Chapter 20 Part 2

Penerjemah : reireiss

Dukung kami melalui Trakteer agar terjemahan ini dan kami (penerjemah) terus hidup.

Terima kasih~


***

TOLONG JANGAN BAGIKAN INFORMASI TENTANG BLOG INI!!

HAL ITU BISA MENGEKSPOS KAMI PADA PENULIS ATAU WEB RESMI.

JIKA ITU TERJADI, KAMI AKAN DIPAKSA UNTUK MENGHENTIKAN DAN MENGHAPUS NOVEL INI.

JADI MARI KITA HINDARI ITU BERSAMA-SAMA!!

***

11 April 294 di Kekaisaran Devonian

Oke, aku akui. Aku menyukai O, sebagai seorang pria. Itu adalah cinta pada pandangan pertama. Kalau bukan, lalu kenapa setiap kali O berada di dekatku, jantungku akan berdetak seperti ini.

.

.

.

16 Juli 294 di Kekaisaran Devonian

Aku menemukan penyebab kecelakaan kereta kuda. Bukan roda yang longgar, tapi jari-jari rodanya meleleh.

17 Juli 294 di Kekaisaran Devonian

Apa itu sama seperti melelehnya lubang kunci kantor? ...... Mungkinkah H?

20 Juli 294 di Kekaisaran Devonian

Ketika aku memanggil H, entah kenapa, tiba-tiba saja dia berteriak meminta liburan. Apa akhirnya dia menjadi gila?

22 Juli 294 di Kekaisaran Devonian

Tidak mungkin H. Tidak ada alasan baginya untuk melakukan itu.

4 Agustus 294 di Kekaisaran Devonian

O adalah seorang penyihir? Apa H berbohong?

28 September 294 di Kekaisaran Devonian

Aku tidak tahu apa alasannya. O adalah pelakunya. Aku harus mencari tahu tentang fakta ini.

29 September 294 di Kekaisaran Devonian

O pelakunya? Benarkah? Apa aku jatuh cinta pada perempuan yang membunuh Ayahku?

30 November 294 di Kekaisaran Devonian

O terus menekankan kalau tidak ada banyak waktu yang tersisa. Dia akan segera pergi. Tidak.

7 Desember 294 di Kekaisaran Devonian

Tidak!

19 Desember 294 di Kekaisaran Devonian

Tidak. Tidak. Jangan pergi!

23 Desember 294 di Kekaisaran Devonian

Sekarang tidak masalah apa O adalah pelakunya atau bukan.

26 Desember 294 di Kekaisaran Devonian

Itu tidak masalah. Jadi jangan pergi!

28 Desember 294 di Kekaisaran Devonian

Jangan pergi, kumohon. Jangan pergi, kumohon.

3 Januari 295 di Kekaisaran Devonian

2 Minggu lagi menuju Upacara Kedewasaan. Aku harus mencari cara untuk menahan O di sini.

10 Januari 295 di Kekaisaran Devonian

Inspektur C. Sialan!

Halaman berikutnya kosong. Aku menggelengkan kepalaku. Sekarang Alexander menatapku dengan mata sedih. Aku terkejut. Sampai sekarang, Alexander mengira kalau aku adalah pelaku yang membunuh Ibuku dan Duke sebelumnya.

Apa kamu masih mencintaiku sebagai seorang pria?

Aku menatap Alexander, melemparkan buku hariannya. Apa kamu bernafsu pada perempuan yang sudah membunuh Ayahmu? Lalu?

"......Kakak."

Dia mengulurkan tangannya padaku, aku menepisnya.

"Bukan aku!"

"Kakak."

"Aku bilang bukan!"

"......"

"Bukan, aku bilang......"

Air mata mengalir di pipiku. Penglihatanku kabur, aku tidak pernah menangis di depan Alexander. Aku belum pernah menunjukkan sisi lemah seperti ini di depan siapa pun. Aku bukanlah tipe orang yang akan menunjukkan emosinya.

"Tunggu sebentar, Kak. Jangan menangis."

Mata Alexander melebar karena terkejut. Seolah waktu telah berhenti, dia tidak bergerak. Dia hanya berkedip seolah terkejut dengan reaksi yang tidak terduga.

"Aku tidak bermaksud membuatmu menangis. Aku ingin kamu tahu. Penyelidik muncul, tapi kita tidak bisa menutupinya begitu saja."

"......Hiks."

Ada begitu banyak hal yang ingin kutanyakan. Tapi satu-satunya hal yang keluar dari mulutku adalah tangisan sedih. Aku menatap Alexander, bahkan aku tidak berpikir untuk menghapus air mataku yang terus mengalir.

"Kamu mencurigaiku? Karena itu.... ...Kamu, Kamu memilih buku-buku seperti itu dan membacanya? Di hadapanku!?"

Kamu bilang, kamu sudah mengetahuinya sejak lama. Tahu kebenarannya. Jadi kamu mengawasiku.

"......Kamu orang yang kejam."

"Kakak."

"Jangan sentuh aku!"

Menolak sentuhan hangat itu, aku menyentuh telingaku yang mendidih karena panas. Aku ingin terus menutup telingaku seperti ini. Aku tidak ingin mendengar suara Alexander lagi.

"Sekarang aku mengerti. Kenapa kamu ingin aku tetap di sini."

"Kakak, bukan begitu."

"Kenapa? Karena kamu ingin melihatku digantung, kan? Apa kamu sudah mencari buktinya?"

"Bukti? Aku belum pernah menemukan hal seperti itu."

"Baiklah, jangan bicara lagi."

Aku membalikkan tubuhku. Bahkan ini lebih buruk daripada Alexander membuatku menjadi seorang pembunuh. Dia sudah menemukan rahasia Ibuku.

Ibuku yang seperti kupu-kupu. Dia tampak seperti akan terbang jauh kalau ada yang mencoba untuk mengulurkan tangan.

Jadi aku berusaha keras agar aku tidak dibuang olehnya. Ibuku yang begitu ceroboh.

Kini semuanya sia-sia. Aku sudah lelah. Aku ingin keluar dari sini dan tidur.

Namun, suara kemarahan Alexander menghidupkan kembali kesadaranku yang memudar. Dia mendekat ke belakangku. Hembusan nafas hangat menerpa telingaku, dia berbisik,

"Dengarkan aku. Kamu sudah membaca semuanya, kan?"

"......Apa lagi yang harus kudengar?"

"Kamu pikir aku melakukan ini karena aku ingin melihat Kakakku dieksekusi?"

Dia menggeram seperti binatang buas. Mata yang berkobar seperti api dan bersinar dengan ganas. Kami saling menatap seakan kami akan saling mencabik-cabik.

Alexander mendorongku. Aku mundur selangkah tapi terhalang oleh meja, tidak ada jalan keluar. Saat aku hendak minggir, Alexander menghentikan aku dengan lengannya yang kuat.

"Lepaskan!"

"Aku tidak mau!"

Dia sudah tahu kalau aku adalah seorang penyihir, tapi tidak ada alasan bagiku untuk tidak menggunakan sihir. Aku memelototi Alexander dan membiarkan sihir mengalir ke ujung jariku. Tiba-tiba, tatapannya tertuju ke ujung jariku.

"Apa kamu akan menyerangku?"

Bagaimana dia tahu- Apa aku meremehkannya sebagai seorang ksatria? Aku menggigit bibirku. Ayahku yang seorang tentara bayaran, dia hampir tidak bisa membuat 3 atau 4 panah api. Tapi aku, secara natural, aku memiliki kekuatan sihir yang sangat besar.

Mudah bagiku untuk menyembunyikan kekuatan sihir itu. Tapi bagaimana dia bisa mengetahui sihir yang belum diaktifkan? Apa dia sudah pada tingkat di mana panca inderanya telah berkembang?

"Kamu ingin membunuhku? Aku ingin tahu bagaimana kamu akan melakukannya."

"Tidak. Aku hanya ingin menyengatmu saja."

"Silakan. Lakukanlah."

Dia menutup matanya. Itu adalah sikap yang tenang, bahkan dia memegang tanganku. Haruskah aku mencairkan pita suaranya agar dia tidak lagi membisikkan bisikan manis kepadaku?

Aku memikirkannya, tapi kemudian aku memudarkan kekuatan sihirku. Untuk beberapa alasan, aku tidak mau melakukannya.

"Aku rasa, kamu tidak bisa melakukannya."

"Hidup hanya dengan mulutmu."

"Kakak yang mencuri Buku Pendapatan Tahunan. Aku bertanya-tanya, apa alasanmu melakukannya. Waktu itu aku membutuhkan alasan untuk mengusir Count Lasis, jadi aku membiarkannya."

"......Kamu mengetahui semuanya, tapi tetap bersikap naif dan berpura-pura tertipu."

Alih-alih menjawab, Alexander hanya tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku yakin, tidak ada yang memperhatikan malam itu.

Meski Alexander tidak melihat prosesnya secara langsung, tapi dia sudah tahu kalau aku yang melakukannya.

"......Jarum suntik."

"Jarum suntik apa?"

Alexander memiringkan kepalanya. Matanya seperti tahu segalanya, tapi mulutnya bicara seolah-olah dia tidak tahu.

"Jarum suntik yang kamu temukan di Kantor Duke."

"Ayahku biasa mengonsumsi suplemen nutrisi dari waktu ke waktu."

Itu bohong! Pasti! Dia melakukan yang terbaik untuk berpura-pura tidak tahu. Tidak mungkin Tuan Duke, orang yang membanggakan fisiknya yang kuat, akan menerima suntikan nutrisi.

"Lagi pula, kamu tidak ingin membaginya denganku."

Jadi ayo kita lanjutkan seperti ini. Seolah berkata begitu, Alexander membenamkan wajahnya di bahuku. Dia menggosokkan hidungnya ke arahku.

"Berapa banyak yang kamu tahu? Aku tidak membunuh Ibuku."

"Itu tidak terlalu penting sekarang."

"Dengar. Aku benar-benar......"

"Kakak membunuhnya atau tidak?"

"......"

"Aku-"

"Hah? Kamu apa?"

Alexander mengangkat matanya. Dia menatapku dengan wajah yang aneh. Secara tidak sengaja, aku meletakkan tanganku di atas tangannya yang menghalangiku. Punggung tangannya yang memiliki urat biru menonjol, bergetar.

Aku......

Aku menjilati bibirku agar basah tapi aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Rambutku yang panjang tergerai di pipiku. Dengan hati-hati, Alexander mengangkat tangannya dan membelai rambutku.

"3 detik."

"......"

"Aku akan menciummu dalam 3 detik. Kalau kamu tidak menyukainya, tampar wajahku sekarang juga. Menendang kakiku juga bisa."

3 detik. Bukankah ini waktu yang terlalu singkat untuk memikirkan sesuatu? Bahkan satu kedipan mata akan memakan waktu lebih dari 3 detik. Aku mengalihkan pandanganku ke dasi Alexander yang acak-acakan.

Melihat ke atas sedikit lebih jauh, aku bisa melihat rahangnya yang kuat sedikit bergetar. Setelah mengatakannya dengan rasa percaya diri, dia gugup. Caranya menatapku sama indahnya dengan caraku menatapnya, aku tidak tahu harus berbuat apa.

"...Uhmm."

Aku meraih kerah Alexander. Matanya yang tertarik padaku tanpa daya, semakin dekat. Dia menutup matanya dan membuka bibirnya. Dengan cepat, suara nafas menusuk telingaku.

***

WARNING!! R-18!!

Risiko yang terjadi saat atau sesudah membaca, harap ditanggung masing-masing~

***

Dia mengusap lembut bibir bawahku. Dia mengatupkan bibirnya dan menjulurkan lidahnya. Lidahnya yang tebal dan basah tersendat seakan dia tidak tahu harus berbuat apa. Aku kembali menarik cravat-nya.

"......Haa."

Lidah pun saling terjalin, terdengar suara yang liar. Tidak ada yang tahu siapa yang memulainya. Dia menghisap begitu keras sampai rasanya lidahku seperti ditarik keluar. Terkadang, langit-langit mulutku tersapu dan Alexander mengeluarkan suara geraman dari tenggorokannya.

Setelah memeriksa setiap tonjolan di lidah dengan kasar, kami berciuman dengan intens, tapi jejak jalinan lidah kami masih ada. Tiba-tiba, lidahnya yang panjang kembali masuk ke mulutku.

"Oh.... ...Ughh."

Aku meringis. Alexander membuka matanya dan menatapku. Dia memandangku dengan sudut matanya yang buram, dan dengan lembut dia membelai pipiku.

Pasti aku yang memulainya, tapi sepertinya sekarang akulah yang di lahap. Alexander menghisap air liur yang mengalir di sudut bibirku seolah itu bukan apa-apa. Aku kehabisan nafas. Tiba-tiba saja, perut bagian bawahku menjadi panas.

Kami saling menanggalkan pakaian satu sama lain, mencium bibir satu sama lain. Kancing-kancing baju yang ada begitu banyak tidak menjadi halangan. Berkali-kali, setelah aku mengacaukannya. Alexander sudah membuka tali gaunku dan membuat bagian depan gaunku turun ke bawah bahu, lalu dia merobek rompiku dan melepasnya.

Pu*ing kecil pun mencuat. Ketika dia menurunkan tangannya dan perlahan menyentuhnya, Alexander memiringkan kepalanya dan mengerang. Dia berkerut, seakan tidak sabar,

"Pegang erat-erat."

Alexander membuatku memeluk lehernya. Kemudian, seolah aku seringan bulu, dia mengangkatku dan membawaku ke tempat tidur. Tiba-tiba, aku sudah berbaring di tepi tempat tidur dengan kaki disilangkan.

"Tidak muncul......"

Ketika aku sedikit mengangkat bahunya dan akan bertanya, Alexander menyibak rokku. Saat dia menarik celanaku ke bawah, celana dalam putih yang sudah lembab terlihat. Matanya yang menyala-nyala karena gairah menyapu tempat itu secara menyeluruh. Aku membuang dan menarik nafas dalam-dalam.

"Ah, apa yang kamu lakukan?"

Tanyaku, sambil mendorong wajahnya menjauh. Alexander mendekatkan wajahnya yang jauh ke selangkanganku yang menganga. Rasanya panas seperti terbakar. Saat aku mengangkat bahuku dan mencoba untuk menutup kakiku, dia meraih pahaku dan merentangkannya.

"Aku merindukanmu. Biarkan aku melihatnya."

Jangan dilihat. Aku menggerutu sedikit. Jarinya yang tebal sudah masuk menyelinap ke dalam celana dalamku. Melalui semak-semak tipis, Alexander yang tergagap untuk sejenak, menemukan kli*oris.

"Wow!"

Kembang api meletus di kepalaku. Aku menggelengkan kepalaku dan mencengkeram seprai. Melihat reaksiku, Alexander memutar-mutar kli*orisku dan tertawa singkat.

"Aku bisa gila."

Dia terus menerus melakukannya, dia melihatku dengan mata penuh gairah serta antisipasi seolah-olah dia tahu apa yang aku inginkan. Saat kukunya menggaruk kli*orisku dengan ringan, aku mengerang dan kembali berusaha untuk bangkit. Tapi dia mendorong panggulku dan mulai menggosok kli*orisku.

"Aku menyukainya... Apa kamu menyukainya?"

Dia bertanya dengan cemas. Seolah-olah dia tidak yakin apa yang dia lakukan adalah cara yang benar. Aku mengangguk keras. Mata Alexander sedikit melebar, dan dia menukar jari yang dia gunakan dengan ibu jarinya, menggerakkannya maju-mundur.

"......Ah!"

Sebuah jari panjang terkepal di antara kepalan tangan yang terkepal. Tidak bergerak, dia merasa tidak nyaman, jadi dia berdiri dan melepas celana dalamku. Celana dalam yang tipis itu robek tanpa ada ada perlawanan yang berarti.

"Ini, hadiah."

Dia meletakkan celana dalam itu ke tanganku. Itu sangat basah sehingga sulit untuk disentuh. Merasa kesal, aku melemparkan celana dalam itu, lalu Alexander membenamkan hidungnya di semak-semak dan tertawa.

"... Jangan di situ! Jangan tertawa!"

"Aku tidak mau."

"Jangan bicara! Jangan...!"

"Aku bilang, tidak."

Setiap kali dia membuka mulutnya, nafasnya menyentuh daerah kewanitaanku. Aku membenci Alexander, aku menarik rambut hitamnya yang halus tapi dia malah meletakkan jarinya dan berkeliaran di sana, seolah-olah tidak ada yang terjadi.

"Ah!"

Tempat itu, tempat yang sudah berkilauan dengan cairan cinta, dia memakannya sambil memasukkan jari-jarinya yang panjang dan tebal tanpa kesulitan. Alexander mengedipkan matanya yang memerah seolah membuktikan kalau ini adalah pengalaman pertamanya.

"Ini gila."

"......"

"Tambahkan satu lagi."

"Ughhh..."

Ughhh.

"Maaf, tapi aku harus memasukkannya. Bukankah kita harus melebarkannya?"

Jari-jarinya yang meraba-raba di dinding bagian dalam telah bertambah menjadi dua. Liar. Suara decitan liar itu menjijikkan.

"Oh.... ...Sial!"

Alexander menggertakkan giginya seakan dia sudah tidak tahan. Dia memasukkan hidungnya yang tampak arogan ke kewanitaanku dan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dia menjulurkan lidahnya dan mengusap kli*orisku.

"Ya! Li-Lidah!"

"Lidah?"

Dia mengikuti kata-kataku dan kembali menghela nafas. Jarinya yang terus keluar-masuk. Alexander menundukkan kepalanya sedikit dan menghisap cairan dari sana dengan senang.

Setiap kali dia bergerak, hidung mancungnya menusuk kli*orisku. Itu adalah stimulus yang sangat besar. Tidak peduli berapa banyak punggungku memberontak dan membuat keributan, wajah Alexander yang terjebak di selangkanganku tetap tak lepas.

Saat dia meminum cairan cinta sambil mengeluarkan suara erangan, Alexander menjulurkan lidahnya dan menjilatiku seolah dia tidak tahan akan rasa nikmat dan manisnya. Seakan, secara naluri dia sudah tahu kalau semakin dia melakukan itu, maka akan semakin banyak cairan cinta yang keluar.

"Lagi, berikan lagi."

"Ah, tidak."

Ini adalah percakapan yang kekanak-kanakan, Alexander menjulurkan lidahnya di tempat yang sembab itu. Refleks aku pun mengejang, dia membelai tubuhku seakan-akan berusaha untuk menenangkan aku.

"Ini bukan......"

Aku merengek. Alexander mengangkat kepalanya, seolah dia berusaha menusuk ke bagian terdalam dengan lidahnya dan menjilat semua cairan cinta di sana.

"Bagaimana bisa kamu sudah kelelahan? Padahal aku belum melakukan apapun."

.

.

.

*Maaf ya adegan smut-nya aku potong di sini*


***

Mungkin ada beberapa dari kalian yang ingin membaca suatu novel tertentu tapi belum ada yang menerjemahkan novel tersebut ke dalam Bahasa Indonesia.

Kami bisa menerjemahkan novel yang kalian inginkan tersebut melalui sistem Request Novel!

Jika kalian ingin me-request novel, silakan tulis judul atau beri tautan raw dari novel tersebut DI SINI!

***

Puas dengan hasil terjemahan kami?

Dukung SeiRei Translations dengan,


***


Previous | Table of Contents | Next


***


Apa pendapatmu tentang bab ini?