senyumnya. Wajah tanpa darah sebelum dia meninggal karena penyakit dengan Claude saat ini sangatlah mirip. Bayangkan, dia terus berbaring di tempat tidur, bahkan tidak bisa mengangkat tangan dan terus mengutuk Ibuku dan aku.

"Bahkan waktu itu, tujuanmu bukan aku, kan? Kau hanya berkeliling, bertanya-tanya apa mungkin kau bisa bertemu dengan Ayahmu."

Karena itu, kau berlarian di sekitar rumah seolah mencarinya. Dengan harapan bisa melihat Ayah Tiriku tanpa disengaja.

Tapi pada masa itu, Ayah Tiri selalu kembali saat larut malam. Sejak awal, tidak ada kesempatan bagi anak lelaki itu untuk bertemu dengan ayah kandungnya.

"Uhuuuhuuuuhuuu......"

Claude menangis seperti anak kecil. Seorang anak yang masih terjebak di hari-hari saat kami bermain petak umpet. Sedangkan aku baru saja tumbuh dan menjadi dewasa.

Anak-anak tidak memahami nilai kehidupan sepenuhnya. Mengajari adalah tanggung jawab orang dewasa. Aku tidak mempelajarinya, jadi apa aku punya petunjuk? Mungkin itu karena kematian Henrietta.

"Haahh, haahhh, Haahh, dingin! Dingin!"

Claude muntah darah. Muncul gumpalan lengket berwarna merah gelap. Aku mundur selangkah, dan Alexander yang ada di belakangku dengan cepat menarikku ke pelukannya. Aku menundukkan kepalaku dan berkata,

"Terima kasih."

"Tidak masalah."

Alexander jadi berlumuran darah karena aku. Dia mengerutkan keningnya, menyeka darah yang ada di pahaku. Aku membuka mulut, menatap lekat-lekat lengannya.

"Bisakah kamu membiarkannya sebentar? Biarkan kami berdua berada di sini lebih lama lagi. Ada yang ingin aku bicarakan dengannya."

Ini adalah reuni setelah sekian lama, tapi bukankah sayang kalau berakhir seperti ini? Setidaknya kupikir ini adalah tanggung jawabku untuk mengambil hidupnya. Claude juga mengharapkan hal itu. Aku sangat yakin.

Oh, aku tidak pernah membunuh siapa pun dengan tanganku sendiri.

Menakutkan, menakutkan untuk dicoba. Untuk apa Ibu bersenang-senang membunuh para ayah tiri?

Aku memutar punggungku untuk melepaskan diri dari pelukan Alexander. Tapi semakin aku bergerak, pelukannya malah menjadi semakin kuat.

"Itu tidak mungkin. Waktu hampir habis."

Dengan tegas Alexander menolak. Dia meraih tanganku yang terselimuti dengan kekuatan magis, dan menariknya ke bawah.

"Kamu melakukan hal yang berbahaya!"

Aku terkejut dan menampar dada Alexander. Dia hampir saja terluka.

Ini adalah sihir yang sudah aku kumpulkan sejak aku berbicara dengan Kepala Pelayan. Begitu aku kehilangan konsentrasi, kekuatan magisnya tersebar di udara.

"......Apa kamu tahu kalau tanganmu itu hampir saja terpotong!? Apa yang sedang kamu lakukan!?"

Aku bertanya dengan sia-sia. Aku bukanlah tipe orang yang suka mempermainkan kehidupan orang. Aku mencoba untuk mengakhiri nafas Claude dengan satu pukulan menggunakan kekuatan magis yang terkumpul.

Tapi, Alexander menghentikanku. Merasa terganggu, aku memalingkan wajahku. Alexander berbisik cepat, membawaku kembali ke pelukannya, bahkan mungkin dia tidak mendengarkan aku.

"Aku sudah bilang, itu tidak mungkin. Tidak ada waktu. Kalau Kakak menggunakan sihir sekarang, semuanya akan sia-sia."

.

.

.

***

Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.

Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!

Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!

***

Puas dengan hasil terjemahan kami?

Dukung SeiRei Translations dengan,


***


Previous | Table of Contents | Next


***


Apa pendapatmu tentang bab ini?