Penerjemah : reireiss
Source ENG : Jingle Translations
Dukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.
Terima kasih~
Chapter 51 - Dia dan Pertengkaran antara Orang Tua dan Anak
[POV Lidi]
Ketika
pengawal melihatku yang tiba di gerbang tengah dengan tepat waktu, dia
menunjukkan wajah yang terlihat lega.
"Nona."
Aku melambaikan tanganku pada pengawal yang memanggilku dengan santai, dan segera menuju ke sisinya.
Karena
tadi aku berlari, aku nafasku jadi sedikit terengah-engah.
"...Maaf.
Tapi, aku menepati janjiku, kan? Mari kita pulang."
Sambil
berkata seperti itu, aku melewati gerbang tengah. Pengawalku menatap ke belakang
dan melihat ke sekeliling.
“Nona,
bagaimana dengan pria yang tadi?”
Aku
mengangguk pada kata-katanya.
"Tidak
ada yang perlu dikhawatirkan."
“Tidak
mungkin, apakah dia selamat?”
"Iya."
Mengabaikan
pengawalku yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, aku mulai berjalan.
Aku
tidak berencana untuk menjelaskannya secara detail.
Benar
saja, pengawal itu segera menyusul langkahku dan mulai bertanya dengan usil,
tapi aku menghindarinya. Akhirnya dia tersadar bahwa aku tidak ingin
membicarakannya, dan aku terus saja menghindarinya dengan terus berpura-pura
tidak mendengar apapun.
“Tolong
beritahu ayah Anda mengenai hal ini.”
"Bagaimana,
ya? Aku tidak bisa menjanjikan itu."
Akhirnya
pengawal itu mengibarkan bendera putih
setelah aku kata-katanya dengan dingin.
T/N
: mengibarkan bendera putih = menyerah.
Aku
benar-benar tidak akan memberi tahu ayah mengenai Delris dan Cain.
Akan
berbeda kalau ayah adalah orang biasa, tetapi ayah kan seorang Perdana Menteri.
Mana
mungkin ayah akan diam saja kalau aku menceritakan semuanya.
Aku
tidak bisa membicarakan tentang Delris karena Delris lebih memilih untuk hidup
bersembunyi. Dan mana mungkin aku mengatakan soal Cain yang baru terlepas dari
bahaya kepada ayahku.
Aku
pun kembali ke kediaman dengan seperti itu, tetapi sayangnya ayah sudah pulang
dari Istana dan menungguku di aula depan.
...Dia
marah.
Aku
bisa tahu ayahku marah lewat posenya yang menakutkan, aku pun mengalihkan
pandanganku karena menganggapnya merepotkan.
Aku
ingin cemberut kepada pengawalku yang sudah terlebih dahulu membocorkan
informasi, tetapi dia sudah pergi.
Cih...
Cepat sekali dia kaburnya.
Haaa...
Mau bagaimana lagi, dengan acuh tak acuh aku memberi tahu Ayah bahwa aku telah
pulang.
"Aku
pulang. Ayah pasti kembali lebih awal hari ini."
Langsung
saja katakan kalau aku ini tidak tahu malu.
Berpikir
begitu, aku membungkuk, tetapi ayah memiliki ekspresi yang masam.
“Ketika
aku menerima laporan itu, aku segera bergegas kembali. Lidi, aku sudah
mendengar cerita dari pengawal yang kutugaskan untuk menjagamu. Masalah dengan putri
Marquis Shanoire itu bukanlah hal besar. Kamu melakukannya dengan baik. Tapi,
apa yang pengawal maksud dengan kamu membawa pria yang terkutuk?”
Aku
mengerti. Jadi masalahnya ada pada Cain.
Setelah
memberi selamat kepadaku karena telah menyelesaikan masalah dengan putri Marquis
dengan baik, Ayah langsung mengatakan bahwa masalahnya ada pada Cain.
“...Ayah
memiliki telinga yang tajam. Ya, seperti yang baru saja Ayah katakan. Aku tidak
hal lain yang perlu kukatakan.”
Mendengar
kata-kataku, ayah mengangkat satu alisnya dengan kedutan.
Mungkin
laporan rincinya dikirim saat aku berada rumah Delris.
Aku
muak dengan betapa hebatnya unit intelijen Keluarga Vivouare ini.
“...Hal
yang menjadi masalah lainnya adalah.... Lidi, apakah kamu mengerti? Kamu akan
menikahi Yang Mulia Putra Mahkota. Tidakkah kamu berpikir untuk sedikit merubah
perilakumu yang tidak terkendali itu?!”
"Meskipun
ayah berkata seperti itu. Aku kan sudah bilang ke ibu kalau aku hanya ingin
keluar untuk berterima kasih kepada orang yang sudah menolongku. Hal-hal
lainnya itu hanya kebetulan semata."
Aku
bersikeras bahwa aku tidak melakukan apapun, tetapi ayahku tampak ragu akan hal
itu.
Sedih,
itulah yang dikatakan Ayah sambil menutupi wajahnya dengan tidak wajar.
“Bagiku,
itu terlihat seperti kamu sengaja membuat masalah. Sungguh... Kakak dan adik memang
lah sangat mirip. Kamu sama seperti Alex.”
"Aku
disamakan dengan kakak yang menjengkelkan itu!?"
Refleks
aku menyangkalnya. Pipiku berkedut saat mendengar kata-kata ayah.
Marahi
saja aku sepuasmu, tapi jangan menempatkan aku pada level yang sama dengan
kakak yang menjengkelkan itu.
"Dan...?
Kudengar orang yang kamu selamatkan itu adalah seorang pria bermata merah, apa
itu benar?"
Pembicaraan
kembali ke masalah awal, sepertinya ayah benar-benar ingin tahu tentang apa
yang terjadi.
Benar-benar
seorang Perdana Menteri yang cakap.
Tampaknya
ayah telah menyelidiki sampai batas tertentu, buktinya dia tahu bahwa pria itu bermata
merah.
Tentu
saja, ayah tidak akan mempercayai rumor mengenai klan terkutuk itu.
Ayah
tidak akan tahu bahwa Cain adalah seorang pembunuh dan dia berasal dari Klan
Hiyuma.
Namun,
aku sudah memutuskan untuk tidak membicarakan masalah ini meskipun aku ditekan.
Aku
sudah sedikit memikirkannya, untuk saat ini aku memutuskan untuk mengalihkan
perhatian ayah.
“Ya,
matanya berwarna merah darah yang sangat indah. Tetapi, aku tidak tahu di mana
dia sekarang.”
Bagaimana
pun aku tidak bisa menyembunyikan masalah mengenai matanya yang sudah dilihat
oleh pengawal.
Tidak
ada gunanya bertindak bodoh.
Tapi,
selain itu, apa yang akan terjadi akan terjadi.
Aku
mempersiapkan diri.
“Hm?
Apa maksudmu?"
Dengan
sembrono aku memberi tahu ayah yang memasang wajah curiga.
“Mungkin
kutukan itu sudah hilang berkat kenalanku. Tetapi, aku tidak tahu apa yang
terjadi setelah itu. Aku sudah berjanji kepada pengawal untuk segera kembali.
Kurasa dia sudah pergi ke suatu tempat.”
Aku
mencoba untuk tidak berbohong sebanyak mungkin.
Jika
tidak, aku akan segera terungkap. Apalagi jika itu adalah ayah.
Ayah
menatap mataku dengan curiga.
Tanpa
ragu aku menatap balik matanya.
Sejenak,
ayah menatapku dengan curiga, tapi akhirnya dia menyerah dan menghela nafas.
"...Aku
mengerti. Kalau begitu masalah selesai. Lalu, selanjutnya. Siapa kenalanmu yang
bisa menghilangkan kutukan? Setahuku tidak ada penyihir tingkat tinggi baru di
kota."
Untuk
masalah ini, aku hanya membalasnya dengan senyum manis.
“Maafkan
aku, Ayah. Aku tidak bisa menjelaskannya secara detail. Tadi aku berkata bahwa mungkin
kutukan itu sudah hilang berkat kenalanku, tetapi aku tidak mengatakan bahwa
kenalankulah yang menghilangkannya. Tolong jangan salah paham.”
“Lidi!
Berhenti bercanda! Ini pembicaraan penting!”
Amarah
ayah mirip seperti api yang mengamuk, yang mengarah kepadaku.
Bagaimanapun,
kami melakukan pembicaraan ini karena ayah ingin mengundang penyihir itu ke
Istana.
Setiap
negara memiliki keinginan untuk mempekerjakan seorang penyihir yang hebat.
Seorang penyihir yang bisa menghilangkan kutukan, tentunya dia patut untuk
diundang ke Istana.
Aku
langsung mengerti bahwa ayah ingin mengundang penyihir itu ke Istana.
Aku
tersenyum santai.
“Ya,
mungkin tampak seperti itu bagimu, Ayah. Namun, orang yang benar-benar dapat
menghilangkan kutukan itu bukanlah kenalanku, melainkan orang yang berbeda.
Selain itu, aku belum pernah melihat orang itu secara langsung.”
Aku
tidak berbohong. Akulah orang yang menghilangkan kutukan itu, dan aku tidak
bisa melihat diriku secara langsung.
Karena
itu adalah sesuatu yang tidak kupahami dengan baik, tentu saja aku tidak akan
menyebutkan mengenai sihir netralisasiku kepada ayah. Karena pembicaraan itu pasti
akan membingungkan. Lebih baik aku terus merahasiakannya untuk kedamaian
hidupku.
Saat
aku menatap ayah yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu, dia mengangkat
alisnya.
Kumohon,
ayah. Jangan terlalu marah. Tekanan darahmu nanti bisa naik.
“Kamu
belum pernah melihat orang itu?”
"Iya.
Itulah kenapa aku tidak bisa memperkenalkannya kepada ayah."
“Sungguh?”
"Iya."
“...Aku
mengerti, cukup.”
Syukurlah.
Setelah
beberapa percakapan, Ayah berkata bahwa dia merasa begitu lelah.
Aku
tidak menyadari alasan kenapa ayah tidak mendesakku.
Aku
yang sudah merasa menang, merasa sangat senang. Tapi, aku terdiam membeku saat
mendengar kata-katanya.
“Aku
memahami ceritanya dengan baik. Lidi. Kamu dilarang meninggalkan kediaman
selama sebulan. Patuhlah dan introspeksi dirimu di kamar.”
"Ayah!?"
Melihat
ekspresiku yang langsung berubah, ayah berkata...
"Jika
ada sesuatu yang ingin kamu katakan, aku akan mendengarkannya... Kita bisa
bernegosiasi setelah itu."
...Cih!
Lagi
pula ayah tidak akan percaya dengan apa yang akan kukatakan.
Alisku
berkedut ke arahnya, secara implisit ayah mengatakan jika kamu ingin mengatakan yang sebenarnya, maka aku akan membatalkan
hukumanmu.
Siapa
yang akan tertipu dengan trik itu.
"...Aku
mengerti. Kalau begitu, aku akan menyulam di kamarku."
"Baiklah.
Sebaiknya kamu mulai melakukan sesuatu yang pantas sebagai seorang wanita dari keluarga
bangsawan bergelar Duke. Jika tidak, perilaku burukmu itu akan terungkap.”
Sikapku
yang berpura-pura polos ini tidak setengah matang.
Aku
selalu sempurna saat di depan umum. Selain itu...
“Aku
yakin, aku lebih baik daripada kakak.”
Aku
mengatakan perasaanku yang sebenarnya, tetapi seketika ayah memeotong
perkataanku.
“Jangan
bandingkan dirimu dengan Alex. Dia itu laki-laki. Kenapa kamu ini begitu tomboy. Kalau bukan karena Putra Mahkota,
mungkin tidak ada yang akan menikahimu.”
Itu
bukan urusanmu.
Aku
merasa sangat kesal karena pada akhirnya, ayah malah memuji-muji Freed.
Sejujurnya,
evaluasi Ayah terhadap Freed semakin menjadi tinggi.
Freed
memang luar biasa sebagai Putra Mahkota, tetapi ayah yang hanya mengetahui
sikap luarnya saja tidak tahu bahwa Freed adalah makhluk kejam yang tak
tertandingi.
Tapi
aku tersadar bahwa aku tidak bisa mengatakan hal-hal seperti aku dihancurkan oleh Freed di tempat tidur.
Aku
ingin tahu, apakah ada wanita yang bisa mengimbangi staminanya?
Aku
tidak tahan dengan ocehan ayah yang terus menerus memuji-muji Freed padahal dia
tidak mengetahui sifat aslinya.
Jadi,
aku berbalik.
“...Aku
akan kembali ke kamarku.”
“Aku
mengerti. Kalau kamu ingin mengatakan yang sebenarnya, langsung saja datang ke
ruangan ayah.”
Tanpa
memandang ayah, aku menjawab...
“Yang
aku katakan tadi adalah kebenarannya. Karena itu, sesuai dengan perintah ayah,
aku akan introspeksi diri di kamar.”
“Lidi!”
"Kalau
begitu, aku permisi."
Aku
mengabaikan kata-kata ayah dan segera kembali ke kamarku.
***
“...Lidi.”
“......”
Aku
mengabaikannya.
“...Lidi.”
Tapi
karena aku selalu dipelototi, jadi dengan enggan aku menjawab
“...Ada
apa, ayah?”
Dua
minggu telah berlalu sejak aku dilarang keluar oleh ayah.
Tentu
saja, aku belum mengatakan apapun tentang Cain, Delris, atau pun sihir
netralisasiku.
Pada
dasarnya, aku tidak berbicara sama sekali dengan Ayah. Ini benar-benar perang
dingin.
Bahkan
saat sarapan pun suasananya masih dingin.
"Lidi,
apa kamu tidak akan berhenti merajuk?"
Dengan
tenang namun tegas, ayah memperlihatkan amarahnya.
Aku
menatap ayah secara langsung yang sedang marah itu, lalu menunjukkan senyum
tipis.
“Merajuk
apa? Aku menghabiskan seluruh waktuku dengan sulaman di kamar atas perintah
Ayah. Apa ada masalah?”
“Lidi!”
Kehilangan
ketenangannya, Ayah berdiri, tetapi aku berpura-pura tidak tahu dan terus makan
pancake sebagai sarapanku.
Pancake
dengan blueberry dan krim segar yang
banyak ini benar-benar luar biasa.
Dengan
wajah memerah, ayah merengut kepadaku.
Dan
aku, putrinya, dengan tenang mengabaikannya.
Ibu
yang melihat kami tidak kunjung berbaikan, menyuruh kami untuk tenang.
“Lidi,
jangan terlalu merepotkan ayahmu.”
“...Meski
ibu berkata seperti itu. Selama ini, aku kan selalu tinggal di kamar seperti
yang ayah minta. Aku tidak bisa mengerti kenapa ayah malah marah.”
"Cukup."
Mendengar
kata-kataku, suara rendah ayah bergema.
Gigih
sekali.
"......Sayang..."
Menyadari
aku mengabaikannya, ayah semakin memanas.
Dengan
lembut ibu menghentikannya.
“Tapi...
Rosina...”
“Lidi
bilang dia tidak tahu apa-apa, kan? Setelah semua ini, apa masih belum cukup
juga? Waktu makan bersama kita yang berharga jadi tidak menyenangkan dengan
suasana yang kaku ini.”
“Itu...
Maafkan aku.”
Setelah
mendengar kata-kata ibu, akhirnya amarah ayah sedikit reda. Bahkan ayah sampai
meminta maaf.
Lalu,
Ibu menatapku.
“Lidi,
kamu juga. Ayah tidak akan mempercayaimu karena kamu bersikap seperti ini. Aku mengerti
kalau kamu depresi karena dikurung di kamarmu, tetapi jadilah sedikit lebih
dewasa.”
"...Iya."
Aku
sadar bahwa sikapku ini sangat kekanak-kanakan, jadi dengan patuh aku
mengangguk.
Sebagian
besar alasannya karena sifatku yang keras kepala.
Kesempatan
berdamai yang ditunggu-tunggu pada akhirnya datang berkat ibu. Aku harus
menggunakannya secara efektif.
Aku
menarik nafas panjang dan menghadap ayah.
“Ayah,
maafkan aku. Sepertinya aku sedikit keras kepala.”
Dengan
kata-kataku yang memecahkan kebekuan suasana ini, ayah juga ikut meminta maaf.
“...Sepertinya
aku juga sudah kehilangan ketenanganku. Aku akan mendengarkan apa yang
dikatakan Rosina dan berhenti bersikap seperti ini. Tapi, jangan lakukan
sesuatu yang berbahaya. Semua orang mengkhawatirkanmu.”
"Iya..."
Berkat
ibu sebagai penengah, aku bisa berdamai dengan ayah, meskipun merasa sedikit
enggan, aku tetap menepuk dadaku, merasa lega.
Aku
tidak ingin mengaku apapun, tapi faktanya aku menjadi agak putus asa.
“Kalau
dipikir-pikir, aku belum memberitahumu, tapi pasukan yang dikirim tahun ini untuk
menghadang invasi Tarim akan segera pulang. Putra Mahkota akan segera kembal
dengan membawa kemenangan.”
“Eh...?”
Aku
mengangkat wajahku saat ayah memberitahuku hal itu.
Untuk
sesaat aku bertemu dengan mata dengan warna yang sama dengan mataku.
Karena
ayah merasa aku tertarik dengan hal itu, jadi dia memberitahuku lebih banyak
lagi.
“Dalam
perang ini, orang yang berperan penting adalah Putra Mahkota. Beliau
memusnahkan sekitar setengah musuh sendirian, berkat itu korban dari pihak
sangatlah kecil. Saat ini, Putra Mahkota masih mengurus masalah yang tersisa
akibat perang, begitu hal itu selesai, beliau akan kembali.”
Dengan
penuh perhatian aku mendengarkan cerita Ayah. Begitu, ya. Freed menang.
Aku
pikir, aku merasa senang, tapi pada saat yang sama, aku menjadi cemas, apa Freed
terluka?
“Lalu,
luka? Ayah, apa Putra Mahkota terluka?”
Mendengar
kata-kataku, ayah memberitahuku seolah-olah dia sedang mengingat-ingat.
"Nama
beliau tidak ada dalam daftar orang yang terluka, yang diserahkan kepadaku, dan
aku belum menerima laporan seperti itu."
"Begitukah?
Syukurlah."
Tampaknya
Freed tidak terluka. Aku menarik nafas lega.
Ayah
menatapku dengan heran. Tapi aku benar-benar tidak peduli dengan tatapan herannya.
...Freed
akan kembali dengan selamat.
Ketika
fakta itu meresap di dalam diriku, kebahagiaan mengalir di dalam diriku.
Tiba-tiba
aku teringat dengan penampilannya.
Terakhir
kali aku melihat Freed adalah ketika aku mengucapkan selamat tinggal saat dia
meninggalkan kamarnya.
Kalau
dipikir-pikir, sudah hampir sebulan aku tidak bertemu dengannya.
Selain
itu, aku baru bertemu dengannya selama 5 hari.
Tidaklah
aneh kalau aku melupakannya, namun anehnya, aku bisa mengingat dengan jelas
penampilannya.
Mengingatnya,
entah kenapa dadaku terasa sesak.
Aku
ingin bertemu dengannya---
Tanpa
sadar, aku jadi berpikir seperti itu.
“Saat
Putra Mahkota kembali, kamu juga harus pergi ke Istana. Sudah menjadi kewajiban
seorang tunangan untuk menyambut Putra Mahkota.”
"Iya."
Aku
langsung mengangguk begitu mendengar kata-kata itu.
Aku
ingin memastikan keselamatan Freed dengan mataku sendiri.
"Aku
akan segera memberitahumu begitu tanggalnya diputuskan... Tidakkah kamu
bersyukur, Lidi?"
“Eh?”
Nada
suara ayah berbeda dengan yang sebelumnya, kini ayah berbicara dengan nada yang
sangat lembut, dia juga menyipitkan matanya.
Saat
aku mengedipkan mata karena tidak memahami maksud kata-kata ayah, ayah hanya tertawa
dan meninggikan suaranya.
“Apa?
Kamu tidak menyadarinya... Hapus air matamu itu. Kamu menangis."
"Hah?"
Seketika,
aku langsung menyentuh pipiku.
Aku
kebingungan, tidak kusangka, aku akan menitikkan air mata seperti ini.
Melihat
keadaanku, ayah mengangguk berkali-kali.
“...Harapanku
sepertinya tidak salah. Kamu tidak perlu khawatir. Kamu hanya perlu memikirkan
Putra Mahkota saja.”
“Eh?
Umm... Ayah?”
Meskipun
aku tidak mengerti dan mencoba bertanya, tampaknya ayah tidak akan mendengar
pertanyaanku karena saat ini dia sedang sangat senang.
Aku
melihat ke arah ibu, tapi ibu hanya tersenyum ramah tanpa mengatakan apapun.
...Aku
sama sekali tidak mengerti.
Pada
akhirnya aku menyerah, aku segera menyelesaikan sarapan dan berdiri.
Aku
merasa seperti aku tidak akan menerima jawaban apapun dari makna kata-kata ayah
itu.
Seakan-akan
baru teringat dengan sesuatu, ayah kembali berkata,
"Lidi.
Dalam beberapa hari, Alex akan kembali."
“......”
Tubuhku
membeku saat mendengar hal itu. Si kakak bodoh itu!? Dia benar-benar akan
kembali!
Aku
memutuskan untuk tidak mengatakan apapun, dan segera kembali ke kamar.
Wajahku
berkedut luar biasa.
***
Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!
Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!
***
Puas dengan hasil terjemahan kami?
Dukung SeiRei Translations dengan,
***
Previous | Table of Contents | Next
***
Apa pendapatmu tentang bab ini?
0 Comments
Post a Comment