Chapter 23
Penerjemah : reireissDukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.
Terima kasih~
***
TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!
HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.
JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.
JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!
***
"Ayo semuanya pergi ke ruang tamu. Apa Anda tidak
masalah dengan itu, Duke?"
Claude memanggil para pelayan, Alexander, dan aku. Saat
orang-orang di Kediaman yang besar berkumpul, ruang tamu terasa sempit
seolah-olah akan meledak. Aku duduk di sofa dan menyesap wis*i yang dibawakan
Alexander untukku.
"Yah, pertama...... Aku akan mulai dari Tuan Duke.
Di mana Anda dan apa yang Anda lakukan tadi malam, sekitar jam 1 pagi?"
Claude yang membuka buku catatannya sembari memandang
Alexander.
Alexander yang tampak tidak nyaman untuk ditanyai,
menghela nafas sambil meletakkan tangan yang menopang dagunya di sandaran
tangan sofa.
"Bukankah itu sudah larut? Aku sedang tidur."
"Apa Anda sendirian?"
Atas pertanyaan Claude, tatapan Alexander mengarah
padaku. Akhirnya aku sengaja meletakkan minumanku dengan keras, tapi itu tidak
berguna.
"Tidak. Aku bersama Kakakku."
"......Apa itu benar?"
Kali ini Claude menatapku. Di saat yang sama, tidak mudah
bagiku untuk mengabaikan tatapan yang mengalir ke arahku. Para pelayan tidak
mengatakan apa-apa, tapi mereka saling bertukar pandang.
'Lihat. Kubilang juga apa.'
'Tidak, benarkah?'
Kedengarannya seperti percakapan yang aneh. Aku pun
menarik sudut bawah bibirku dengan paksa.
"Itu benar."
"Baiklah. Kalau begitu Nona Ophelia akan di lewat,
tapi bagaimana dengan Kepala Pelayan?"
"Saya... Saya begadang dan mengurus para pelayan
yang membersihkan paviliun."
"Apa Anda ingat nama para pelayan itu?"
"Tentu saja. Brandon, Chris, dan Daniel. Oh, saya
hampir lupa, saya juga memanggil Henry. Saya pikir, nantinya saya akan
membutuhkan lebih banyak tangan, jadi saya memanggil Henry."
"Apa Anda tahu jam berapa itu?"
"Sebenarnya, jam saku saya rusak......"
"Jadi waktu pastinya tidak diketahui, ya."
"Ah, tapi saya tidak menyakiti Henrietta."
Kepala Pelayan mulai berkeringat deras. Apa kau tidak tahu? Akan
lebih mencurigakan kalau kau bersikap seperti itu. Aku melihat pelayan yang
ditunjuk oleh Claude berikutnya.
"Sa-Saya? Saya selesai bekerja lebih awal, jadi saya
sedang beristirahat di asrama."
Pelayan itu berkata dengan suara bingung. Claude
bergumam, menggaruk kepalanya dengan pena.
"Kepala Pelayan Wanita menggunakan kamar tersendiri. Jadi Anda tidak bisa membuktikan
alibi Anda."
"Ya, tapi bukan hal yang aneh untuk sendirian pada
waktu selarut itu."
"Selain itu, ada beberapa laporan kalau Anda tidak
terlalu ramah dengan Nona Henrietta."
Mata Claude berbinar tajam. Pelayan itu menutupi kedua
pipinya dengan kedua tangan dan berteriak keras.
"Itu bukan hanya saya. Semua orang di sini pasti
membenci Henrietta. Anak itu tidak cukup baik dalam pekerjaannya, jadi saya
memarahinya."
Seolah meminta persetujuan, pelayan itu menatapku.
Beberapa pelayan yang juga melakukan kontak mata dengannya juga mengangguk.
"Itu benar, tapi saya tidak begitu membencinya
sampai ingin membunuh Henrietta."
"Saya juga! Dia itu seorang penyihir, jadi kalau
kita sembarangan berurusan dengannya, kita yang akan mendapat masalah. Benar
kan, Becky?"
"Benar...... Sebelumnya, seorang pelayan bernama
Leslie memukul lengannya saat mengobrol. Lalu, Henrietta mengangkat Leslie ke
udara dan menjatuhkannya."
Banyak kesaksian. Anekdot Henrietta yang tidak aku
ketahui. Dia juga tidak menjalani kehidupan yang mulus. Sedikit simpati muncul.
"Itu fakta baru. Baik. Apa yang para pelayan wanita
lakukan di belakang sana tadi malam?"
Tanya Claude, mencoret-coret sesuatu di buku catatannya.
Pelayan bernama Becky membuka mulutnya terlebih dahulu.
"Kami bertiga berbagi kamar yang sama. Sudah pasti
itu alibi. Tidak ada yang keluar di malam hari. Saya menyalakan lilin dan
menyulam."
"Bukankah pekerjaan sudah berakhir?"
"Iya...... Sebenarnya, saya sedang menyulam
saputangan untuk seorang ksatria yang saya kagumi."
Sebuah rona merah muncul di wajah Becky yang
berbintik-bintik. Claude, yang tersenyum nakal mengalihkan pandangannya ke
pelayan lainnya.
Untuk waktu yang lama, orang-orang yang berkumpul ruang
tamu berjuang untuk mengklaim bahwa mereka tidak bersalah.
"Sekarang, orang-orang yang tidak memiliki alibi
jelas adalah Kepala
Pelayan Wanita dan 2 pelayan lainnya. Ditambah lagi kalian
memiliki banyak pertengkaran dengan Nona Henrietta."
Claude, yang telah selesai menanyai semuanya, berdiri.
Kepala Pelayan Wanita langsung memeganginya dan berteriak.
"Apa Anda curiga pada saya? Saya tersinggung!"
"Bukan hanya Anda. Saya harus mencurigai semua orang
yang ada di sini. Itu hal yang masuk akal."
Claude melepaskan tangan pelayan itu dengan dingin. Lalu,
dia bertanya pada Alexander,
"Duke, bisakah saya meminjam ruang tamu? Saya ingin
melakukan percakapan mendalam dengan Kepala Pelayan Wanita, Nona Lily, dan
James."
"Lakukan apa yang kau inginkan. Selama kau
membiarkan kami pergi."
"Untuk sekarang, iya."
Alexander berkata sambil tersenyum tipis. Claude juga
menjawab sambil tersenyum dan meminta secangkir teh pada pelayan di dekatnya.
Satu per satu, para pelayan yang berkumpul di ruang tamu
pergi. Aku juga ikut keluar dan berjalan di koridor. Alexander menempel padaku.
Aku menatapnya sambil menaruh tanganku di dahiku.
"Alex, kamu terlalu dekat."
"Kamu tidak menyukainya?"
Sudut alisnya turun ke bawah. Secara terbuka dia
menunjukkan kekecewaannya.
"Kenapa aku harus membencinya?"
"Kalau begitu, permisi..."
Begitu aku menjawabnya, Alexander menundukkan kepalanya
dan mencium pipiku. Saat para pelayan meliriknya, dia mengeraskan raut
wajahnya. Melihat itu, para pelayan dengan cepat menghilang.
"Apa kamu takut dengan tatapan orang?"
Alexander melakukan kontak mata denganku dan bertanya.
Matanya memancarkan hasrat seolah-olah dia akan menciummu, mendorongku ke
dinding, dan menautkan lidah kami setiap saat. Perlahan aku menurunkan
pandanganku.
"......Aku? Sekarang? Kalau aku seperti itu, aku
tidak akan tidur denganmu."
"Syukurlah. Aku menginginkannya."
"Tapi kenapa kamu menghindari tatapanku?"
Tambah Alexander, lalu dia membelai pipiku yang terasa panas karena segelas
wis*i dengan lembut.
"Bukan begitu. Hanya saja...... Aku lelah."
"Kalau begitu, ayo kita naik ke atas. Kuharap hari
ini kita akan memiliki waktu istirahat yang baik."
"Bukankah ini masih siang?"
"Ah, aku tidak mengerti apa maksudmu."
Dia tertawa dengan mencurigakan. Tampaknya kematian
Henrietta tidak mempengaruhi Alexander. Dia memiliki sikap yang tenang seolah
dia tahu kalau hal seperti ini akan terjadi suatu hari nanti.
"Aku tidak bermaksud begitu."
"Maksudmu?"
"Menanyakan hal yang kamu ketahui itu adalah
kebiasaan yang buruk."
Aku meraih punggung tangannya, yang dilapisi dengan
pembuluh darah berwarna biru. Alexander menjulurkan lidahnya dan tersenyum
main-main.
Sore itu, kami pergi ke ruang belajar setelah sekian
lama. Dia tidak lagi membaca novel dengan konten yang tidak bermoral. Aku
berbaring di paha Alexander yang sekeras batu.
Di ruang belajar, dia terus mengikutiku. Dan Alexander
bahkan tidak memilih buku. Dia bilang kalau sebenarnya sejak awal dia itu tidak
suka membaca. Dia bermain dengan rambutku yang menggantung di atas kakinya.
"Apaan sih? Jangan ganggu aku."
"Kamu terlalu berlebihan. Hatiku terluka."
Alexander membunyikan bel untuk memanggil pelayan.
Kemudian dia memerintahkan pelayan itu untuk membawa dokumen-dokumen yang
menumpuk di kantor Duke. Jadi dia akan bekerja dan aku membaca buku.
Tanpa terasa, waktu pun berlalu tanpa terjadi apapun.
Kecuali, saat aku merasa kalau paha Alexander itu keras.
Itu tidak pantas dijadikan sebagai pengganti bantal, jadi
saat aku berusaha untuk bangun, dia merengek dan mencoba untuk mendapatkan
simpatiku.
"Bahkan menjadi sehat adalah dosa besar di
hadapanmu."
Dia mengatakan omong kosong seperti itu. Bagaimana pun,
hari berlalu seperti itu. Claude masih di ruang tamu bersama dengan para
pelayan, jadi Alexander dan aku makan malam bersama.
Berpura-pura santai adalah salah satu hal yang aku
kuasai, aku selalu berpikir begitu. Tapi, di depan Alexander yang selalu
mengikuti setiap gerakanku dengan wajahnya yang seakan ingin mati, aku tidak
bisa melakukannya dengan mudah.
Terlebih, sekarang aku tidak yakin, apakah dia
benar-benar bersama denganku semalam?
"Aku harus mandi sekarang. Henrietta.... Karena...
Hm, begitulah yang terjadi." Gumamku setelah menyelesaikan makanan
penutup.
Kalau aku membunyikan bel, maka Henrietta akan berlari
dan menatapku dengan tatapan ketakutan. Aku tidak percaya sekarang hal itu
tidak akan terjadi lagi.
Kematian orang-orang di sekitarku selalu seperti itu.
Sama seperti saat Ibuku meninggal. Aku berpikir kalau Ibu akan kembali dari
perjalanannya dan berkata, 'Apa putriku ini merindukanku?'
Tapi orang mati tidak akan pernah kembali. Kontak mata,
percakapan, dan suhu tubuh hanya ada di dalam ingatan saja. Andai saja aku
mengetahuinya lebih awal.
"Kamu melamun. Tidak bisakah kamu melihatku?"
Alexander bertanya, tiba-tiba saja wajahnya ada di
hadapanku. Ini masalah besar! Perilaku semacam ini terasa seperti sebuah rayuan
dibanding tidak sopan. Ini benar-benar masalah besar!
Hal ini membuatku ingin terus tinggal di Kediaman Duke.
Ini membuatku ingin tinggal dan mempercayai Alexander.
"Ugh, aku tidak bisa melihatnya. Dan ya, aku bisa
melihat pikiranmu yang dipenuhi dengan hal-hal kotor itu dengan jelas."
Aku tersenyum dan mendorong wajahnya menjauh. Alexander
mengambil kesempatan itu dan meraih telapak tanganku dan menggosokkannya ke
pipinya dengan keras.
"Aku suka tanganmu yang lembut. Tanganku
kasar."
"Entah bagaimana, saat aku meraih milikmu, reaksinya
luar biasa."
Aku membungkuk sedikit dan berbisik di telinganya. Dalam
sekejap, wajah Alexander menjadi merah padam.
"......Kakakku."
Dia seakan meregangkan ekornya lalu menatapku sambil
melambai-lambaikan ekornya. Aku terbebas dari genggaman Alexander. Begitu aku
meninggalkan ruang makan dan akan kembali ke kamarku, entah bagaimana Alexander
terus berada di sampingku.
"Ayo kita tidur sendiri-sendiri hari ini. Henrietta
meninggal dan akan aneh kalau kita terus berduaan. Henrietta menyukaimu."
Aku masuk ke kamar dan mendorongnya menjauh. Alexander
mengangkat sudut bibirnya dengan sinis.
"Apa itu penting? Aku tidak mau peduli dengan
seorang pembohong sepertinya."
"......Aku khawatir."
Dia memiliki tatapan mata yang marah. Bersandar ke
dinding dengan tangan disilangkan. Ruangan ini gelap, jadi bayangannya hanya
ada di mataku.
"Bahkan kalau kamu menyesalinya, tidak ada yang bisa
kamu lakukan untuk mendapatkannya kembali. Kalau aku tahu hal seperti ini akan
terjadi, aku juga akan bersikap lebih baik pada Henrietta."
"Aku tahu."
"Kamu tahu, kan."
"......"
"Kamu akan mendorongku seperti ini lagi?"
Dia tidak lagi tersenyum. Kami saling menatap. Matanya
bersinar di bawah sinar bulan yang menyilaukan. Meski hanya sekilas, itu
terlihat mengancam. Padahal aku tahu, kalau dia tidak akan menyakitiku.
Tidak! Apa aku benar-benar tahu? Apa aku yakin kalau dia
tidak akan menyakitiku?
Punggungku terasa dingin. Lalu aku menjadi orang pertama
yang memecah keheningan.
"Keluarlah."
"Kakak, kamu selalu saja seperti ini. Menarik garis
batas, membangun sebuah tembok di antara kita."
"Kamu mau bertengkar?"
"Tidak mungkin."
Pernafasannya menjadi sedikit kasar. Mata abu-abu
peraknya yang seakan bisa menembus itu terlihat tidak nyaman. Aku mundur selangkah.
Haaa, Alexander menghela nafas berat seolah dia akan mendengarkan aku.
"......Baiklah. Aku mengerti apa itu artinya 'ingin
sendirian'. Tapi lain kali, aku harap kamu mengatakannya secara langsung. Aku
tidak berbicara tentang Henrietta atau semacamnya."
Aku tidak bisa menjawabnya. Alexander menatapku sejenak,
lalu menggumamkan sesuatu dan meninggalkan ruangan setelah aku memalingkan
mukaku darinya.
Pada akhirnya, aku ditinggalkan sendirian dan duduk di
lantai seakan aku pingsan. Perlahan bahuku bergetar.
"......Bodoh."
Aku menggenggam ujung rokku dan melepas gaunku dengan
kasar. Aku pergi ke kamar mandi dan mandi dengan air panas yang mengepul.
Aku mandi lama sekali. Tidak ada tanda di kulit putihku,
bagaikan barang baru.
Setelah mengeringkan rambutku, aku tertidur dengan cepat.
Selama dua hari ini aku hanya tidur bersama dengan Alexander, dan entah kenapa
aku jadi merasa kesepian karena berbaring di tempat tidur yang luas ini
sendirian.
Setelah jatuh ke dalam tidur yang begitu nyenyak, aku
terbangun karena tekanan luar biasa di leherku.
Aku tidak bisa bernafas. Seseorang mencekik leherku.
"Argh! Bahaya......"
Tidak ada suara. Di mana-mana gelap dan tidak ada yang
bisa dilihat. Aku hanya bisa mengatakan kalau ada seseorang di atasku.
Kedua matanya bersinar dalam kegelapan. Siapa ini? Siapa
ini? Ketakutan menyelimuti pikiranku. Kalau seperti ini, aku tidak bisa
menggunakan sihir. Kalau tidak bisa berkonsentrasi, tidak peduli seberapa kuat
seorang penyihir, itu tidak berguna.
Tidak ada gunanya, aku tidak bisa melawan. Yang bisa aku
lakukan hanyalah menggerakkan badanku secara acak. Cekikannya semakin menguat.
Kesadaranku memudar. Perlahan mataku menjadi menutup.
Aku tidak ingin mati. Tidak dengan cara seperti ini.
Sebuah lengan yang terangkat tiba-tiba menyentuh wajah si
pelaku. Bahkan saat aku kehilangan akal sehat, aku tidak meleset, ujung jariku
menyentuhnya.
Kalau aku mengeluarkan sihir secara paksa, efek
sampingnya akan parah, tapi itu adalah rasa sakit yang biasa jika itu untuk
terus bertahan hidup.
Kwaak!
Ada bau mengerikan dari kulit yang meleleh. Ini adalah
sihir yang sama, ya g melelehkan lubang kunci kantor Duke.
"Argh!!"
Tangannya yang mencekik leherku melemah. Aku tidak
melewatkan celah itu. Aku tidak bisa bangun dari posisiku, tapi mungkin bagiku
untuk mengeluarkan energi magis yang lebih kuat ke wajah yang kupegang ini.
"Argh!! Arghhh!! Arghhhh!!!"
Aku terus melelehkan wajah orang ini! Jiiigeu! Jiiigeu! Jiiigeu!
Bau terbakar sangat menakutkan. Orang ini tidak bisa
mencekik aku lagi. Ruangan ini gelap, tapi aku bisa mendengar suara orang itu
yang jatuh, berguling, dan berteriak di lantai.
Tapi, apa ini karena aku memaksakan penggunaan sihirku?
Aku bahkan tidak bisa menyelesaikan balas dendamku pada orang yang mencoba
membunuhku, dan aku kehilangan kesadaran.
Satu hal yang kuingat dan kuketahui dari teriakannya, dia
adalah seorang pria, dan suara itu cukup familiar.
***
Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.
Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!
Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!
***
Puas dengan hasil terjemahan kami?
Dukung SeiRei Translations dengan,
***
Previous | Table of Contents | Next
***
Apa pendapatmu tentang bab ini?
0 Comments
Post a Comment