Chapter 16 Part 2

Penerjemah : reireiss

Dukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.

Terima kasih~


***

TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!

HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.

JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.

JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!

***

"Janji itu, tidak bisakah kita membuatnya yang baru saja?"

.

.

Ini adalah percakapan yang tidak penting.... ...Dia bilang apa? Aku mengepalkan tanganku. Aku pikir itu lucu.

"Kalau sejak awal, semudah itu......!"

Aku menarik nafas dalam-dalam. Bahkan aku sampai tersandung, tapi dia melingkarkan lengannya ke pinggangku. Aku terkejut dengan tindakannya, dengan cepat aku melepaskan lengannya.

"...Sejak awal? Beri tahu aku, Kak. Aku akan mendengarkannya."

Alexander berkata dengan nada yang lebih tenang, seolah-olah berusaha untuk menenangkan aku. Dia hanya menyentuhku untuk sesaat, tapi aku masih merasa seperti sedang dipeluk olehnya. Perlahan aku menenangkan diriku. Untuk sesaat, aku hampir benar-benar marah padanya.

"Tidak, tidak. Aku tidak bermaksud begitu."

Aku menggelengkan kepalaku. Janji dibuat untuk dilanggar. Ibuku tidak pernah menepati janjinya padaku meski kami sudah melakukan janji jari kelingking. Katanya ini adalah yang terakhir kalinya dan Ibu akan bahagia di sini. Tapi semua itu adalah kebohongan belaka.

Kenapa Ibuku, yang sudah berjanji kalau ini adalah yang terakhir kalinya malah menyembunyikan jarum suntik di Kediaman Duke? Ah, berhenti. Aku tidak ingin terus memikirkannya. Merasa sedikit pusing, aku meletakkan tanganku di dahiku.

"......Alex, aku lelah. Bukankah penyelidik akan curiga padamu kalau kamu mendekatiku seperti ini?"

"Apa kamu lebih peduli pada penyelidik yang baru pertama kamu temui daripada aku?"

"Aku tidak berkata seperti itu."

"Apa bedanya?"

Bermain-main kata seperti ini bukanlah gaya Alexander. Bahkan kalau ada sesuatu yang tidak dia sukai, dia hanya akan diam, menunjukkan ketidaksukaan. Itu sebabnya aku berpikir kalau dia itu lebih dewasa dibandingkan aku. Apa aku salah?

"Reaksimu agak berlebihan. Di antara saudara, hal seperti itu tidak terjadi."

"......Apa kita ini bersaudara? Apa kita ini kakak-adik?"

"Berhenti. Membicarakan hal ini membuatku lelah."

Suaranya semakin tinggi dan tinggi. Aku langsung memotong pembicaraan tanpa mendengarkan Alexander sampai akhir. Untuk apa kamu melakukan ini? Apa kamu mau menghentikan permainan kakak-adik sekarang?

Alexander berkata, "Kakak, kamu......!" Dia langsung menutup mulutnya. Dia menatapku dengan tatapan tidak puas.

Aku hanya ingin berteriak, apa yang sebenarnya kamu bicarakan? Aku bahkan tidak menyadari kalau kami berada di tangga, jadi aku mendorongnya sekuat tenaga.

Tapi Alexander bukanlah orang yang akan pergi hanya karena didorong. Dia tidak bergerak. Sebaliknya, dia malah menutupi wajahnya dengan tangan seakan bersedih.

Bahunya yang lebar mulai bergetar.

"......Kakakku tersayang, apa aku ini begitu tidak berarti?"

Alexander tampak begitu sedih. Dia mulai menghela nafas, mengerang, dan terisak-isak.

Hanya dengan satu hal ini, dia menghapus semua pertengkaran kami sebelumnya. Aku hanya mendorong Alexander menjauh, bukan menendang atau pun memberinya tatapan kosong. Tapi Alexander menangis.

"Aku bersumpah, aku tidak berpikir seperti itu. Kenapa kamu berbicara seperti itu? Memang kapan aku mengatakannya?"

Meski aku menghiburnya dengan membisikkan kata-kata itu, tangis Alexander tetap tidak berhenti. Aku meletakkan tanganku di bahunya yang keras seperti batu. Aku menepuknya perlahan-lahan, tapi dia malah mulai menangis tersedu-sedu dan terus menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Terdengar suara seakan dia kesakitan,

"Urgh... Aku, aku... Aku, tidak berarti......"

Dia tergagap. Hanya dengan menepuk bahunya tidak membuat Alexander tenang. Bagaimana caranya agar dia bisa berhenti menangis? Dulu, setelah pemakaman usai, bagaimana caraku menghiburnya yang menangis karena merasa kesepian?

"...Sudah, berhenti."

Aku ingat. Aku hanya perlu memeluk Alexander dengan erat. Aku mengulurkan tanganku dan memeluknya.

"...Hiks, aku tidak menyukainya. Aku tidak suka seperti ini."

Alexander menggelengkan kepalanya dengan sedih. Tapi dia tidak berusaha melepaskan diri dari pelukanku. Dia terus menangis pelan di pelukanku.

Dia sudah besar, tapi masih seperti anak-anak. Setelah aku menyadarinya, aku menjadi mengerti kenapa dia terus memohon padaku untuk tetap tinggal di sini. Mungkin hatinya masih terpaku di hari itu, hari pemakaman. Aku pun memutuskan untuk menenangkannya dengan caraku.

"Ya, aku juga tidak menyukainya."

Aku mengelus tengkuknya yang memerah. Setiap kali aku melakukannya, Alexander terus bergidik. Aku menyeringai sekilas, lalu melepaskan tangannya yang sejak tadi menutupi wajahnya. Lalu aku menatapnya.

Dia menangis tersedu-sedu sampai area sekitar matanya menjadi sangat merah, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Air matanya yang terasa panas jatuh dari sudut matanya dan mengalir ke pipi serta jari-jarinya. Bulu matanya yang hitam menjadi basah dan mengaburkan pandangannya. Alexander mengerutkan keningnya dengan lembut seolah itu membuatnya tidak nyaman.

"......Apa yang tidak kamu sukai?"

"Kamu yang menangis seperti ini."

Suaranya terdengar berat. Begitu Alexander mendengar jawaban itu, jantung Alexander berdebar dengan kencang.

"Bohong."

"......Apa?"

"Bukankah Kakak suka kalau aku menangis? Hanya di saat seperti saja.... ...Kamu berbaik hati padaku."

Itu terdengar sangat konyol. Aku mengkhawatirkan Alexander, jadi aku mengelus-elus rambutnya. Tangis Alexander perlahan berhenti saat dia memanggilku, "Oh, Kakak."

"Sepertinya sekarang kamu sudah sedikit tenang."

Air matanya membasahi bahuku. Aku menarik Alexander agar dia bersandar padaku. Tapi semakin aku melakukannya, Alexander malah semakin menangis dan menempel padaku, tidak mau jauh dariku. Akhirnya aku bergumam tidak puas,

"......Sudah cukup menangisnya, jadi lepaskan aku."

"Aku tidak bermaksud begitu, tapi... Baiklah."

Alexander menjilat bibirnya. Itu masalah besar. Apa kamu pikir itu terlihat lucu? Jelas-jelas dia ini sudah gila. Aku mencoba mengabaikannya.

"Kamu berlebihan."

"Kamu mau mengulang pembicaraan ini lagi, ya?"

Aku kembali menatap Alexander yang mengerucutkan bibirnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Untungnya, saat aku mengulurkan tangan ke pegangan tangga untuk kembali menaiki tangga, dengan lembut dia memegang tanganku. Seketika suhu tubuhku terasa naik karena aku bisa merasakan rasa panas dari tangan kami yang terjalin.

Dia menaiki tangga, menyamai kecepatanku yang lebih lambat dari kecepatannya. Meski sudah menangis seperti itu, dia tetaplah seorang pria. Alexander mengantarku ke kamar.

Begitu aku memasuki kamarku, aku bersandar di pintu tanpa bergerak. Aku menunggu sampai Alexander pergi. Begitu langkah kakinya sudah terdengar cukup jauh, aku membuka pintu dan kembali ke koridor.

Alexander sudah masuk ke kamarnya dan pintunya tertutup. Tanpa ragu, aku langsung menuju ke bawah. Dan aku menemukan tikus yang bersembunyi di bawah tangga, mengira kalau dia tidak akan ketahuan.

"Padahal sudah jelas aku memberimu liburan."

Begitu aku meletakkan tanganku di bahunya, tikus itu gemetar dan menatapku.

"Ah, Nona. Cuacanya buruk dan aku tidak punya tempat untuk kutuju... Jadi aku kembali."

Astaga! Tikus ini berbicara saat aku menatapnya, memangnya aku ingin tahu? Henrietta menundukkan kepalanya, berusaha menghindari tatapanku. Aku tersenyum seolah aku mengerti.

"Bahan kalau kau mati pun, kau akan tetap berpikir kalau ini adalah rumahmu."

"......Nona-"

"Meski kau sudah kembali, kau bisa beristirahat hari ini dan baru mulai bekerja besok."

"Ah, Nona. Terima kasih!"

Henrietta meletakkan barang-barang yang dia bawa. Dia mencoba untuk berlutut di hadapanku. Aku mengangkat tanganku untuk menghentikannya.

"Kalau sampai ada yang melihat, mereka akan mengira kalau aku mengancammu. Aku bahkan menutupi kesalahanmu dan membiarkanmu berada di sisiku seperti yang kau inginkan."

"Oh, itu-"

Henrietta bergumam. Berulang kali dia mencoba untuk membuka dan menutup mulutnya, menggosokkan telapak tangannya ke ujung roknya. Dia tampak gugup. Keringat dingin mulai mengalir di dahinya.

"Ada yang ingin kau katakan?"

"Oh, tidak. Saya sangat berterima kasih untuk itu......"

"Sudah cukup aku mendengar ucapan terima kasih darimu sampai aku bosan."

Aku tersenyum saat aku menyelipkan rambutnya yang jauh lebih keriting dari sebelumnya, ke belakang telinganya. Henrietta menarik sudut mulutnya dengan paksa, dia benar-benar tampak gugup sampai aku merasa kasihan padanya.

Ngomong-ngomong, kenapa aku merasa kekuatan sihir dari dirinya?

"Kau tahu betul kalau kau tidak akan bisa menggelitik aku dengan kekuatanmu."

Aku melirik ke bawah, ke sinar cahaya yang memancar di ujung jarinya yang mencengkeram roknya. Satu pandangan saja sudah cukup untuk memotong sihir Henrietta. Seketika tidak ada lagi yang bersinar dalam gelap.

"Setelah aku pergi, tempat ini akan tetap menjadi milikmu. Jangan melakukan hal yang tidak berguna."

Aku menyeka punggung tangan Henrietta sambil mengatakan itu.

Ini bahkan tidak lucu. Apa kau mencoba untuk melawan dengan kekuatan semacam ini? Ini alasanmu pergi berlibur lalu kembali lagi?

Untuk beberapa alasan, aku pikir semuanya akan tenang tanpa terjadi apapun. Sepertinya dia sudah bekerja keras untuk meningkatkan sihirnya secara diam-diam.

Selama ini dia sering keluar-masuk ke perpustakaan. Aku kira dia melakukan itu karena tidak tahan melihat aku yang berduaan dengan Alexander. Tidak kusangka ternyata dia sedang mempersiapkan balas dendam yang begitu manis. Ada beberapa buku tentang sihir di perpustakaan. Tampaknya, Duke yang sebelumnya membelikan buku-buku itu untuk Henrietta. Tapi pertama-tama, secara naluri pasti dia itu tahu kalau kapasitas kekuatan magis yang dikandung setiap orang itu memiliki dimensi yang berbeda-beda.

"Urghhhh... Arghhh!"

Henrietta terduduk di lantai. Karena aku memasukkan kembali mana yang dia keluarkan secara paksa, maka dia tidak akan bisa bergerak dengan benar untuk sementara waktu.

"Henrietta."

"......Hah."

"Sekarang kau paham?"

Dia mengangguk kepalanya dengan sekuat tenaga. Matanya yang tertutup rapat bergetar. Aku membungkuk dan menepuk-nepuk pipi Henrietta. Kemudian aku berbalik, meninggalkannya yang terus terduduk di lantai.


***

Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.

Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!

Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!

***

Puas dengan hasil terjemahan kami?

Dukung SeiRei Translations dengan,


***


Previous | Table of Contents | Next


***


Apa pendapatmu tentang bab ini?