Chapter 12
Penerjemah : reireissDukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.
Terima kasih~
***
TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!
HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.
JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.
JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!
***
"Nona, Tuan Muda bertanya apakah Anda ingin makan
siang bersama?"
Di siang hari, waktunya untuk makan siang, Henrietta
menanyakan hal itu padaku. Aku merenung untuk sementara waktu. Kalau aku makan
bersama dengan Alexander yang memanggilku 'Kakak', dia yang memiliki fisik kuat
tidak cocok bersikap seperti itu. Itu hanya membuatku tidak nyaman, entah
makanan itu akan masuk ke mulutku atau ke hidungku.
"Katakan aku tidak lapar."
Lagi pula, tadi aku sudah makan scone dengan teh herbal. Aku membenamkan diriku sendiri di sofa dan
menunjukkan kekesalan yang melelahkan. Harusnya aku pergi, tapi sofa tidak
membiarkan aku untuk pergi. Itulah suasana yang terpancarkan saat ini.
"Ah, baik. Saya akan melakukannya. Dan Nona..."
"Hah?"
Henrietta ragu, perlahan dia meraih kenop pintu. Meski dia
terlihat akan pergi, tampaknya dia tidak akan pergi sampai aku menjawabnya.
Jadi aku mengalihkan pandanganku dari buku yang sedang kubaca, dan melihatnya
yang sedang berdiri di sana.
"Ada apa?"
Aku meletakkan buku dan bertanya. Kalau kau membiarkan
pintu tetap terbuka seperti itu, udara dingin akan masuk ke dalam ruangan.
"Saya dengar Anda belum memutuskan siapa yang akan
menjadi pelayan pribadi Anda."
Begitu dia membuka mulutnya dan memberitahuku, Henrietta
menatapku. Matanya yang besar dan bulat itu menyerupai anjing liar yang biasa
mencari-cari makanan di Kota Pelabuhan di Selatan. Perlahan aku membuka
mulutku, menatapnya, dan menutup mulutku.
"Hehe..."
Dia tersenyum malu-malu ketika dia melakukan kontak mata
denganku. Tampaknya dia benar-benar tidak akan keluar sampai mendapatkan
jawabannya. Aku pun membuka mulutku sambil menyisir rambut panjang yang seperti
benang perak ke belakang telingaku.
"Iya. Aku tidak nyaman kalau ada seseorang di
dekatku."
"Oh... Begitu......"
Henrietta mengangguk malu. Sekarang aku ingin kau pergi.
Aku pun kembali membuka buku, mencoba mengalihkan perhatianku darinya. Tapi
Henrietta justru kembali bertanya dengan ragu,
"Anda benar-benar tidak membutuhkannya? Seorang
gadis muda biasanya suka pergi ke luar atau melakukan sesuatu, um... Dan
juga-"
"Henrietta."
"Iya, Nona?"
"Aku tahu kalau gadis bangsawan seperti itu. Dulu
waktu di Blancier, aku memiliki seorang pelayan pribadi. Dia suka berbaring di
ranjangku dan kami mengobrol sepanjang malam."
"...Maksud Anda, Anda memperlakukan pelayan seperti
itu? Wow, Anda sangat ramah. Saya jadi iri."
"Kau tidak perlu iri. Keesokan harinya kalung ruby-ku hilang. Jadi Ibuku
mengusirnya."
"Ah......"
Mungkin itu adalah akhir yang tidak terduga baginya, jadi
Henrietta hanya bisa membuka mulutnya tanpa mengatakan apapun. Tapi tampaknya
itu tetap tidak berpengaruh karena dia tetap menatapku dengan tatapan itu.
"Apa kau masih ingin menjadi pelayanku setelah
mendengar itu?"
"Benarkah pelayan itu yang mengambilnya?"
"Tidak. Ternyata kalungnya ada di kamar mandi.
Sayang sekali pelayan itu sudah pergi ketika kalung itu ditemukan. Aku ingin
membawanya kembali ke Kediaman, tapi Ibuku menghentikan aku."
Itulah hal berbahaya saat kau dekat dengan seorang
bangsawan. Karena setiap kali terjadi sesuatu, bangsawan akan langsung
mencurigai pelayannya.
"I-Itu..."
"Iya, Henrietta. Itu tidak terlalu menarik,
kan?"
Untuk mencegah percakapan ini terus berlanjut, aku
memilih kata-kata yang sulit dia tanggapi. Henrietta yang seorang pelayan
mungkin akan berkata kalau pelayan itu sudah melakukan pekerjaan yang baik
dengan melayani tuannya, dan akan memihak pada pelayan itu. Saat itu, jelas
kalau Ibu lah yang salah.
"Kalau saya menjadi pelayan itu, saya akan menemukan
kalung itu untuk membuktikan kalau saya tidak bersalah. Tidak, saya tidak akan
meninggalkan kalung mahal di sembarang tempat."
Setelah memikirkannya dengan baik, akhirnya Henrietta
menjawab. Aku tertawa kecil melihat betapa lucunya dia sebagai seorang pelayan.
"Kau akan terus berbicara denganku di sini?
Alexander pasti menunggumu."
"Ah, itu benar. Kalau begitu, saya akan memberi tahu
Tuan Muda dan segera kembali ke sini."
"Tidak. Kau tidak harus kembali ke sini..."
Aku tidak punya waktu untuk itu. Setelah selesai membaca
buku, aku berencana untuk menyulam sendirian. Aku ingin mengatakan itu, tapi
Henrietta bergerak lebih cepat. Namun, sebelum dia keluar dari ruangan, sebuah
tangan besar muncul, membuka pintu.
"Kakak, melewatkan makan adalah kebiasaan yang
sangat buruk. Apa biasanya kamu memang seperti ini?"
"Tuan Muda, kenapa Anda ke sini?"
Henrietta menatap Alexander dan bertanya. Dalam hati, aku
setuju dengannya. Kenapa Alexander datang ke sini?
"Kakak, kamu tidak kunjung turun sampai makanannya
sudah dingin, jadi aku ke sini untuk menjemputmu. Kakak, kamu terlihat luar
biasa."
Apa kamu menyindir tentang keadaanku yang membenamkan
diri di sofa? Tapi jujur saja, duduk di depan perapian dengan secangkir teh
hangat dan selimut sudah cukup bagiku. Bahkan Alexander tidak akan bisa
mengatakan apapun kepadaku kalau dia tahu seberapa nyamannya hal ini.
"Ayo, turun. Paman sudah menunggu. Aku ingin makan
bersamamu seakan ini adalah makan terakhirku."
Itu adalah perkataan dengan nada yang sangat sarkas. Aku
tidak tahu apakah Alexander mengejekku karena tak kunjung turun ataukah dia
menyindir tentang Adrian.
"Setelah matahari terbenam, katanya Paman ingin
menginap satu hari lagi. Apa menurutmu itu bagus, Kak?"
"Tidak, itu sedikit..."
"Iya, kan? Aku juga tidak menyukainya."
"Jadi, ayo kita turun bersama." Alexander
mengulurkan tangannya kepadaku. Aku pun bangun dan menyisihkan selimut ke sisi
sofa.
"Tuan Muda, apakah Anda tahu? Nona menjadikan saya
pelayan pribadinya."
"......"
Kini di hadapanku ada tangan besar Alexander dengan
jari-jarinya yang panjang, aku sedang berpikir apakah aku akan meraihnya atau
tidak. Henrietta tersenyum malu dengan tatapan mata yang cerah. Aku tidak ingat
kalau aku menyetujuinya. Tatapan Henrietta terlihat tenang, tapi tatapannya itu
tertuju pada Alexander.
"...Hah!? Lalu, haruskah aku mengucapkan selamat
padamu?"
Wajah Alexander sangat dingin. Henrietta masih tersenyum.
Suasananya menjadi tidak enak. Padahal jelas kalau aku juga ada di ruangan ini
bersama mereka, tapi aku merasa seperti menjadi pihak ketiga di sini.
"Kakak?"
Dan entah kenapa, aku tidak tahu kenapa, tapi tanpa
sadar, aku meraih salah satu jari panjang Alexander. Dia mengangkat satu
alisnya seolah kebingungan.
"Ya, aku sudah memutuskannya. Jadi jangan menatap
Henrietta seperti itu."
Kalau dia bisa membunuh orang dengan matanya, pasti dia
sudah melakukannya sekarang. Aku tidak menyukai Henrietta yang seenaknya
berkata kalau ia sudah menjadi pelayan pribadiku. Tapi aku juga tidak suka cara
Alexander mengintimidasinya. Benar. Hanya itu. Tidak ada arti lain. Aku pun
segera meraih tangan Alexander.
"Apa kamu tidak ingin pergi? Tuan Adrian sudah
menunggu, kan."
"Oh, iya... Tunggu, sebelum itu..."
Alexander menatap tanganku yang melingkari salah satu jarinya, lalu dia menyeringai. Seakan sudah menjadi hal yang
normal, dia menarik tanganku.
"Kurasa sebaiknya kita bergandengan seperti
ini. Bagaimana menurutmu?"
Dia meletakkan jari-jarinya di antara jari-jariku dan
menguncinya. Tangan kami saling bertaut, perlahan tanganku merasakan
kehangatan. "Ayo." Alexander pun memimpin langkah.
Aku melewati Henrietta yang telah menyingkir ke samping. Tiba-tiba saja aku merasa ingin melihatnya, jadi aku menoleh ke arahnya. Apa yang kulihat adalah, Henrietta tidak lagi tersenyum.
***
Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!
Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!
***
Puas dengan hasil terjemahan kami?
Dukung SeiRei Translations dengan,
***
Previous | Table of Contents | Next
***
Apa pendapatmu tentang bab ini?
0 Comments
Post a Comment